Better Than Almost Anything

By nyonyatua

43K 4.6K 257

Bagaimana kalau mimpi buruk yang selama ini kamu alami bukan hanya sekadar mimpi? Elliot, pemilik hotel terbe... More

Fortune Cookies
Macaron (1)
Macaron (2)
Dip Stick Chocolate
Pumpkin Muffins
Banana Chocolate (1)
Banana Chocolate (2)
Iced Chocolate (1)
Iced Chocolate (2)
Shortbread Cookies (1)
Shortbread Cookies (2)
GingerBread
Chocolate House
Ptichie Moloko
Death By Chocolate
Snickerdoodles
S'More Bark
Orange Dream (1)
Orange Dream (2)
Streusel
Marble Cheseecake (1)
Marble Cheesecake (2)
Pita Tree
Gummy Bears
Trail Mix
Berry Cute
KARACHI
Rainbow Cake (1)
Rainbow Cake (2)
Black Forest (1)
Black Forest (2)
Black Forest (3)
Chocolate Blitzen
Angel Food
Chocolate Brownie
Chipotle Cheese Steak
Twist Potato (1)
Twist Potato (2)
Splatter Paint
Meatloaf Cake
Devil Cake (1)
Devil Cake (2)
Bittersweet Hot Chocolate (1)
BitterSweet Hot Chocolate (2)
Better Than Almost Anything (1)
Better Than Almost Anything (2)
Sparkling Strawberry (1)
Sparkling Strawberry (2)
Red Velvet
Better Than Anything
Better Than Almost Anything English Version
Better Than Almost Anything di Amazon

Tiramisu Truffles

576 80 4
By nyonyatua

Angel menelan ludah saat menatap gundukan kardus yang kini menggunung di ruang tamu. Kiriman hadiah yang terus mengalir dari kemarin sore. Semua dari Elliot, demi acara pernikahan mereka katanya. Tetapi, pria itu menghilang entah ke mana. Terakhir kali mereka bertatap muka kemarin pagi di taman dan pria itu berjanji untuk menemaninya periksa ke dokter kandungan akhir minggu ini. Namun, Elliot menghilang setelah itu dan tidak juga menampakkan batang hidungnya hari ini.

Ya, baru kemarin sih, tapi entah kenapa rasanya begitu lama. Angel menghela napas berat. Ke mana pria itu sebenarnya? Bukan berarti mereka harus bertemu setiap dia membuka mata, hanya saja bertemu serasa menjadi sebuah keharusan akhir-akhir ini.

"Kamu benar-benar akan menikah?" Suara sarkastik ibunya mulai terdengar.

"Iya. Mungkin Ibu mau datang." Angel mulai membuka kotak satu persatu.

"Tentu."

Angel menoleh, menyipitkan mata untuk sekedar memberikan tekanan. "Jangan buat keributan!"

"Kamu pikir ibumu ini apa? Bandit?"

Angel tidak menjawab. Dia berbaikan dengan Sophie, begitu saja. Tidak ada kata maaf. Tanpa ucapan penyesalan atau menenangkan. Semuanya kembali seperti sedia kala, seolah tidak ada yang terjadi.

"Sepertinya dia orang kaya."

Angel mendengkus pelan. "Sekadar informasi, dia juga tampan. Mungkin Ibu berniat menggodanya."

"Bisakah kamu berhenti membicarakan ini. Mulai membosankan, Angel!"

"Sebelum Ibu menusukku lagi di belakang."

"Maksudmu?"

Angel menunduk, membuka kardus di pangkuan. "Seperti yang Ibu lakukan pada Ryan. Mungkin Ibu lupa, ada masih kekasihku saat Ibu tidur dengannya saat itu."

Angel sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya saat tamparan keras mendarat di pipi. Dia hanya tersenyum pelan sembari mengusap pipinya yang memerah. Tidak bergerak sedikit pun, toh semua yang dikatakan benar dan itu fakta.

"Bisa enggak kamu berhenti mengungkit hal semacam itu?" Bahu Sophie bergerak naik turun, sementara napasnya tersengal.

"Kalau Ibu marah itu artinya benar, bukan?"

Wanita itu mengepalkan tangan. Tidak lama setelahnya, Sophie memutar badan dan membanting pintu. Angel tersenyum tipis, hubungannya selalu seperti ini. Selalu lebih mirip anjing dan kucing. Kemarahannya memang sudah padam bertahun-tahun silam. Hanya saja, kekesalan itu terus bertahan di dalam hati. Memang keluarganya tidak bahagia, dia tahu itu. Dia hanya tidak bisa terima karena Sophie tidak pernah berubah.

