NURANI

Oleh VorellaVe

89K 1.3K 100

Pergumulan nurani yang terbesar... terkadang adalah melawan diri sendiri... melawan keinginan yang salah, mel... Lebih Banyak

MONICA DAN COYOTE
RYAN TIDAK TIDUR
GELITIK
DATANGNYA UTUSAN BARU
MIRA
MAAF...
SENANDUNG VICTOR
KEJUTAN
MENUNGGU...
MENATAP UNTUK TERAKHIR KALINYA
PERMATA YANG DI TUKAR
ANTONIUS SUDAH BERUBAH...
WELCOME BACK, HEGA...
ANTARA HEGA DAN MIRA...
TATAPAN MIRA
YANG TERISTIMEWA DAN YANG TERABAIKAN...
DETIK-DETIK...
BUAH KESALAHAN
ADAKAH TEMPAT BAGIKU?
MENGEJAR MIRA...
MENDENDAM...
PASCA OPERASI
HARI-HARI MEMBAYAR HARGA
LUAPAN KEBENCIAN MIRA
HARAPAN DAN PENGORBANAN
AWAL YANG BARU
PAHLAWAN HATI
MOTHER'S HEART TERAPHY CENTRE
PERSAHABATAN
HATI BATU
KEMBALI PULANG...
FAJAR DI PAGI HARI
KESEMPATAN BAIK
INDAH PADA WAKTUNYA
TUNTAS...
MERPATI HATI
PESTA
BASA-BASI SEBELUM CIAOOBUUUUT...

NURANI

11K 107 4
Oleh VorellaVe

AMELIA DAN IRONI        

Hega Pratama adalah seorang perempuan berusia sekitar 33 tahun, single, pintar dan kaya raya. Perawakannya tinggi dan tegap. Ia punya bahu bidang layaknya model. Wajahnya selalu terlihat dengan sedikit senyum simpul saja. Tidak terlihat sombong, tapi juga tidak terlihat ramah. Ia lebih terkesan kalem. Dan baru sebulan ini, ia menetap kembali di Jakarta. Tadinya ia sempat menetap di Bandung selama setahun. Lalu perusahaan otomotif tempatnya bekerja hampir selama lima tahun ini, menugaskannya kembali ke Jakarta dengan posisi tetap sebagai seorang Sales Supervisor Senior. Padahal ia berharap ada kenaikan atau promosi. Tapi sepertinya ia harus bersabar untuk terus membuktikan pada manajemen bahwa ia punya prestasi yang outstanding untuk mengalahkan semua kompetitornya demi mendapatkan sebuah promosi kenaikan jabatan. Dan di hari minggunya ini, hampir seharian Hega mengisinya untuk melepas kangen dengan sahabat sejak masa kuliahnya. Hampir sepuluh tahun sudah, ia bersahabat dengan Amelia Rukmana, gadis berdarah Sunda-Jawa yang eksotis, berkulit kecoklatan, berwajah oval sempurna, rambut hitam yang lurus, tebal dan panjang hingga menjuntai ke pinggang. Bisa dikatakan, Amelia berperawakan ramping, tidak tinggi semampai seperti Hega, tapi tubuhnya proporsional. Dan sosok eksotisnya sangat menarik para pejantan ras kaukasia. Orang–orang bule menggemari warna kulit dan tekstur wajahnya. Kekasihnya yang sekarang adalah pria setengah baya berkebangsaan Perancis. Mereka akan menikah tepat di 6 bulan mendatang. Hari itu Amelia mengenakan blus terusan baby doll yang panjangnya sekitar sepuluh senti di atas lutut. Ia terlihat makin eksotis dengan nuansa serba merah bata membungkus tubuhnya. Kalung low neck dari batu phyrus hijau toska menghiasi leher jenjangnya yang ramping dan tampak kencang sesempurna leher sebuah manekin. Bibir idealnya yang berbentuk cherry di pulas dengan lipstick berwarna natural yang memberi efek berkilat serta basah. Sepatu temalinya yang seksi semakin memperindah tungkai kakinya. Betisnya juga ramping dan jenjang. Semua keindahan itu menjadi modal Amelia untuk menarik perhatian para lelaki. Sebelumnya, Amelia senang bergonta-ganti pasangan… sampai akhirnya ia bertemu dengan Pacar Perancisnya. Dan ia langsung meyakinkan dirinya sendiri, He’s the one and the only one… Kali ini Amelia main hati…

