DIRTY BABY [Rexford Mackenzie]

By PuspitaRatnawati

21.1M 1.2M 117K

#5 in Romance 05/01/2018 Ketika kau berhadapan dengannya, dia adalah ujian terberat. Aroma tubuh, suara... More

The Mackenzie
Gracias
VERSI DREAME
Stop Plagiarism!
PROLOG
DIRTY BABY-02
DIRTY BABY-03
DIRTY BABY-04
DIRTY BABY-05
DIRTY BABY-06
DIRTY BABY-07
DIRTY BABY-08
DIRTY BABY-09
DIRTY BABY-10
DIRTY BABY-11
DIRTY BABY-12
DIRTY BABY-13
DIRTY BABY-14
DIRTY BABY-15
DIRTY BABY-16
DIRTY BABY-17
DIRTY BABY-18
DIRTY BABY-19
INFORMASI
DIRTY BABY-20
DIRTY BABY-21
DIRTY BABY-22
DIRTY BABY-23
DIRTY BABY-24
DIRTY BABY-25
DIRTY BABY-26
DIRTY BABY-27
DIRTY BABY-28
DIRTY BABY-29
DIRTY BABY-30
DIRTY BABY-31
DIRTY BABY-32
DIRTY BABY-33
DIRTY BABY-34
DIRTY BABY-35
DIRTY BABY-36
DIRTY BABY-37
DIRTY BABY-38
DIRTY BABY-39
DIRTY BABY-40
DIRTY BABY-41
DIRTY BABY-42
DIRTY BABY-43
DIRTY BABY-44
DIRTY BABY-45
DIRTY BABY-46
DIRTY BABY-47
DIRTY BABY-48
DIRTY BABY-49
DIRTY BABY-50
DIRTY BABY-51
DIRTY BABY-52
INFORMASI
DIRTY BABY-53
DIRTY BABY-54
DIRTY BABY-55
DIRTY BABY-56
Blabla
DIRTY BABY-57
DIRTY BABY-58
DIRTY BABY-59
DIRTY BABY-60
DIRTY BABY-61
DIRTY BABY-62
DIRTY BABY-63
DIRTY BABY-64
DIRTY BABY-65
DIRTY BABY-66
DIRTY BABY-67
DIRTY BABY-68
DIRTY BABY-69
DIRTY BABY-70
DIRTY BABY-71
DIRTY BABY-72
DIRTY BABY-73
DIRTY BABY-74
DIRTY BABY-75
EPILOG
SEQUEL DIRTY BABY
EXTRA PART 01
EXTRA PART 02
EXTRA PART 03
READ!
SEQUEL DIRTY BABY
Publish!
New The Mackenzie's!
NEW STORY

DIRTY BABY-01

488K 19.6K 658
By PuspitaRatnawati

Suara panggilan untuknya terdengar samar-samar, gadis itu dengan perlahan membuka kedua matanya. Dengan kening berkerut ia melihat sesuatu yang asing diatas, sebuah langit-langit yang asing baginya. Dimanakah dia berada? Rasa takut menyentuhnya, kemudian suara seseorang menyadarkannya hingga ia mengingat kejadian semalam.

"Litzi, ada apa?"

Litzi mendongak dan lantas beringsut menjauh, "Kau!"

Rex mengernyit, "Ketakutanmu tanpa alasan, Litzi. Kenapa kau harus takut padaku?"

Lizti meneguk salivanya, "Bagiku... kau orang asing."

"Okay. Apa perlu aku mengulang perkenalan?" timpal Rex tersenyum tipis.

Litzi menunduk, "Aku tahu namamu, aku tahu siapa kau. Tapi tetap saja... bagiku, kau asing."

"Yo entiendo," Rex mengangguk.

*(Yo entiendo : aku mengerti).

Litzi mengedarkan pandangannya, "Tempat ini... kenapa aku masih berada disini? Aku pikir, itu hanyalah mimpi."

"Kenyataan," balas Rex, "Mulai sekarang kau tinggal disini."