Meski keinginan untuk mengetahui identitas ayah kandungnya telah pupus bertahun-tahun lalu. Tetapi, hal yang dilakukan Sophie pada Ryan sekitar dua tahun lalu masih membekas di dalam ingatan. Kekagetannya ketika dia menemukan Sophie dan Ryan tidur bersama. Di flat ini saat dia tengah keluar untuk membeli tisu toilet. Lebih dari itu, Sophie bahkan tidak malu untuk tetap memaksa tinggal di rumah ini bersamanya setelah merebut kekasihnya.

Meski begitu, semua masalah itu telah berlalu. Seharusnya dia tidak perlu memantik api untuk memulai kebakaran. Seharusnya mereka bisa bahagia. Namun, dia tetap tidak bisa memaafkan semudah cara Sophie mengkhianatinya. Padahal hanya Sophie keluarganya dan katanya cinta pada keluarga itu tanpa batasan dan cinta itu tidak perlu alasan. Akan tetapi, dia tetap marah dan sebal melihat wanita itu.

Meski dia sempat berpikir kalau membagi cinta yang cukup untuk dirinya dan ibunya maka kebahagiaan itu dalam genggaman. Karena satu kata itu tidak memerlukan sesuatu yang besar dan mewah sebagai landasan. Meskipun, standar kebahagiaan setiap orang pasti berbeda-beda. Menurutnya, dia dan Sophie hanya belum menemukan standar yang sama untuk merasakan kebahagiaan.

"Lepaskan kemarahanmu, Angel!"

Suara Elliot seolah bergema di dalam kepalanya, Angel menarik napas pelan. Dia memang harus melepaskan kemarahan itu cepat atau lambat. Di satu sisi dia hanya bisa mengeluh bahwa hidup ini tidaklah adil. Tetapi, mungkin dari sisi orang lain dia hanya tampak sebagai orang yang selalu menyalahkan orang lain. Menyalahkan keadaan. Menyalahkan takdir. Menyalahkan semuanya dan siapa saja.

Angel menunduk dan jemarinya mengusap perutnya dengan lembut. "Jangan hidup seperti Ibu, Nak."

Ibu. Ya, beberapa bulan lagi dia akan menyandang status baru. Menjadi seorang ibu yang lebih dari Sophie. Ibu yang ingin menghujani anak ini dengan cinta dan kasih sayang hingga anak ini akan muak. Mungkin anak ini akan semakin marah karena ibunya ingin mencium pipinya setiap waktu, menggandeng tangannya ke mana pun mereka pergi. Dia bisa jadi terlalu over-protective hanya untuk selalu menjaga anak kesayangannya.

Senyuman tipis mengembang di bibirnya. Sebulan lalu dia tidak seperti ini. Perubahan mulai terjadi sejak kedatangan pria itu. Hatinya yang selama ini tertutup es sekarang mulai menghangat. Dia yang awalnya membenci anak ini mulai bisa menerima hingga Elliot mencintainya. Menyayangi bayi ini seakan miliknya. Jika seseorang menyukai bayi yang bahkan masih tumbuh di perutnya maka bukankah aneh kalau dia masih membencinya?

Matanya menoleh sejenak ke kamar Sophie yang masih tertutup rapat. Angel mendesah pelan dan menarik satu kotak kue mungil yang dikirimkan Elliot tadi pagi. Empat buah tiramisu truffle bertengger di dalam kotak itu. Pria itu memang menghilang tapi kiriman kue dan cokelat datang tadi pagi ke flat-nya. Mungkin dia ingin mengukuhkan doktrin agar calon istrinya menyukai cokelat. Memang, berkat Elliot Angel mulai membuka hatinya untuk menyukai makanan manis ini lagi.

Jemarinya meraih satu kue berwarna cokelat berbentuk bulat. Rasa manis cokelat dan gurih keju pecah di mulut. Mulutnya mengunyah, tetapi bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum. Apalagi ketika mengingat pesan yang diselipkan di atas kotak. Pria itu terlalu gombal, tapi entah mengapa dia kecanduan gombalan murahan itu. Dia merindukan pria itu, tentu saja.

"Aku tidak pernah merindukanmu karena kau ada di hatiku, Angel. Empat untuk simbol daun semanggi berdaun empat yang dipercaya sebagai pembawa keberuntungan di negara Asia Timur. Semoga harimu selalu beruntung hari ini, Malaikatku. Ini hanya seuntai kata dari seorang pria yang selalu memeluk kerinduan lebih dekat di hatinya sejak kehadiranmu.

