TAMAT - Magnolia Secrets

By fuyutsukihikari

396K 32.3K 2.4K

(The Land of Wind Series #2) VERSI EBOOK SUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY/BOOK. LINK E-BOOK ADA DI PROFILE SAYA... More

Pengenalan Tokoh
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Keluarga besar Kerajaan Angin
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Pengumuman

Prolog

26.3K 1.4K 106
By fuyutsukihikari

Author playlist : Ma Ke

***

SUDAH DIBUKUKAN. READY STOCK : 110RB, HARGA DILUAR ONGKIR DARI BANDUNG. PM UNTUK YANG BERMINAT MENGOLEKSI VERSI CETAK. VERSI EBOOK SUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY/BOOK. LINK E-BOOK ADA DI PROFILE SAYA.

SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS.

***

Happy reading!

***


Sinar purnama di depan pembaringan,

Embunkah yang membeku di pelataran?

Tengadah menatap rembulan purnama,

Tertunduk mengingat kampung halaman.¹

***

Jian Qiang tertegun, menatap langit di kejauhan. Di langit, awan hitam berkumpul, serta merta membuat sore menjadi segelap malam. Hujan sebentar lagi pasti akan turun. Qiang berdeham. Pandangannya beralih pada ladang yang diinjak. Pekerjaannya masih jauh dari kata selesai. Masih banyak tanah ladang yang harus dicangkul. Masih banyak benih yang harus ditanam. Namun, sepertinya alam tidak member Qiang banyak waktu untuk mengerjakannya karena tidak lama berselang hujan turun dengan deras.

Alih-alih berlari menuju pondok kecil yang ditinggalinya, Qiang malah berdiri. Kepalanya menengadah, kedua matanya terpejam erat. Dia tersenyum lembut, kedua tangannya dibuka lebar. Qiang membiarkan tetes-tetes air hujan membasahi wajah serta tubuhnya.


"Yulan!" panggilan itu terdengar dari kejauhan. Suara perempuan yang terdengar terus menerus, saling bersahutan.

Qiang menoleh. Yulan adalah nama samarannya. Tubuhnya merinding seketika saat melihat pemandangan yang sama sekali tidak diharapkannya. Qiang memasang ekspresi datar terbaiknya sembari mengumpulkan semua peralatan berkebun, berharap bisa melarikan diri dari lima orang gadis remaja yang tengah menatapnya dengan pandangan penuh pemujaan di sisi ladang milik kakek dan nenek angkatnya.

"Hei, apa yang kalian lakukan di sini?" bentakan itu menggema. Suara Nenek Wu menerobos deru suara hujan yang turun semakin deras. Wanita berumur tujuh puluh tahunan itu berjalan, sedikit terseok dengan payung di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang gagang payung miliknya.

Kelima gadis remaja yang melihat kedatangannya cemberut, tapi mereka bergeming, terlihat enggan beranjak. Mereka tidak bisa melawan Nenek Wu mengingat hubungan nenek tua itu dengan pria yang tengah mereka incar saat ini.

"Kenapa kalian terus menggoda cucuku?" suara Nenek Wu kembali bergema, terdengar sangat galak. Satu tangannya berkacak pinggang. "Kalian tidak tahu malu!" Dia kembali berteriak sementara Qiang berjalan cepat ke arahnya, bermaksud untuk menyelamatkan kelima gadis remaja itu dari amukan nenek angkatnya. "Cucuku memang sangat tampan, tapi bisakah kalian mengaguminya secara diam-diam?"

Nenek Wu mendengkus keras. Petir yang menyambar-nyambar seolah menjadi latar belakang kemarahannya. Dia menunjuk wajah kelima gadis itu secara bergantian. "Aku pasti akan mengadukan hal ini kepada orang tua kalian masing-masing," ancamnya. "Akan kupastikan ayah kalian tahu sikap putri kesayangannya."

"Laporkan saja," ujar salah satu gadis remaja itu membuat Nenek Wu dan Qiang yang kini berdiri di samping wanita tua itu terkejut. Gadis remaja itu menatap Qiang malu-malu. "Mungkin dengan cara itu ayahku akan memberikan restunya," sambungnya, suaranya sedikit rendah yang langsung ditanggapi protes dari keempat gadis lainnya.

"Yulan akan menjadi suamiku," ujar gadis bergaun merah muda. Dia melotot marah, terlihat tidak terima. Ketiga gadis lainnya pun menyahut, mereka berkukuh jika pria muda yang berdiri di samping Nenek Wu itu akan menjadi suaminya kelak.