Dan percakapan berangsur begitu seru saat mereka membahas gebetan lama mereka semasa kuliah dulu; Antonius Lazarus… Topik yang bisa membuat Hega pada awalnya mendadak pura – pura tak antusias mendengarnya. Pura-pura. Hega tak pernah menyangka, Antonius adalah Kepala Cabang yang baru enam bulan ditempatkan di Cabang Kelapa Gading. Cabang di mana Hega akan mulai bekerja di hari senin besok.

            “Kenapa gak lo deketin dia?” pertanyaan lantang tanpa basa-basi yang meluncur dari bibir mungil Amelia, membuat Hega tersedak saat sedang menyeruput segelas lemon teanya.

            “hah?”

            “Lo suka dia dan masih suka dia.”, lanjut Amelia.

            “ieuuuwaatttt????” Hega menyeka sedikit tumpahan minuman yang meluberi seputar bibir penuhnya. “He’s married, jeung…”

'”he eh.” Amelia mengiyakan bahwa ia mengetahui hal itu… Tapi rautnya seolah berkata itu bukan masalah… tapi ia tak berbicara apa – apa lagi… Seolah ia tahu isi hati Hega sebenarnya, tapi menyerahkan kembali kepada Hega untuk jujur pada diri sendiri. Menurut standar Amelia, “ada yang punya” atau “belum ada yang punya”,,, kalau suka… rebut! Sementara Hega akan selalu membuat standar “benar” atau “salah” dalam mengambil sikap atau memutuskan untuk melakukan tindakan tertentu. “Tak sepaham” dengan Amelia. Dan Amelia sadar penuh akan hal itu. Jadi ia menghindari dirinya berpolemik ria dengan hal yang bukan menjadi kepentingannya.

            Malam hari tiba… Hega mengenang kesehariannya di banyak malam… malam minggu, malam senin bahkan malam jum’at kliwon… ia harus merasa seru sendiri menikmati acara nonton DVD sewaan (ia anti “DVD bajakan”) tanpa seorangpun menemani…

Amelia… Amelia pasti sedang menikmati kencannya bersama La Fayette… Pacar Perancisnya, pikir Hega.

            “Kenapa gak lo deketin dia?” terngiang kembali tutur kata Amelia… “Lo suka dia dan masih suka dia.” Kata–kata Amelia terus mengusik… “He’s married…” Hega mengingatkan dirinya sendiri. Yah, He’s married… Hega mengulangnya di dalam hati dengan tegas. Ia anti mengusik hubungan orang lain. Dalam hal itulah ia berbeda dengan Amelia… Amelia tak pernah perduli dengan apa yang menghalanginya kalau ia sudah menginginkan sesuatu. Seperti Tuan Perancis itu… Amelia merebutnya dari tangan istri sahnya di Perancis. Amelia memisahkannya dari anak–anak kandungnya. Hega berpendapat, Amelia sangat egois dan cenderung jahat kalau ia sedang berusaha mendapatkan apa yang diinginkan hatinya. Pertemanan Hega awet dengan Amelia karena Hega selalu menghindari untuk berbenturan kepentingan dengan Amelia. Karena itu Hega tak pernah mengusahakan sesuatu apapun untuk mendekati Antonius, dulu. Karena dulu, Amelia tergila–gila pada Antonius. Dan sekarang, meski Amelia tidak lagi menginginkan Antonius, Antonius sudah menikah dan memiliki dua anak yang masih kecil–kecil. Maka sembari Hega terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap “lurus”, meski ia sangat sangat… sangat… kesepian di usia “kepala tiga”nya dengan statusnya yang masih menjomblo…, Ia menetapkan sikap tak kompromi… untuk anti… anti mengusik hubungan orang lain… Dan tak butuh lama memikirkan hal yang itu–itu juga, terus mengingatkan dirinya berulang-ulang… ia pun jatuh terlelap…

            Jam kerja di dunia otomotif selalu menggila di hari tutup D.O., menjelang akhir bulan.