"Aku berbeda denganmu, El. Sepotong tiramisu truffle tidak bisa menampung kerinduanku padamu," gumamnya sambil terus mengunyah. Angel tersenyum sendiri. "Ya, Tuhan, sekarang aku bahkan lebih gombal."

Angel terkesiap ketika suara ketukan dari pintu terdengar keras. Dia beranjak berdiri lalu bergerak dengan malas. Seorang pria berpakaian necis berdiri di depan. Matanya menyelidik.

"Miss Angel?"

"Iya, saya sendiri." Keningnya berkerut bingung.

"Mister Elliot meminta saya untuk menjemput Anda."

"Elliot?"

Pria itu mengangguk mengiyakan. "Dia sedang menunggu Anda sekarang."

Angel mengangguk. "Baiklah. Tunggu sebentar!"

Angel berbalik dan masuk kembali ke dalam rumah. Dia buru-buru mengambil tas dan dompet. Saat itu sebuah benda berkerincing nyaring, terjatuh dari meja. Benda itu terdorong saat dia mengambil dompet. Angel menghela napas pelan. Kalung itu milik Si Pria tidak bermoral malam itu. Dia menarik benda itu, menatapnya sekilas. Ada gliter timbul di permukaan dalamnya berbentuk sepasang sayap. Manis, sayang sekali pemiliknya penjahat. Dia lalu melemparkan benda itu ke pojok meja.

Sekarang, dia juga sudah tidak memerlukan benda terkutuk ini untuk mengingatkan dirinya kalau dia hanya korban. Dia bukan lagi korban yang menyedihkan. Ketika mengingat pria itu, jemarinya mengelus perutnya perlahan. Tidak, tidak, bayi ini bukan milik pria itu. Bayi ini miliknya dan Elliot. Pria bejat itu tidak berhak untuk mengklaim anak ini miliknya.

Angel menggeleng beberapa kali untuk menghapuskan gagasan buruk yang bermain di dalam benaknya. Dia kembali bersiap-siap dan bergerak keluar untuk menemui pria yang sedari tadi menunggu. Pria itu hanya mengangguk dan Angel memilih mengikutinya dalam diam sampai dia bergerak masuk ke kursi belakang mobil jemputan. Dia masih tetap tidak bicara sampai mobil itu berderum pelan lalu bergerak menembus jalanan.

Meski begitu, Angel tidak berhenti tersenyum sepanjang perjalanan. Dia hanya mencoba bersikap normal ketika sudah sampai di lokasi tujuan dan berjalan masuk ke dalam hotel, tempat Elliot menginap selama ini. Pria itu selalu tinggal di hotel, tidakkah mereka perlu rumah setelah menikah. Tapi, bertanya akan hal besar seperti itu jelas dia tidak berani. Segala ikatan bisa putus, bahkan ikatan pernikahan. Mereka bahkan belum menikah. Oleh karena itu, tindakan gegabah jelas bukan pilihan. Dia tidak ingin Kehilangan pria itu. Membayangkannya saja sangat menyakitkan. Lagi pula, akan ada banyak waktu nanti untuk menanyakan hal ini.

"Angel!" Seorang perempuan berperawakan langsing langsung menyambutnya kala dia menjejakkan kaki di ruang tamu.

"Oh," Angel masih sekaku patung kala perempuan asing itu memeluknya tanpa memperkenalnya diri terlebih dahulu.

"Ayo. Elliot sudah memilihkan gaun pengantin untukmu." Wanita itu menuntun Angel yang terseok mengikuti langkah kakinya yang panjang.

"Gaun pengantin?" Angel mengulang dua kata itu dengan ragu.

"Tentu saja. Kalian akan menikah, bukan?"

"Iya."

"Nah, tunggu apalagi?"

Angel mengikuti dengan pasrah saat wanita itu menggamit lengannya. Diam-diam mengulum senyuman ketika dia tahu kalau Elliot telah menyiapkan semuanya. Dia bahkan tidak bisa memilih. Semua adalah pilihan pria itu. Tapi, apa pentingnya sebuah pilihan jika seseorang yang memilihkan semuanya sudah memikirkan yang terbaik tanpa kita meminta?

"Kamu cemberut, apa karena tidak bisa memilih? Kamu kecewa Elliot yang memilihkan semuanya?" Perempuan itu menepuk lengan Angel yang membuatnya berjingkat.

"Tidak."

"Kamu boleh memilih yang kamu suka, Angel. Kalau kamu tidak suka, kamu tinggal bilang!" Perempuan itu tersenyum lebar hingga lipstik merah itu tampak semakin cerah.