"Hentikan!" suara dingin Qiang menghentikan pertengkaran konyol itu. Sejujurnya dia sudah mulai lelah dengan perhatian berlebihan yang ditujukan para gadis desa di tempat ini sejak kedatangannya ke kediaman pasangan Wu tiga bulan yang lalu. "Aku tidak suka gadis yang berisik," sambungnya, membuat ketiga gadis remaja itu menutup mulut mereka kompak.

Hujan yang terus turun dengan derasnya tidak menyurutkan tekad kelima gadis remaja itu, sebaliknya mereka berkeras ingin menemani Qiang pulang sore ini.

"Sebaiknya kalian pulang, jangan membuatku membenci kalian!" Ucapan Qiang bukan hanya mengejutkan kelima gadis remaja itu, bahkan Nenek Wu pun dibuat terkejut mendengarnya. Nenek Wu tidak menyangka jika cucu angkatnya yang pendiam bisa bicara setegas itu.

Berhasil, batin Nenek Wu. Melihat ekspresi kelima gadis remaja di hadapannya saat ini, membuatnya puas. Kelimanya pasti akan takut untuk mendekati cucunya lagi. Namun, harapan tinggal harapan, tidak lama berselang, kelima gadis remaja itu memekik histeri, "Anda terlihat sangat tampan saat marah," ujar kelimanya kompak.

Qiang memejamkan mata. Dia memijat keningnya yang berdenyut sakit. Ini gila. Kelima gadis remaja ini lebih gila dari adik perempuannya—Chao Xing. Jadi apa yang harus dilakukannya sekarang? Bagaimana cara mengusir kelimanya?

"Jika kalian tidak pulang, aku tidak akan mengizinkan kalian untuk mendekati cucuku lagi!" Ancaman Nenek Wu kali ini sepertinya cukup berhasil. "Aku serius," sambungnya saat melihat salah satu di antara kelimanya hendak protes. "Pulang ke rumah kalian, dan kalian boleh melihat cucuku lagi besok."

"Nek—"

Nenek Wu mengangkat tangan kanannya, memotong protes yang hendak meluncur dari mulut Qiang. "Pulang sekarang!!!"

Dengan berat hati kelimanya pun beranjak pergi. Sesekali mereka menoleh lewat bahunya untuk menatap Qiang yang sudah basah kuyup di bawah derasnya air hujan.

"Aku akan datang besok dengan membawa sup untukmu," teriak salah satu gadis itu. Nenek Wu menggelengkan kepala pelan. Memiliki cucu tampan ternyata tidak mudah.

"Aku akan datang besok dengan sup burung walet," sambar gadis remaja bergaun kuning lembut, tidak mau kalah. Dia melotot menatap para pesaingnya. Kelimanya masih terus bertengkar di sepanjang perjalanan, hingga akhirnya suara mereka teredam oleh kerasnya suara hujan.

***

"Ayo pulang! Kau bisa jatuh sakit." Itu sebuah perintah. Qiang tersenyum. Dia tidak tahu bagaimana Nenek Wu masih bisa memiliki suara tegas di usianya yang tak lagi muda. "Anak perempuan zaman sekarang benar-benar tidak tahu adat." Ada nada gemas yang terselip dalam suara Nenek Wu saat mengatakannya. "Kenapa kau harus setampan ini?" Nenek tua itu memukul lengan Qiang sebelum berjalan mendahuluinya.

Qiang bisa mendengar gerutuan Nenek Wu sepanjang perjalanan pulang, dan lagi-lagi Qiang hanya bisa mengulum sebuah senyum simpul.

"Kakek, lihat cucumu ini!" seru Nenek Wu. Ia menutup payung miliknya dan meletakkannya di beranda.

Kakek Wu yang tengah berdiri di depan perapian menoleh lewat bahunya. Keningnya yang sudah keriput ditekuknya dalam saat melihat Qiang yang berdiri di depan pintu dengan kondisi basah kuyup. "Apa yang kaulakukan istriku? Cepat berikan Yulan kita handuk dan pakaian kering! Dia bisa jatuh sakit."

Qiang tersentuh. Kedua kakek dan nenek ini tidak begitu lama dikenalnya. Pertemuan mereka bahkan bisa dikatakan hanya sebuah kebetulan. Qiang menolong keduanya dari penyamun saat dalam perjalanan menuju wilayah Kerajaan Lang, tapi untuk balas budi, keduanya berkeras meminta Qiang untuk tetap tinggal dan memperlakukannya layaknya cucu mereka sendiri.

Nenek Wu kembali memukul lengan atas Qiang dan menggerutu, "Cucumu bersikap seperti anak lima tahun. Bagaimana bisa pria dewasa sepertinya menyukai berdiri di bawah guyuran air hujan?"