Litzi terkejut, "Bisa kau ulang katamu itu?"

"Sshhh! Cepat bangun, mandi dan bersiap-siaplah! Pagi ini kau harus sekolah bukan?"

Mendengar kata "sekolah", perhatian Litzi teralihkan. Bahkan pandangan gadis itu ikut teralihkan, setelah baru menyadari jika pria dewasa bak titisan dewa Yunani itu bertelanjang dada. Litzi memuji tubuh proporsionalnya Rex, namun dengan segera ia menepis pikirannya itu dan mengingatkan diri bila pria di depannya itu telah lancang membawanya ke tempat yang asing untuknya. Rex menghela nafas dan yang mulanya berdiri, ia menghempaskan tubuhnya di kasur berukuran king size dan tepat di depan Litzi yang duduk. Tak ada wajah usai bangun tidur dari Rex, ia terlihat segar. Apa pria itu sudah mandi?

"Ya, aku tahu aku tampan," gumam Rex.

Litzi mengerjap.

"Sudahlah, Nona! Jangan terus menatapku. Nanti bola matamu bisa lepas," kata Rex mengangkat kedua alisnya berulang kali.

Litzi refleks melempar bantal ke arah wajahnya, "Ih! Percaya diri sekali!"

Rex memegang bantal itu dan membalas melemparnya kepada Litzi. Ketika Litzi hendak membalasnya, masuklah seorang pria kira-kira berusia 40-an , bersetelan rapih dengan dasi pita hitam yang melingkar dikerah kemejanya. Bahkan kedua tangannya yang menggengam sebuah telepon menggunakan sarung tangan berwarna putih. Sepertinya pria paruhbaya itu seorang pelayan di mansion.

"Tuan," ucap pria itu.

Rex menoleh, "Iya. Ada apa, Alejo?"

"Maaf, aku menggangu waktumu, Tuan. Aku hanya menyampaikan permintaan darinya. Nyonya ingin bicara denganmu," kata Alejo.

Rex lantas bangkit, "Mom?"

"Mrs. Mackenzie menelfonmu melalui telepon mansion. Beliau menunggumu."

Rex menghampiri Alejo yang menyerahkan telepon itu padanya. Rex membalikan tubuhnya ke arah gadis remaja itu kembali.

"Pagi ini jadwalmu pergi ke sekolah. Setelah kau rapih, bergegaslah ke ruang makan. Aku menunggumu disana, mengerti?" papar Rex.

Litzi menyimak namun tidak merespon. Trillionaire beserta pelayannya itupun melenggang pergi. Wajah cantiknya terukir senyuman, tatapannya menatap bantal yang dipegangnya lalu ke arah pintu kamar yang terutup. Litzi merasa bahwa dirinya telah salah menilai seorang Rexford Mackenzie, ia pikir Rex sosok pria dingin usai melihat mata elangnya yang menajam dan suaranya yang mendesis. Akan tetapi, pikirannya bertolak belakang begitu melihat sosok Rex yang baik dan terkesan menyenangkan, suaranya yang khas terdapat unsur keramahan dan senyumnya yang tulus. Litzi bertanya-tanya dalam hati, apakah pria itu juga yang memindahkannya ke kasur? Karena seingatnya, ia tertidur dilantai dekat pintu usai menangis.

Litzi bangun dan berdiri seraya berkacak pinggang melihat ranjang tidur itu. Ia tersenyum dan bergerak membereskan tempat tidur itu, namun seseorang menghentikannya. Litzi mengernyit menatap dua orang pelayan wanita yang berseragam khas, logo bordiran yang terdapat disisi kiri baju menarik perhatiannya, bangunan yang dikenalnya. Ya! Itu mansion yang ia pijakan sekarang dan terdapat keterangan nama "Rex MKzie mansion" dilogo tersebut berwarna emas.

"Nona, biarkan kami yang membereskannya," ucap salah satu pelayan dengan ramah.

Litzi menggeleng dan tersenyum, "Tidak, terimakasih. Biar aku saja."