Dua telepon genggam Hega terus berbunyi… Hega terpaksa mengabaikan bunyi keduanya karena ia sedang on line di telepon genggam yang satunya lagi.

            “was I the only one who fell in love…” Rika ikut menyanyikan sebaris lirik lagu Jordin Sparks yang melantun dari salah satu telepon genggamnya Hega. Lantunan lagu yang menyentuh hati itu saling bersusulan dengan lantunan salah satu hits Ne-Yo di telepon genggam Hega yang lainnya. Rika adalah salah satu rekan kerja Hega, sesama Sales Supervisor.

“Angkat tuh hape, jeung…,” kata Rika. Rambutnya berpotongan finger wave sepunggung, berkulit putih dan memiliki garis senyum yang manis di sudut bibirnya, layaknya mojang priangan Sunda. Tidak tinggi, juga tidak pendek. Ia lebih terkesan mungil bila di lihat dari jauh. Tapi bila didekati, tinggi badannya termasuk standar. Tidak gemuk, juga tidak kurus. Semua yang ada pada Rika terlihat serba cukup. Cukup menarik…

Dengan enggan, Hega mengangkat teleponnya. Hanya sekitar 3 menit ia mendengarkan orang yang meneleponnya di seberang sana berbicara,,, lalu yang berikutnya terjadi, Hega berangsur lemas, melorot duduk ke kursi yang berada tak jauh darinya, dengan wajah lunglai dan mulut setengah membuka seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak ada kata–kata yang bisa keluar dari situ…

            “Kenapa, ga?”, Tanya Rika… Mata bulat-kecilnya memicing.

            “Amelia… meninggal…” Hega bisa mendengar sesak nafasnya sendiri.

            “Siapa Amelia?”

Siapa Amelia… terus mendengung di telinga Hega yang mulai tak mendengar apa–apa lagi… Amelia, sahabat satu–satunya yang ia punya… yang keras kepala, ceria dan selalu menggodanya… Ternyata Amelia pun bisa mati…

            Hujan mengguyur deras saat iring–iringan pemakaman Amelia Rukmana berjalan… orang–orang yang hadir tak terlalu banyak… Karena lebih banyak yang membencinya daripada yang menyayanginya… sisanya hanya suka memanfaatkannya… Amelia adalah anak tunggal… papa-mamanya sudah lama meninggal… Amelia hidup sebatang kara sejak usia 14 tahun. Ia hidup dengan begitu keras untuk mendapatkan segala sesuatu demi membuatnya bertahan hidup. Termasuk dalam hal mendapatkan si La Fayette. Hega teringat bagaimana Amelia sering mengumandangkan bahwa ia tak bisa hidup tanpa pria itu dan harus mendapatkannya dengan berbagai cara. Tapi Tuhan tetap tak mengijinkan… tinggal enam bulan lagi waktu bagi Amelia untuk mendapatkan impiannya… Tapi pada akhirnya… Amelia tak mendapatkannya…

Tak jauh di sudut kanan, La Fayette tampak tertegun melihat bagaimana peti Amelia mulai tertutup tanah hingga tak terlihat lagi sama sekali. Lelaki itu jelas sudah tidak muda. Rambut brunette di bagian dahi tampak menipis dan mulai bercampur dengan rambut keabuan. Lelaki itu juga tidak tampan. Tapi terlihat seperti laki-laki yang baik. Dan ia sangat kaya. Ia memiliki sebuah production house untuk perfilman di Perancis. Hega berinisiatif menghampiri La Fayette untuk mengucapkan bela sungkawa. Hega tak bisa bahasa Perancis selain “merci” dan “oui”. Dan La Fayette pun tak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Jadi Hega memutuskan untuk berbicara dengan Bahasa Inggris…

            “Hi…” Hega sudah berhadap –hadapan dengan La Fayette saat seluruh tata cara pemakaman selesai dilakukan.