Qiang masih tidak menjawab. Dia hanya memerhatikan interaksi sepasang kakek dan nenek itu dalam diam. Kerinduan akan keluarganya menyelimutinya. Qiang merasa sesak. Namun, secepat perasaan itu datang, secepat itu pula dia menekan rasa rindunya.

"Dan perempuan-perempuan itu...," Nenek Wu menjeda sementara suaminya menegakkan punggung, terlihat tertarik dengan apa yang baru saja diucapkan oleh istrinya, "mereka terus berusaha mendekati cucu kita," sambungnya terdengar kesal. "Dasar tidak tahu malu!"

"Cucu kita sangat tampan," balas Kakek Wu dengan nada humor yang terselip dalam suaranya. Dia menunjuk Qiang dengan dagunya, "Wanita muda mana yang tidak tertarik padanya?"

Qiang tersenyum kecil. Dalam diam dia mulai mengeringkan rambut dan badannya dengan kain bersih dan kering yang diberikan oleh Nenek Wu beberapa saat yang lalu.

Kakek Wu mendesah. Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Harus berapa kali kau kuingatkan istriku, cucu kita sangat tampan. Apa kau tidak sadar betapa ramainya rumah ini setelah kedatangannya?"

Nenek Wu tidak menjawab. Dia terlihat tidak bisa membantah.

"Bahkan para saudagar saja tertarik menikahkan Yulan kita dengan putri mereka." Kakek Wu berdecak, dia melirik sekilas pada Qiang yang masih sibuk mengeringkan diri. "Aura yang dimiliki Yulan kita berbeda dengan pemuda-pemuda seusianya di desa ini," sambungnya dengan nada penuh misteri. Sejenak Qiang berhenti mengusap tubuhnya dengan kain, lalu beberapa detik kemudain dia kembali mengeringkan diri, seolah tidak terganggu dengan penuturan kakek angkatnya.

Kakek Wu menjeda untuk mengambil napas. Dia memasukkan potongan terakhir kayu bakar ke dalam perapian sebelum beranjak, berdiri dan berjalan menuju meja teh di sisi kanan ruangan yang terlihat nyaman dan luas itu. "Tapi aku tidak akan menyerahkanmu pada salah satu dari mereka, Yulan," sambungnya penuh penekanan. Ekspresinya sangat serius saat mengatakannya. "Kau hanya akan menikah dengan wanita yang kau cintai," putusnya yang disambut anggukan setuju dari sang istri.

Nenek Wu menuangkan air teh yang masih mengepul ke dalam cawan keramik putih suaminya sebelum mendudukkan diri di sebrang meja. "Tidak ada gadis yang cocok untuknya di desa ini." Ia mendesah berat.

Kakek Wu terkekeh. "Kau hanya tidak rela Yulan menikahi salah satu gadis itu."

"Benar," balas Nenek Wu sengit. "Yulan akan mendapatkan wanita santun dan terhormat. Tidak seperti gadis-gadis di desa ini. Lihat saja nanti," katanya penuh semangat. Ia lalu melirik pada Qiang yang masih berdiri di depan pintu masuk. "Masuk ke kamarmu dan ganti pakaianmu, Nak. Sebentar lagi makan malam akan siap," ucapnya dengan nada sangat lembut.

Qiang hanya mengangguk pelan dan berlalu. Di belakangnya dia masih bisa mendengar gerutuan Nenek Wu mengenai para gadis di desanya yang tidak tahu malu.

Sementara itu di tempat lain, rombongan Jenderal Fang, salah satu jenderal berpengaruh di wilayah Kerajaan Lang terlihat kesulitan melanjutkan perjalanan karena hujan deras yang terus mengguyur tanpa henti.

"Jenderal kita harus mencari penginapan atau rumah penduduk untuk menginap malam ini," kata seorang prajurit kepala. Dia mengendarai kuda tunggangannya tepat di sisi kanan kereta kuda yang dinaiki oleh sang jenderal beserta putrinya yang berusia enam belas tahun,

Jenderal Fang menyibak tirai jendela kudanya dan melihat ke luar jendela. Hujan masih turun semakin deras, jika terus dipaksakan, prajurit-prajuritnya pasti akan jatuh sakit sementara perjalanan kembali ke kediamannya masih sangat jauh. "Tidak mungkin ada penginapan di kaki bukit seperti ini," kata sang jenderal dengan nada suara berat. Dia menoleh singkat pada putrinya yang terlihat sangat lelah. "Cari rumah penduduk yang paling dekat. Kita akan menginap di rumah penduduk malam ini!" perintahnya sebelum menutup kembali tirai kereta kudanya.