"Ini sudah tugas kami, Nona," sela satu pelayan lainnya.

Litzi membiarkan salah satu pelayan itu beralih memegang selimut yang dipegangnya. Lalu menyaksikan para pelayan itu membereskan tempat tidurnya. Litzi mencari dimana letak jam dinding, dan ia menemukannya. Waktu sudah menunjukan pukul 7 pagi. Biasanya Litzi selalu telat bangun karena kelelahan, sampai-sampai ia sering terlambat masuk sekolah. Mengingat kebiasaan buruknya, ia akan satu hal.

"Oh, astaga! PR-ku!" kata Litzi menepuk keningnya.

Sebuah koper hitam dengan tergeletak rapih sebuah buku diatasnya, telah menarik perhatiannya. Litzi familiar dengan sampul buku tersebut, ia mendekat dan tersenyum lebar ketika menemukan buku tugasnya. Akan tetapi, bagaimana dengan penyelesaian soal-soal di dalamnya? Litzi kembali panik dan membuka buku itu, membuka setiap lembaran demi lembaran dan mengernyit ketika menemukan kertas yang terlipat tepat di lembar soal. Litzi membukanya dengan dahi berkerut dan kedua matanya terbelalak saat membacanya, itu adalah jawaban untuk setiap soalnya. Bahkan lengkap dari awal nomor sampai akhir.

"Aku ingat jelas bila aku belum selesai mengerjakannya dan apa ini? Aku menemukan seluruh jawabannya di sini. Siapa yang menulisnya untukku? Bahkan tulisan ini sangat rapih," gumam Litzi.

"Nona, sebaiknya kau mandi dan segeralah bersiap-siap. Air hangat sudah kami siapkan dan seragam sekolah Nona juga kelengkapannya berada di walk in closet," jelas salah satu pelayan.

"Seragam sekolahku? Benarkah ada?" Litzi menatapnya bingung.

"Iya, Nona."

"Apa pria itu... em.. maksudku Tuan kalian itu mengatakan pada kalian mengenai barang-barang apa saja yang ia masukan secara asal ke dalam koper ku semalam?"

Kedua pelayan itu saling melempar tatapan tidak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan Litzi.

"Maaf, Nona. Pertanyaanmu sedikit membingungkan. Tuan tidak mengatakan soal hal itu," kata salah satu pelayan.

"Oh seperti itu," Litzi mengangkat kedua alisnya

Kedua pelayan itu menggeleng. Litzi menghela nafas sambil meletakan buku diatas meja.

"Itu tindakan Tuan kalian yang kurang ajar," kata Litzi dengan ekspresi kesal.

Kedua pelayan itu hanya diam. Sebenarnya mereka tahu, bahkan seluruh pelayan tahu atas kedatangan Tuan mereka yang semalam pulang dengan membawa Litzi beserta kopernya. Akan tetapi soal barang-barang, untuk apa Rex mengatakan itu kepada orang lain? Litzi di pandu seorang pelayan menuju kamar mandi, di dalam sana gadis itu menatap kamar mandi itu dengan takjub. Bahkan kamar mandi saja seluas dan semewah itu, Litzi membayangkan dengan pikiran konyolnya bila kamar mandi itu mampu menampung banyak orang.

Gadis yang mengenakan jubah mandi itu mengekori seorang pelayan yang memandunya. Pelayan itu memberitahu Litzi bahwa pintu tersebut terhubung dengan walk in closet. Kemudian pelayan tersebut membuka pintunya dan Litzi tercengang menatap interior walk in closet tersebut, cukup luas dan terdapat dua lemari memanjang sisi kanan kiri dengan beberapa pintunya. Juga meja yang diatasnya terdapat beberapa vas bunga dan banyak rak serta laci.

Litzi melangkahkan kakinya untuk menelusuri walk in closet tersebut. Tangannya bergerak perlahan untuk menyentuh barang-barang yang ada disana. Litzi menatap lemari yang menyapu sisi dinding itu, ia ingin tahu sesuatu di dalamnya. Pelayan itu menekan sebuah tombol disisi lemari dan terbukalah setiap pintu lemari itu secara otomatis.

