A.N: buat yang ga tau, Brian itu dipanggilnya Ian ya. Baca huruf I nya jadi huruf Y. Jadi kayak 'Yan' gitu.
Yaudah itu aja.
Selamat membaca❤
***
"Dari mana lo, bego?"
Fallen melengos begitu ditanyai seperti itu oleh Andre. Padahal ia baru datang, belum sempat untuk mengistirahatkan kakinya yang barusan digunakannya untuk berlari dari kejaran satpam sekolah. "Ada urusan sebentar." balasnya singkat sembari mendorong Jordan agar bergeser dan memberikannya ruang untuk duduk.
Jordan mencebik, lantas menggeser pantatnya ke arah kanan. "Sebentar kata lo? Lo cabut dari jam tujuh, Fal. Sekarang udah jam istirahat kedua. Gue sama Andre kebingungan mau alesan apa ke guru. Tasnya ada kok orangnya gak ada," Jordan mencerocos panjang. "Jadi gue bilang aja lo kena diare dan langsung pulang."
Hembusan napas panjang terdengar dari Fallen. Sejujurnya dia ingin sekali mencaci kebodohan Jordan. Namun suasana hatinya benar-benar tidak mendukung. Dengan wajah yang masih kusut, diraihnya segelas es teh manis yang terletak di atas meja, lantas meneguk isinya sampai habis. "Gue galau, nih." ungkapnya kemudian.
Brian menggeleng-gelengkan kepala. Memandangi Fallen dan segelas es teh manisnya yang telah raib dengan tatapan sendu. "Kebiasaan, dah. Pasti es teh gue terus yang jadi korbannya."
"Cuma tiga rebu, elah, Ian."
"Naik, anjing, es tehnya. Jadi empat rebu sekarang."
"Sejak kapan es teh naik anjing?"
Mendengar celetukan Jordan, Revan lantas membalasnya dengan melempar tiga butir kacang polong miliknya. "Receh lo." katanya, tapi tak ayal tertawa juga.
"Receh tapi lo ketawa, tai."
"Kasian aja gue."
Melihat teman-temannya yang malah bertikai, membuat mood Fallen semakin memburuk. Beruntung Revan cukup peka dalam menyadari ketidakberesan yang terjadi pada teman-temannya. Jadi dengan setengah hati, Revan mencoba untuk pura-pura peduli.
"Lo mending ceritain dulu semuanya, Fal. Muka lo rasanya mau gue setrika biar gak lecek begitu."
Fallen lagi-lagi menghembuskan napas pendek. Seolah-olah sedang ditimpa masalah dalam skala besar. "Awal permasalahannya itu gara-gara Alexa ke klub lagi," ucapnya. "Awalnya gue marah banget karena dia gak dengerin larangan gue buat jangan pernah ke tempat begituan lagi. Tapi sekarang malah dia yang marah sama gue."
"Alasannya?"
"Alexa tau tentang cewek gue, Beca."
Untuk beberapa detik awal, tidak ada yang bersuara di meja itu. Bahkan Jordan yang biasanya bercanda pun ikut diam. Sadar kalau candaannya tidak dibutuhkan untuk saat seperti ini.
Fallen memilih untuk melanjutkan ceritanya. "Waktu dia nanya siapa Beca, gue bingung banget harus jawab apaan. Disitu gue cuma diem, pengecut banget."
Andre menepuk-nepuk pundak Fallen, menguatkan sahabatnya.
Brian yang masih penasaran bertanya. "Terus, respon Alexa gimana?"
"Dia juga diem, kayak nunggu jawaban dari gue. Tapi karna guenya kelewat bego, gak berani jawab, akhirnya dia ngusir gue. Pasti dia marah banget sama gue."
"Ya pasti, lah!" Jordan dengan cepat menyela. "Gue aja kalo liat lo lagi sama Alexa kayak ngeliat orang pacaran. Yakin deh, pasti Alexa naruh harapan sama lo. Pikirin aja gimana reaksinya begitu tau kalo lo udah punya cewek."
Mendengar itu, Revan berdecak. Pernyataan Jordan barusan sama sekali tidak membantu. Bukannya meringankan masalah sahabatnya, Jordan malah membuat raut wajah Fallen semakin semerawut.
"Sebenernya Jor, bukan cuma itu masalahnya." Fallen memandang Jordan sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. "Gue bisa terima kalo Alexa marah atau bahkan benci sama gue. Tapi yang lebih gue khawatirin sekarang itu keselamatannya."