***

Ketukan keras di tengah malam mengagetkan pasangan Wu. Keduanya saling menatap dalam diam, lalu bergegas turun dari atas ranjang mereka yang nyaman dan hangat. Kakek Wu membawa sebuah lentera kecil di tangannya, tapi sepertinya bukan hanya keduanya saja yang terganggu oleh suara berisik di depan kediaman mereka karena Qiang pun keluar dari dalam kamar dengan pedang di tangan.

Qiang meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Ia meminta tanpa kata pada kakek dan nenek angkatnya untuk diam di tempat sementara dirinya akan melihat siapa yang datang di tengah malam buta?

Tanpa aba-aba Qiang membuka pintu rumah. Pedangnya teracung tinggi membuat kaget dua orang prajurit yang tengah berdiri tepat di depan pintu rumahnya.

"Berani sekali kau mengacungkan senjata pada prajurit Raja Xi!" teriak seorang kepala prajurit dari atas kudanya.

Qiang menyipitkan kedua matanya. Ekspresinya tidak terbaca. Pedangnya masih teracung tinggi, tapi Kakek Wu menepuk bahu bidangnya dan mengangguk lemah seolah mengatakan jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kakek Wu mengangkat kedua tangannya di depan dada, menyatukannya sebelum membungkuk dalam untuk memberi hormat. "Mohon ampuni cucu hamba. Yulan tidak berniat untuk mengancam prajurit-prajurit Anda."

"Kami perlu tempat bermalam," ujar kepala prajurit itu setelah mendapatkan intruksi dari Jenderal Fang yang masih berada di dalam kereta. "Tuanku ingin meminjam kediamanmu untuk menginap malam ini," sambungnya dengan nada sombong.

Qiang mengetatkan rahang. Tangannya menggenggam pedangnya semakin erat. Ingin sekali dia memotong leher pengawal itu dengan pedangnya yang tajam. Seolah bisa membaca gestur tubuh cucu angkatnya, Nenek Wu langsung mengusap lengan atas Qiang dan berbisik lembut, memintanya untuk menahan diri.

Tidak lama berselang, sang jenderal dan putrinya turun dari atas kereta. Mereka melangkah hati-hati menuju pintu kediaman Kakek Wu yang terbuka lebar. Kakek Wu dan Nenek Wu menghaturkan hormat takzim, sementara Qiang hanya menundukkan kepala, terlihat enggan untuk memberi hormat pada sang jenderal. Melihat hal itu sang jenderal menaikkan satu alisnya.

Dia menatap Qiang dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Dia cucu kalian?" tanyanya. Suaranya terdengar berat. Sungguh Qiang tidak suka nada bicara pria di hadapannya saat ini, sementara gadis remaja di belakang sang jenderal bergelayut manja di lengan kanannya.

"Mohon maafkan ketidaksopanan cucu hamba." Kakek Wu berkata dengan sikap hormat berlebihan. Dia melakukannya demi cucu angkatnya. Kakek Wu tidak mau jika Qiang mendapatkan masalah atas sikapnya. Kakek Wu menoleh pada Qiang, "Beri hormat, Yulan!"

"Apa Anda akan terus berada di sana, Tuan?" tanya Qiang. Alih-alih memberi hormat sepantasnya, dia malah bertanya dengan nada dan ekspresi datar andalannya. "Prajurit Anda kedinginan, sebaiknya mereka mengeringkan diri. Nenek dan hamba akan menyiapkan makanan dan minuman hangat untuk Anda semua," sambungnya sembari memberi tanda pada Nenek Wu yang terlihat tegang.

Jenderal Fang memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah ini. Dia menahan anak buahnya untuk tidak melakukan apa pun atas sikap tidak hormat yang diperlihatkan oleh Qiang. Pria itu mengalihkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan sebelum duduk di kursi meja teh bersama putrinya.

"Hamba akan menyiapkan kamar untuk Anda, Tuan," kata Kakek Wu. Dia melirik sekilas pada putri sang jenderal sebelum akhirnya melirik pada Qiang yang tengah sibuk membantu neneknya untuk menyiapkan minuman dan makananan hangat. "Yulan, nona ini akan tidur di kamarmu."

Jian Qiang menegakkan punggungnya. Dia hanya mengangguk pelan, terlihat tidak peduli.

"Istriku, antarkan nona ini ke kamar Yu'an," sambung Kakek Wu. Nenek Wu terlihat tidak rela, tapi wanita itu tidak memiliki pilihan lain. Dengan patuh dia membawa tamu tak diundangnya menuju kamar cucu angkatnya.