"Oh, astaga!" kata Litzi yang melihatnya.

Di dalam lemari tersebut terlipat dan tergantung rapih setiap pakaian. Pelayan itu menjelaskan bila setiap pakaian di lemari itu di tempatkan sesuai kategori, seperti khusus seragam sekolah, gaun, casual dan lain-lain bahkan pakaian dalam. Litzi tertawa ketika pelayan itu menunjuk ke bagian pakaian dalam. Pelayan itu mengernyit dengan tingkah Litzi. Pelayan itu mengambilkan sebuah seragam sekolah yang tergantung di dalam lemari.

"Ini seragammu, Nona. Sesuai jadwal hari ini," ucap pelayan itu tersenyum.

"Hey! Bagaimana bisa kau tahu?" Litzi menatapnya dengan terkejut.

"Aku hanya melaksanakan tugasku, Nona. Tuan Rex memberikanku tugas untuk membantumu, melayanimu, memandumu dan memberitahu apa saja yang ada disini kepadamu," papar pelayan itu.

"Apa dia juga yang memberitahumu soal seragam yang akan ku kenakan sesuai jadwalnya?" tanya Litzi.

Pelayan itu mengangguk. Litzi bingung, bagaimana bisa pria itu tahu? Bahkan semua seragam sekolahnya ada di dalam lemari itu, apakah Rex turut memasukan seragam-seragam itu ke dalam koper tadi malam? Jawabannya bisa saja iya, akan tetapi Litzi melihat ada perbedaan pada seragam-seragam itu. Seragam-seragam itu terkesan baru dan kerahnya masih kaku. Aneh, sungguh pagi ini Litzi sudah dibuat kebingungan.

Usai Litzi mengenakan seragam sekolahnya, ia diajak pelayan itu untuk menuju meja rias yang berada di walk in closet itu. Litzi dibuat takjub lagi saat melihat meja rias tersebut, sebelumnya ia pernah memiliki peralatan dandan di rumah lamanya, namun tak selengkap seperti yang ada di walk in closet tersebut. Litzi melihat-lihat berbagai macam kosmetik dan alat-alat make up disana. Pelayan itu meminta Litzi duduk dan mengeringkan rambut Litzi dengan hairdrayer, setelah itu menyisirinya dengan terus tersenyum. Litzi menatap pantulan pelayan itu, kemudian meja rias di depannya dan seluruh walk in closet. Gadis remaja itu teringat akan masa lalu, dimana ia sempat merasakan hidup mewah bersama keluarganya, namun semua itu tandas ketika tragedi besar menyentuh kehidupannya dan keluarganya. Tiba-tiba saja air mata jatuh dari sudut matanya.

"Nona, ada apa?" tanya pelayan itu dengan cemas.

Litzi mengerjap dan dengan cepat menyeka air matanya, "Ah..tidak kok. Aku baik," ucapnya tersenyum ditengah hatinya yang berdesir nyeri.

"Benar Nona tidak apa-apa?" tanya pelayan itu memastikan.

Litzi mengangguk, "Iya."

"Maaf, Nona. Jika kau bisa menceritakannya pada orang lain, maka kesedihanmu akan berkurang," ujar pelayan itu.

Litzi tersenyum, "Itu tidak benar. Percuma saja. Kesedihan ini tidak akan berkurang bahkan sedikit... saja."

Pelayan itu diam meski dalam hati ia tidak setuju dengan apa yang dikatakan Litzi.

"Aku merindukan keluargaku...," gumam Litzi disela nafasnya.