            “Hi… Hello…” La Fayette membalas sapaan dengan aksen sengau khas perancisnya. Ia menatap Hega dengan kikuk. Ia tak nampak sedih. Ia terkesan sedang kebingungan. Jadi Hega langsung saja menyampaikan bahwa dirinya juga sangat berduka atas kepergian Amelia… dan betapa terkejutnya Hega saat mendengar apa yang keluar dari mulut La Fayette kemudian…

            “Be frankly… don’t you realize that I’m confused about what I’ve been doing here?”

Ia mempertanyakan dirinya sendiri atau entah sungguh–sungguh bertanya pada Hega, sedang apa dan untuk apa ia berada di situ.

            “Pardon me?” Hega berusaha memastikan apa yang didengarnya barusan…

Dengan sikap yang masih kikuk, La Fayette menatapnya dengan bingung…

            “I don’t know what have I been doing.” La Fayette mengulang dengan lebih jelas, mempertanyakan apa yang selama ini dilakukannya. Dengan sinar mata yang sungguh kebingungan. Sembari terus saja mengacak rambut bagian depannya yang tipis.

            “What did you mean? You’re here because Amelia is buried here. Are you okay?”

            “Who is Amelia?” La Fayette mennyebutkan nama Amelia dengan nada bicara dan tatapan seolah tidak pernah menyayangi Amelia sebelumnya. La Fayette berkerenyit dahi dan memicing nanar. Warna mukanya sulit dijelaskan. Tapi yang jelas, ia tampak tak bahagia berada di situ. Persisnya, ia terlihat seperti orang yang baru saja tersadar dari koma yang panjang…

Pertanyaan terakhir si Tuan Perancis itu bagai geledek di telinga Hega. Bagaimana mungkin La Fayette mempertanyakan… Siapa Amelia??? Hega mengerti pertanyaan itu tidak bersifat harafiah... tapi mempertanyakan siapakah Amelia bagi La Fayette? Dan itu terkesan begitu kasar. Seperti melecehkan...

             Tak pernah disangka oleh Hega… kalau Amelia benar–benar menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan bule Perancis itu… bahkan dengan cara okultisme pun di pilih oleh Amelia… Menghalalkan segala cara memang kecenderungannya…

Tapi hasil akhirnya membuktikan dengan jelas bahwa cara yang salah tak akan membuahkan kebaikan sama sekali… Amelia meninggal karena jatuh terpeleset di kamar mandi… yah, jatuh begitu saja, membuat bagian vital di belakang kepalanya mengalami pendarahan hebat dan mati di tempat. Amelia tidak meninggal dalam kecelakaan tragis… tapi ironis… dan si Tuan Perancis kembali ke negerinya, bersatu kembali dengan keluarganya… Amelia tidak pernah menang. Ia hanya seperti pengganggu sesaat lalu di potes dari kehidupan agar La Fayette kembali dengan kehidupan yang sesungguhnya. Sungguh bahan pelajaran yang mengingatkan Hega,,, jangan pernah berpikir untuk begitu takabur, merasa bisa masuk begitu saja dalam kehidupan sepasang manusia dan memisahkan yang namanya cinta pemberian Tuhan. Keindahan tidak menjamin kebersamaan selamanya…

Perasaan ngeri dan berkabung, bercampur aduk di benak Hega. Saat itulah tangan berat yang terasa kuat, mendarat di bahunya. “Yang tabah, ya…” suara berat berwibawa, menyusul di telinga Hega, setengah berbisik. Itu suara milik. Antonius Lazarus.

            “Kenapa gak lo deketin dia?” suara menggoda Almarhum Amelia itu mendadak terngiang di telinga Hega. Hega bergidik ngeri hingga bahunya bergetar. “Kamu baik–baik aja, ga?”, Tanya Antonius, merasa prihatin melihat Hega yang seperti sulit untuk kembali ke dunia nyata.

            “Oh, iya… iya… gak apa-apa, kok…,” sahut Hega kikuk.