"Iya."

Angel mengikuti wanita yang kini berjalan memasuki salah satu ruangan. Matanya membola kala melihat deretan gaun pengantin berbagai warna yang kini berderet di dekat tembok. Terlalu banyak untuk di sebut semua gaun itu dipilihkan untuknya. Pantas saja perempuan ini bilang kalau dirinya bisa memilih.

"Ngomong-ngomong bagaimana aku memanggilmu? Namamu?" tanya Angel ragu.

"Namaku, July. Panggil saja aku begitu."

"Baiklah, July."

"Nah, pilihlah yang kamu suka, Angel!"

Angel mengangguk lalu menelan ludah, tungkainya bergerak ragu mendekati deretan gaun itu. Satu hal yang pasti semua gaun dengan lengan dan dada tertutup. Elliot cukup konservatif ternyata. Setidaknya ini bisa membuatnya mendapatkan bahan untuk mengolok pria itu kelak. Tangannya mengusap gaun berwarna biru tosca dengan lengan renda panjang. Bawahannya menjuntai layaknya putri negeri dongeng.

"Dia juga menyukai gaun itu." Suara July itu membuat Angel menoleh kaget.

"Benarkah?"

Wanita itu mengangguk. "Mau coba?"

Gadis itu mengangguk malu-malu.

"Ayo, aku bantu."

"Aku bisa memakainya sendiri." Angel menarik ujung mantel hingga menutupi perutnya.

July menunduk mengikuti jemari Angel yang bergerak ragu. Perempuan itu mengerjapkan mata sesaat lalu berdeham pelan. "Aku bisa jaga rahasia."

"Huh?

July hanya menggerakkan alis, tetapi reaksinya membuat Angel risih. Kehamilannya memang bukan rahasia lagi, hanya saja dia belum siap ketika banyak orang mengetahui kondisinya. Apalagi dengan baju terusan polos yang kini dikenakannya, perutnya tampak menyembul keluar tanpa mampu ditutupi. Tubuhnya cukup kurus, tetapi perutnya cukup cepat membuncit padahal usia dia baru di awal kehamilan.

"Elliot juga sahabatku, Angel. Lagi pula itu urusan kalian, aku tidak berhak ikut campur. Soal bantuanku karena gaun itu terlalu panjang, kamu tidak akan bisa memakainya sendiri. Makanya aku mau bantu pakaikan."

"Baiklah."

"Oke, ayo kita coba!" July mulai terdengar bersemangat.

Perempuan itu kini membantunya memakai gaun panjang itu. Gadis itu menunduk menatap bagian bawah gaun. Gaun itu tidak terlalu ketat di badan dan terasa agak longgar sekarang. Bawahannya terdiri dari tiga tingkat hingga perutnya yang tidak lagi rata tertutup sempurna.

"Angkat kepalamu!"

Angel mendongak. Menatap bayangannya di kaca. Gadis dalam cermin itu tampak anggun dan menyeramkan dalam satu waktu. Anggun karena balutan gaun berwarna cerah itu. Menyeramkan akibat rambut pendeknya. Angel mengusap rambut pendek yang hanya sampai di tengkuk. Dia akan tampak aneh saat prosesi pernikahan nanti.

"Cantik!"

Angel terkesiap saat sepasang jemari panjang menelusup di perutnya. Lengan itu lalu memeluknya. Cukup erat, tetapi terkesan berhati-hati. Elliot. Pria itu kini menaruh kepalanya di bahu Angel.

"Kapan kamu datang?"

"Baru saja."

"Kamu suka ini?"

"Apa pun yang kamu kenakan aku suka, Angel."

"Gombal!"

"Memang. Kamu memilih gaun yang tepat. Warna gaun itu ibarat langit dan kamu terbang di permukaannya sebagai malaikat. Langit itu hatiku, Angel," Elliot membisikkan kata-katanya di telinga Angel.

"Kalau tidak salah ini tosca, Mister."

"Aku tahu. Kan langitnya anti-mainstream."

"Terserah kau, Mister Gombal!" Angel terkekeh pelan.

"Aku senang kamu seperti ini, Angel. Ceria dan bersemangat jadi lebih mirip malaikat surgawi." Elliot mendaratkan satu ciuman singkat di pipinya.

"Jadi, selama ini aku malaikat neraka?" Angel mengerucutkan bibir.

"Kamu mengakui fakta ini? Apakah ini pantas disebut keajaiban?"

Elliot terkekeh saat Angel menyodokan sikutnya ke perut pria itu. "Aku ingin lebih banyak senyuman lahir di bibirmu," ucapnya dengan suara pelan.