Pria itu menyadari kedatangan gadis itu, ia mengarahkan tatapannya pada Litzi. Litzi menghentikan langkah kakinya ketika melihat Rex yang ada di ruang makan tak jauh darinya. Litzi berdiri dengan sosok Alejo di belakangnya. Rexford Mackenzie, Trillionaire itu mengenakan suit yang menambah kesan kewibawaannya, duduk di kursi meja makan dengan kedua tangannya yang berada diatas meja, sosoknya yang gentleman sampai membuat nafas Litzi berhenti selama beberapa detik.

Oh, ya ampun! Litzi! Fokuskan pikiranmu! batin Litzi.

"Silahkan, Nona. Tuan menunggumu," kata Alejo.

Litzi mengerjap, menoleh kepada Alejo sebentar lalu kembali menatap Rex. Alejo mempersilahkan Litzi untuk berjalan duluan, Litzi pun menurut. Gadis cantik itu melangkahkan kakinya seraya memegangi kedua tali tasnya. Rex beranjak dan menarik kursi disisinya lalu menyuruh Litzi duduk. Sikap manis trillionaire itu membuat Litzi gugup, gadis itu pun akhirnya duduk.

"Oh, ya Litzi. Aku belum mengenalkanmu pada Alejo," kata Rex.

Litzi menatap Rex dengan sedikit mendongak sebab pria itu jauh lebih tinggi darinya. Kemudian mengikuti arah tatapan Rex.

"Litzi, dia Alejo. Dia kepala pelayan disini," ucap Rex.

Alejo tersenyum lalu Litzi membalasnya tidak kalah ramah. Kemudian Litzi teringat sesuatu, ia melepaskan tasnya lalu membukanya. Rex diam, menunggu apa yang ingin gadis itu lakukan. Litzi meletakan buku tugasnya di atas meja.

"Aku ingin mengucapkan terimakasih padamu," kata Litzi.

Rex mengernyit, "Untuk apa?"

"Yah...tindakanmu semalam itu kurang ajar," Litzi menjedanya dan Rex mengangkat satu alisnya.

Litzi menghela nafas, "Kau mengemas pakaianku tanpa bilang padaku, tapi kau turut memasukan buku penting ini ke dalam koperku. Terimakasih."

Rex tersenyum, "Buku PR-mu ini. Aku melihatnya tergeletak di atas meja belajarmu dengan keadaan terbuka. Aku berpikir, mungkin kedatanganku tepat saat kau mengerjakannya. Tapi kau belum selesai bukan?"

Litzi mengangguk dan bertanya tentang lipatan kertas di sela lembaran bukunya kepada pria itu. Rex pun menceritakannya, ternyata kertas itu adalah jawaban untuk setiap pertanyaan dalam soal tersebut. Semalam ketika Litzi tidur, Rex ingat akan buku PR Litzi. Kemudian Rex membuka koper dan melihat-lihat isi didalam buku tersebut, melihat Litzi yang terlelap, Rex tidak tega membangunkannya untuk memberitahunya bila ada tugas yang belum diselesaikan. Dengan hati malaikat, Rex yang mengerjakannya namun ia menulis jawaban itu dikertas lain karena tulisannya dan tulisan Litzi jauh berbeda.

"Jadi... tulisan rapih ini hasil ukiran tanganmu? Bagus," gumam Litzi.

Rex tertawa kecil, "Tentu saja. Tidak seperti tulisanmu yang jelek."

Litzi menghela nafas, "Huh! Terimakasih atas bantuan dan ejekanmu ya?"

"Tidak, aku hanya bercanda."

"Tunggu, bagaimana dengan seragam yang aku pakai ini? Aku tahu persis seperti apakah barang yang biasanya aku pakai. Ini berbeda."

"Apanya yang beda? Itu seragam sekolahmu."

"Maksudku... seragam ini tampak baru dan kamar itu terkesan feminim, walk in closet-nya juga serba wanita. Aku berpikir mungkin kamar dan fasilitas di dalam kamar itu milik adik perempuanmu. Tapi jika aku lihat-lihat dengan pasti, itu tidak mungkin. Sebab ukuran pakaian disana seukuranku, bahkan ada peralatan sekolah."

Rex tersenyum geli, membuat Litzi mengernyit bingung dengan respon itu.