            “Hega, mungkin timingnya gak tepat, ya… tapi anak–anak satu kantor mau ngerayain pencapaian target kita yang fantastis di bulan ini… Kita sudah berhasil menembus angka di atas seratus unit… Itu sejarah… kita semua mau ke NAV karaoke…” Antonius berhenti di situ, memperhatikan raut Hega. “mmm… kalo kamu ngerasa dah gak apa-apa,,, nyusul aja ya…” Antonius melanjutkan.

Hega masih tercengang di kursinya, menatap Antonius dengan pandangan memicing yang aneh.

            “Kamu… gak apa apa kan?”, Tanya Antonius lagi.

Barulah Hega tersadar. “Oh, iya, pak! Ya, nanti saya nyusul deh… tenkyu, pak…”

Antonius melempar senyum dan melambaikan tangan lalu membalikkan badan dan berangsur pergi…

            “Kenapa gak lo deketin dia?” kata-kata itu terngiang lagi. Hega kembali bergidik. “Amelia, tolong jangan ganggu!” Hega bicara membentak sesendirian. Ia sadar Amelia sudah tak bisa bicara apapun lagi. Tapi keinginan hati Hega sendiri... yang tersembunyi... yang menggodanya… Hega masih bisa merasakan… Dan baru sekejap saja merasakan, ia sudah mulai merindukan sentuhan tangan kekar itu di bahunya… tapi cepat–cepat diusirnya perasaan itu. Mengingat… Amelia dan Ironi…, Hega membatin terakhir kalinya saat itu.

            Hega melajukan X-Over Hitamnya tak seberapa jauh dari kantornya ke gedung NAV 1 yang masih berada di satu kawasan dengan kantornya, di kawasan Kelapa Gading. Ia sempat meragu sesaat untuk turut merayakan… di saat Amelia baru saja 2 hari yang lalu dimakamkan… Tapi bila kembali di putar ke fakta… hidup berlanjut… tak ada alasan untuk berhenti menikmati hidup, itu yang dipikir Hega. Ia memarkir mobilnya agak jauh dari pintu masuk gedung NAV 1 yang tidak besar. Hanya seperti Ruko berkisar sekitar 3 lantai. Dan ia mulai menapaki anak tangga ke atas sambil menelepon Rika dengan telepon genggamnya. Nada sibuk terus berbunyi. Akhirnya Hega menghubungi Hans, salah satu anak buahnya. Setelah mendapat informasi jelas di ruangan nomor berapa mereka merayakan, Hega langsung menapaki koridor sempit dengan ruangan demi ruangan berjejer di kiri kanannya. Saat itulah Hega menyadari sosok Antonius yang berdiri tak jauh darinya, sedang membelakanginya. Tampak sedang berbicara di telepon genggamnya. Sekilas, wajahnya terkesan tegang dan terlihat kisruh. Antonius terus memijat–mijat bagian atas kelopak matanya seakan kelelahan hanya untuk sekedar berbicara. Hega terus melangkah… hingga sampai ke posisi yang cukup dekat untuk mendengar percakapan Antonius. Tidak kencang, tapi cukup jelas…

            “Tolonglah, ma… jangan marah terus… Aku lagi ngerayain sama anak–anak buahku… gak enak kalo gak ikut…” Antonius masih membelakangi dan tak menyadari kehadiran Hega hingga Hega berlalu masuk ke dalam ruangan.

Tak lama kemudian, Antonius juga masuk kembali ke dalam ruangan. Wajahnya tampak gundah gulana… dan rahang–rahangnya seperti saling memaku dengan rapat. Antonius masih tak menyadari kehadiran Hega. Sementara yang lain sibuk bernyanyi, makan kudapan dan minum coke. Rika terus menguasai mike dan terus mengibas tangan Hans yang tak henti-hentinya ingin mengambil mike dari kekuasaan Rika.

            “oi!!! Gantian, donk!”, teriak Hans pada Rika. “Kasih Pak Antonius tuh! Nyanyi, pak! Nyanyi!!!’