Chunhua terpana. Dia tidak menyangka jika kamar seorang pria dari kalangan jelata bisa serapi ini. "Kamar cucu Anda sangat rapi," pujinya terlihat takjub.

Nenek Wu berdeham. Dia tersenyum bangga sementara tangannya sibuk mengganti seprai ranjang milik Qiang. "Walau hanya petani biasa, Yulan kami tidak seperti pemuda biasanya, dia tidak suka tempatnya berantakan."

Chunhua mengangguk. Dia menyukai aroma kamar yang akan ditempatinya. Rumah milik keluarga ini memang terlihat tua, tapi sangat nyaman dan luas. "Maaf karena kami merepotkan Anda."

Nenek Wu terlihat terkejut mendengarnya. "Kami hanya sedikit terkejut, sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan tamu di malam buta," katanya, "Yulan mengira kalian perampok," sambungnya. Tubuhnya sedikit bergetar. "Karenanya dia bersikap sedikit berlebihan."

"Apa sering terjadi perampokan di daerah ini?"

Nenek Wu mengangguk pelan. "Tidak sering, tapi beberapa hari yang lalu terjadi perampokan di kediaman Saudagar Fu." Ia menjeda, menepuk-nepuk ranjang yang diduduki oleh Chunhua. "Hamba tidak akan mengganggu lagi. Jika Anda memerlukan sesuatu, kamar hamba di ujung lorong."

Chunhua tersenyum lembut. "Terima kasih!" ucapnya tulus sebelum membaringkan diri dan menarik selimut hingga sebatas dada.

***


Pagi datang dengan cepat. Para prajurit yang dipimpin oleh Jenderal Feng sudah berbaris rapi di halaman kediaman pasangan Wu. Qiang mengenakan baju biru, dia keluar dari dalam kediamannya dengan ekspresi datar andalannya.


"Kau tidak terlihat seperti petani."

Qiang menghentikan langkahnya. Nenek Wu mengernyit terlihat cemas saat melihat sang jenderal mengajak bicara cucu angkatnya.

"Kau bisa membaca?"

Qiang tidak langsung menjawab. Dia mengangguk samar untuk memberi hormat. "Hamba bisa membaca."

Jenderal Fang kembali mengamati Qiang dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kau menyia-nyiakan bakatmu di tempat ini," ujarnya dengan nada yang sama sekali tidak meremehkan. "Kau mau menjadi petani seperti kakek dan nenekmu?"

Qiang kembali tidak menjawab.

"Kau bisa bela diri?"

"Sedikit."

Jenderal Fang menaikkan satu alisnya tinggi. "Bergabunglah dengan pasukanku!" Itu sebuah perintah. Qiang tahu jika dia tidak bisa menolaknya. Kesempatan ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Memukul besi masih panas². Namun, bergabung bersama pasukan Raja Xi terlalu beresiko. Dia harus mengawasi dan mempelajari musuhnya terlebih dahulu.

"Hamba lebih berbakat mengurus kuda." Qiang menjawab tenang.

Senyum Jenderal Fang melebar mendengar penuturan Qiang. Dia menepuk bahu pemuda di hadapannya. "Sepertinya ini sudah takdir," gumamnya, "aku memerlukan seorang penjaga kuda." Ia menjeda saat Qiang mengangguk pelan. "Aku akan bicara pada kakek dan nenekmu. Mereka tidak boleh menolak, karena permintaanku termasuk tugas negara. Sudah selayaknya seorang pemuda sehat sepertimu mengabdi pada negara," katanya sebelum melangkah pergi menuju Kakek dan Nenek Wu berdiri. Dan Qiang tahu perjalanannya yang sebenarnya akan dimulai setelah ini.

***

Keterangan :

1. Puisi karya Li Bai – Rindu Malam (701-762; Dinasti Tang)

2. Pepatah China : Jika mendapat kesempatan lakukan segera sebelum kesempatan hilang

Continue Reading

You'll Also Like

885K 86.2K 30
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
72.1K 9.2K 38
[Sequel The Abandoned Kingdom] Sudah tujuh belas tahun lamanya semenjak pertempuran dengan penyihir gelap terjadi. Sudah tujuh belas tahun lamanya pu...
1.7M 133K 102
Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Thalia mengalami kecelakaa...
90.1K 4.1K 11
"DITERBITKAN OLEH ELLUNAR" "Mengintai diantara bayangan, mengawasi dari balik kabut dan menyerang dari jarak jauh. Firasat dalam ketepatan dan instin...