"Maksud lo apaan?"
"Maksud gue Dave. Dia tadi nelpon gue. Dan menurut gue, dia yang cerita tentang Beca ke Alexa. Itu berarti, dia semalem nemuin Alexa dan dia juga bener-bener tau semua tentang gue."
Fallen menatap kosong gelas di depannya. Dirinya benar-benar tidak menyangka bahwa bisa terlibat dan juga melibatkan orang lain dalam masalah ini. Hilang sudah pandangannya tentang Dave yang menganggap laki-laki itu hanya main-main. Fallen salah besar. Dave selalu serius dengan ucapannya.
***
Alexa butuh waktu untuk dirinya sendiri. Jadi, begitu tangisnya reda siang itu, Alexa segera membersihkan diri dan berjalan kaki menuju minimarket.
Alexa tidak ingat, kapan terakhir kali dirinya merasakan hembusan angin sembari berjalan ringan di jalanan kompleknya yang dipenuhi pepohonan. Jiwanya merasa lebih tenang. Ternyata ini yang memang ia butuhkan.
Siang itu langit redup, tak seterang seperti siang yang sebelumnya. Bulan ini memang Indonesia mulai masuk musim hujan. Hawa yang biasanya di atas tiga puluh derajat, menurun drastis.
Alexa mendesah pendek, mengutuk kebodohannya. Jangankan membawa payung, jaket saja ia lupa pakai. Tubuhnya yang hanya dilindungi kaus oblong dengan terusan celana selutut itu sempat menggigil saat angin beberapa kali menerpanya.
Mengabaikan rasa dingin, Alexa mempercepat langkah kakinya. Dirinya sangat malas bila harus berhujan-hujanan. Entah kenapa, Alexa pasti akan selalu ingat dengan Fallen jika hujan turun.
Alexa ingat kejadian sore itu.
Saat hujan turun.
Tentang dirinya, Fallen, dan hujan.
Juga tentang kedai kafe yang dijadikannya tempat berteduh.
Saat Fallen menyatakan perasaannya.
Dulu Alexa selalu tersenyum bila teringat hal kecil itu. Namun, untuk kali ini, Alexa merasa benci. Benci dengan Fallen, hujan, dan dirinya sendiri.
Ah, cukup bernostalgianya. Alexa kini sudah sampai tepat di depan minimarket. Mendorong pintu, dirasakannya suhu dingin yang seketika menyambut. Alexa bahkan baru tau kalau minimarket bisa sedingin ini.
Tanpa ingin dimaki dengan sebutan "Norak", Alexa bergegas mengambil keranjang, lantas berjalan menuju rak berisi makanan ringan.
Diraihnya beberapa snack favorit, tak lupa dengan pesanan Rafa yang kelewat rakus. Sebenarnya, Rafa melarang Alexa untuk keluar tanpanya. Namun setelah bernegoisasi singkat, Rafa akhirnya mengizinkan Alexa sendiri dengan catatan membelikannya beberapa jajanan juga.
Bukan apa-apa, Rafa cuma khawatir. Laki-laki itu bahkan sampai mengorbankan absennya hari ini untuk menjaga Sang Kakak.
Setelah dipastikan barang belanjaannya lengkap (dari makanan sampai minuman), Alexa lantas menuju kasir. Tepat di saat ia akan meletakkan keranjang belanjaannya di meja kasir, seseorang mendahuluinya. Membuat gerakan Alexa terhenti dan memandang laki-laki di sebelahnya.
"Eh, sorry. You first." kata laki-laki itu sembari menarik barang belanjaannya dan memberi Alexa ruang.
Alexa mengangguk. "Thanks."
Ini hanya perasaannya saja atau memang laki-laki barusan terlihat familiar?
Sebisa mungkin Alexa mengorek ingatannya. Mencari keberadaan laki-laki berambut pirang barusan di dalam kepalanya.
"Semuanya Seratus Enam Puluh Ribu Lima Ratus, mbak." ucap si kasir, menepikan pikiran Alexa.
Merogoh kantung, dikeluarkannya dompet dan mengambil dua lembar uang seratusan dari sana. "Ini."
Usai pembayaran, Alexa membalik badannya. Sekadar ingin melihat lagi wajah laki-laki tadi. Tapi nihil, keberadaan laki-laki itu tidak ia temukan.
Mendesah kecewa, Alexa pun bergegas pulang.
***
A.n: semoga yang baca ga ilang:))