"Nona, bukankah sebelumnya kau mengatakan bila aku ini orang asing? Bahkan bicarapun kau pelit sekali. Tapi ada apa ini? Kenapa sekarang kau tiba-tiba begitu cerewet?" kata Rex.

Litzi merasa kikuk, "Em... jadi... aku cerewet. Maafkan aku kalau begitu."

Rex tersenyum, "Tidak apa-apa. Kau mengingatkanku pada Ibuku. Ayahku juga sering meledeknya dengan sebutan itu."

"Dimana mereka sekarang?"

"Mereka ada di Los Angeles, karena mereka tinggal disana. Tadi Ibuku menelfonku."

"Jika mereka tinggal di sana, mengapa kau dan adik perempuanmu di Madrid? Oh ya, dimana Allcia, adikmu?"

"Kau kenal dengannya?"

"Semua orang pasti mengenalnya. Adikmu itu kan terkenal."

"Allcia di kamarnya, dia masih tidur. Kharel, adik laki-laki yang ketiga juga sama."

"Jadi kau disini tinggal dengan adik-adikmu?"

Rex menggeleng, sebenarnya Allcia tinggal di LA bersama orangtua mereka dan Kharel tinggal terpisah seperti Rex, tepatnya di kota Paris. Allcia dan Kharel hanya beberapa hari saja tinggal disana. Allcia baru datang dua hari yang lalu bersama kekasihnya untuk bertemu dengan kakak kesayangannya, Rex. Sekalian berlibur di kota Madrid dan sekitarnya. Sedangkan Kharel di Madrid karena urusan bisnis dengan Rex, sekaligus melakukan kebiasaannya untuk memangsa banyak wanita untuk bersenang-senang.

"Oh, begitu. Lalu bisakah kau menjelaskannya? Semua ini membingungkan," ucap Litzi.

Rex tersenyum, "Aku mengerti maksudmu. Tapi tidak sekarang. Akan ku jelaskan semuanya nanti. Sekarang kau sarapan dulu, lalu salin jawaban itu dibukumu."

Litzi mengangguk, entah mengapa ia jadi penurut begitu padahal tadinya dia ketus dengan pria itu.

"Ada beberapa nomor yang kau isi dengan jawaban yang salah. Betulkan! Nanti nilai tugasmu jelek," kata Rex setengah meledek.

Litzi melihat pria disampingnya dengan sudut matanya, kata-kata Rex telah membuatnya malu. Litzi memang bukan anak cerdas, seringkali ia kesulitan dalam materi sekolah. Litzi selama ini sama sekali tidak fokus karena beban hidup yang dipikulnya terasa amat berat. Pikirannya bercampur dengan berbagai hal. Harusnya dia fokus belajar, justru fokusnya itu teralihkan karena dihantui hutang mendiang sang Ayah, bekerja diusia dini dan ditambah lagi terus dihantui masa lalu yang menyeramkan.

*******

Rexford Mackenzie

Litzi Euniciano

.
.
.

Trailer DIRTY BABY & video mansion Rex ada di IG 👉 mkzie_series 👈 .

👉 Please, give me vote & comment 👈

PuspitaRatnawati

08.September.2017

(07:11)

*_ _NEXT TO PART 02_ _*

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 221K 29
SUDAH TERSEDIA DI PLATFORM KUBACA. (Mature Romance) Gilbert Jerr Alessio, pemilik agensi modeling terbesar di daratan Amerika dan Eropa. Bastard, bia...
3.4M 20.1K 3
DON'T COPY MY STORY!! 16+ - Follow terlebih dahulu. Maxim, lelaki misterius yang telah menjadi bodyguard keluarga Zacrie, membantu Carissa kabur dari...
3.9K 895 60
Sequel My Kriting Girl 🍊 Jonah hanya ingin Amy kembali padanya. Louis juga hanya mau Amy. Dia mengenalnya lebih dulu, itu berati Amy miliknya. Amy p...
5.8M 309K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...