"Kamu juga, El."

"Kamu lanjutkan ya, aku mandi sebentar."

Angel hanya mengangguk lalu tersenyum. Tanpa menoleh. Elliot pasti bisa melihat senyumannya dari pantulan di cermin.

"Elliot manis sekali!" July membantu Angel membuka kait belakang bajunya.

"Sangat."

"Kmau pilih ini?"

"Elliot suka ini," sahut Angel pelan. Kalau Elliot menyukainya maka dia tidak memiliki alasan untuk tidak memilik gaun ini.

"Kalian mirip tahu tidak, Elliot juga memilih ini. Dia pikir kamu akan menyukainya."

"Kamu tahu banyak tentangnya!"

"Jangan cemburu, Angel. Kami hanya bersahabat dekat, tidak lebih dari itu." July melambaikan tangan seusai menaruh kembali gaun yang dipilih Angel ke gantungan baju.

Angel bergerak ke sofa. Matanya tertumbuk pada deretan kue tiramisu truffle di meja. "Dia juga pesan kue?"

"Huh?" Wanita itu menoleh ke arah jari telunjuk Angel mengarah.

"Dia mengirimkan tiramisu truffle ke rumahku tadi pagi." Angel menjelaskan.

"Mungkin dia juga memesan kue yang sama setiap hari seperti yang dikirimkan ke rumahmu," tukas July sambil menyesap air mineral dalam gelasnya.

Angel tersenyum pelan, menyentuh jantungnya yang berdegup riang. Menyenangkan saat mengetahui seorang pria sebisa mungkin berusaha melewatkan hari bersama. Meski, mungkin mereka tidak bisa bersama, tapi Elliot berusaha membuat rasa mereka sama. Ya, rasa yang sama lewat kue-kue itu seperti memandang langit yang sama dan menyantap makanan yang sama juga.

"Elliot agak lama kalau mandi." July kini meraih kotak kue di ujung meja.

"Aku bisa menunggu."

"Sambil menunggu, kamu bisa melihat album foto. Mungkin kau penasaran pada Elliot kecil yang menggemaskan." July tertawa pelan. "Giginya ada yang ompong."

"Di mana?" Angel tidak bisa menyembunyikan getar penasaran dalam suaranya.

"Di bawah meja." Perempuan itu menunjuk tumpukan buku yang tertata rapi di bawah meja.

Angel mengangguk paham kemudian meraih buku dari kolong meja. Dia membukanya dengan cepat lalu tersenyum. Sebuah album foto yang terkesan ceria karena masa kecil Elliot yang membeku melalui lensa kamera. Dia imut dan menggemaskan saat masih kecil seperti kata July tadi.

Jemarinya membalik-balik halaman demi halaman, menatap semua barisan potret masa lalu. Pandangannya terpaku pada satu potret, dia mengucek mata, berharap semua yang dilihatnya adalah efek kamera. Potret itu tidak berubah, benda itu masih di sana. Ini tidak mungkin, Ini kebetulan. Bukan Takdir. Bagaimana mungkin takdir mengerikan ini mengikat mereka berdua?

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 293K 20
{๐Ÿ“๐—ž๐—ฎ๐—ฟ๐˜†๐—ฎ ๐—”๐˜€๐—น๐—ถ ๐—ง๐—ฎ๐—ต๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ ๐——๐—ฒ๐—น๐—ถ๐˜ƒ๐—ถ๐—ฎ ๐Ÿ“} ๐Ÿ“๐‘“๐‘œ๐‘™๐‘™๐‘œ๐‘ค ๐‘Ž๐‘˜๐‘ข๐‘› ๐‘Ž๐‘ข๐‘กโ„Ž๐‘œ๐‘Ÿ ๐‘‘๐‘ข๐‘™๐‘ข ๐‘ฆ๐‘ข๐‘˜, ๐‘ ๐‘’๐‘™๐‘Ž๐‘š๐‘Ž๐‘ก ๐‘š๐‘’๐‘š๐‘๐‘Ž๐‘๐‘Ž. ๐Ÿ“TAMAT (B...
6.1M 324K 14
Ketika lelaki yang ia cintai menolak pernyataan cintanya, Caca bertekad untuk menaklukkan hati lelaki itu. Lagipula, sebelum janur kuning melengkung...
23.9M 1.4M 57
[SEBAGIAN CHAPTER DI PRIVATE, FOLLOW BIAR BISA BACA] "Lo mau nurut sama gue ato gue halalin sekarang?" - Alaska "Halal gundulmu!!" - Jena ===========...