Serentak, yang lain–lain pun ikut menyerukan hal yang sama. Ada sekitar 20 orang di ruangan VIP itu. Sangat riuh… “Ayo, Pak! Nyanyi!” Hans masih melanjutkan provokasinya.

            “Iya, deeeh…,” Rika menyodorkan mike ke Antonius. “Nyanyi, Pak!”

Melihat itu, Hans tersenyum,. Tujuannya tercapai. Ia tak senang dengan sikap tirani Rika. Sementara Antonius, seolah ingin melarikan diri dari mumet di otaknya, tanpa dipaksa, ia pun melepas “jubah jaim”nya dan menerima sodoran mike tepat di saat lagu Drive, “Katakanlah”, mulai melantunkan intronya…

            “Lagunya mau ganti, pak? Bisa lagu ini pak?”, Tanya Ryan.

Antonius menggeleng. “Gak… gak apal… Gak apa apa… saya ngarang aja…” Antonius tetap berusaha melucu. Ia pun menyanyi… dengan suara yang besar dan powerful namun nadanya kemana–mana…

Hega terlena tanpa sadar, diam–diam mengamati ke balik mata Antonius yang menyembunyikan sesuatu… Hega masih saja mengagumi sosok Antonius yang sejak dulu memang memiliki karisma yang kuat… wajah dengan rahang yang tegas, senyum yang menawan dan khas, sederetan gigi–gigi yang rapi meski tak seputih dulu karena Antonius yang sekarang merokok. Wajahnya terlihat lebih muda dari usianya yang sudah sekitar 37 tahun. Meski beberapa helai uban mulai terlihat di antara rambut–rambut hitam lainnya yang tebal dan kaku. Matanya masih berbinar seperti dulu meski sudah mulai menampakkan kantung mata tanda kelelahan di bawah matanya. Alisnya tebal dan rapi, membuat sepasang mata lentiknya yang bulat kecil terlihat menggoda. Hega masih sangat menyukainya. “kenapa gak lo deketin dia?” kata–kata Almarhum Amelia kembali terngiang… Hega terhenyak-setengah bergidik. Ia segera mengalihkan matanya yang terus mencuri pandang di balik keremangan lampu ruangan, ke arah Ryan yang sedang sibuk mencari–cari lagu. Dan Ryan yang menerima buangan dari pandangan Hega itu mulai menunjukkan gelagat salah tingkah. Wajar bagi Ryan untuk bereaksi seperti itu. Bagaimana pun, Hega masih sangat menarik dengan tubuh semampainya yang 178 sentimeter dan berkulit putih bersih bagai porselen. Rambut ikal Hega yang hitam lebat pun selalu tertata rapi dengan kuncir satu agak tinggi di ubun–ubun memperlihatkan ujung anak–anak rambutnya yang membingkai dahi serta tengkuknya dengan sempurna. Sepasang alis yang tebal dan rapi, yang membuat sorot mata tajamnya terlihat mistis. Bibirnya penuh dan kemerahan, hampir tidak pernah memakai lipstick. Merah alami dan berkilat basah… membuat laki–laki gemas ingin mengulum bibir itu… tapi Hega sulit sekali untuk didekati. Seperti ada dinding menjulang yang membuat semua laki–laki tak bertahan untuk terus mendekatinya. Ia terlalu introvert, superior, ambisius dan… dingin… serta terlalu pintar dan kaya… membuat laki–laki di dekatnya merasa… payah… Hega suka dengan totalitas dalam mengerjakan berbagai hal yang menjadi bagian dan tugasnya. Ia tidak suka dengan “lalai” atau “menunda” atau “lambat”. Ia suka dengan “keputusan” dan “kepastian”. Pastinya,,, sulit sekali mendapatkan laki–laki yang bisa mengimbanginya.

Malam itu berlalu tanpa kesan apapun antara Hega ataupun Antonius. Dan Hega tak pernah berani untuk terpikir akan memiliki “kesan apapun” itu dengan Antonius…

Amelia dan Ironi…, hal itu mulai jadi rema pengingat bagi Hega.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

4.8M 178K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
529K 87.4K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
2.5M 274K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1M 49.8K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...