Better Than Almost Anything

By nyonyatua

43K 4.6K 257

Bagaimana kalau mimpi buruk yang selama ini kamu alami bukan hanya sekadar mimpi? Elliot, pemilik hotel terbe... More

Fortune Cookies
Macaron (1)
Macaron (2)
Dip Stick Chocolate
Pumpkin Muffins
Banana Chocolate (1)
Banana Chocolate (2)
Iced Chocolate (1)
Iced Chocolate (2)
Shortbread Cookies (2)
GingerBread
Chocolate House
Ptichie Moloko
Death By Chocolate
Snickerdoodles
S'More Bark
Orange Dream (1)
Orange Dream (2)
Streusel
Marble Cheseecake (1)
Marble Cheesecake (2)
Pita Tree
Gummy Bears
Trail Mix
Berry Cute
KARACHI
Rainbow Cake (1)
Rainbow Cake (2)
Black Forest (1)
Black Forest (2)
Black Forest (3)
Chocolate Blitzen
Angel Food
Chocolate Brownie
Chipotle Cheese Steak
Tiramisu Truffles
Twist Potato (1)
Twist Potato (2)
Splatter Paint
Meatloaf Cake
Devil Cake (1)
Devil Cake (2)
Bittersweet Hot Chocolate (1)
BitterSweet Hot Chocolate (2)
Better Than Almost Anything (1)
Better Than Almost Anything (2)
Sparkling Strawberry (1)
Sparkling Strawberry (2)
Red Velvet
Better Than Anything
Better Than Almost Anything English Version
Better Than Almost Anything di Amazon

Shortbread Cookies (1)

1.1K 118 0
By nyonyatua

Elliot meremas gagang kemudi, sementara matanya nanar menatap jalanan. Rambutnya kusut, tetapi dia memilih mengabaikan semua itu. Pikirannya penuh dan rasanya dia ingin mati saja karena mimpi mengerikan itu terus saja datang. Dia juga sudah berulang kali mengunjungi psikiater, menjalani semua terapi dan semuanya normal. Namun, mimpi itu terus saja mengunjunginya setiap malam. Lalu, mimpi itu seperti naik level, semakin lama makin menyeramkan. Dia bukan pria penakut, hanya saja kegelisahan itu terus membuatnya terganggu.

Ketika mobilnya melewati deretan toko bunga di pinggir jalan, Elliot baru ingat kalau memerlukan bunga hari ini. Dia melambatkan laju kendaraannya dan memarkirnya di depan salah satu ruko. Ketika hendak berjalan masuk ke dalam, matanya langsung tertuju pada deretan bunga mawar merah di pot depan, mungkin ibunya akan suka dengan bunga-bunga ini. Dia tersentak ketika tubuhnya yang terantuk sesuatu. Hanya selang sedetik, bunyi pecahan terdengar memecah ruangan.

Elliot nyaris mengumpat. Namun, saat melihat orang yang menabraknya adalah seorang wanita maka dia berusaha sangat keras untuk menahan kalimat kasar yang hendak terlontar dari mulutnya. Apalagi ketika wanita itu bukannya memberinya tatapan kesal, tetapi malah tersenyum padanya. Elliot sendiri terlalu bingung untuk mengatur ekspresi. Otot wajahnya juga mendadak jadi kaku hanya untuk mengulas sebuah senyuman. Dia ikut menunduk menatap lantai lalu memandang kembali wajah wanita itu.

Wanita itu berpenampilan ala gipsi dengan rok merah panjang bertingkat, bandana warna senada juga mengikat kepalanya sekarang menepuk tangannya. Wanita yang baru saja ditabraknya itu buru-buru membungkuk untuk mengambil bunga krisan kuning yang tercecer di tanah setelah Elliot menabraknya. Terdorong rasa bersalah, Elliot ikut membantu. Matanya bersitatap sesaat dengan mata hijau wanita itu.

"Maafkan saya." Elliot mencoba bersikap sopan.

"Kamu yang membawa kematian dengan kedua tanganmu," kata wanita itu tiba-tiba.

Elliot tersentak. Kematian? Dari mana wanita ini tahu?

"A—pa maksud Anda?" kilah Elliot berbohong, meski suaranya yang bergetar membuatnya benar-benar terlihat gagal untuk menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya.

"Walaupun kamu berusaha untuk menyembunyikan semua dosa masa lalumu, aku yakin sekarang dosa-dosa itu tengah berteriak di dalam mimpimu."

Elliot terdiam, jemarinya yang tengah memungut batang krisan mulai gemetar. Gelenyar ketakutan tiba-tiba saja datang. Bagaimana wanita ini bisa tahu? Peramalkah?

"Sama seperti kamu membuat bunga ini layu atau mungkin mati dengan tanganmu," katanya lagi sambil menata bunga di permukaan lantai. "Kamu membawa kematian."

"Maafkan saya, saya akan menggantinya." Elliot mencoba untuk meminta maaf.

"Itu tidak perlu."

"Tidak, ini salah saya," potongnya cepat. Kali ini dia meraup pecahan pot bunga memakai tangannya. Hal yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya. Ah, tidak, dia hanya berhenti melakukannya belasan tahun belakangan. Dia berhenti sejak mulai merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi daripada orang lain.

"Penjaga toko sudah datang. Berdirilah!" Wanita gipsi itu juga beranjak berdiri tepat ketika penjaga toko tergopoh-gopoh datang.

Elliot mendongak. Ketika penjaga toko yang masih belia itu kini membawa pengki dan sapu di tangannya, siap untuk membersihkan semua kekacauan yang Elliot timbulkan. Dia tampak tersenyum ramah dan sepertinya tidak marah.

"Aku akan bayar kerusakannya."

"Tidak perlu, Sir. Kami punya banyak pot bunga." Pemuda itu tersenyum lagi hingga deretan gigi putihnya terlihat.

"Baiklah. Bisakah kamu membantuku untuk memilih bunga?"

"Tentu."

Elliot menatap wanita yang tadi bertabrakan dengannya. Orang itu kini telah berbalik dari kasir dengan pot bunga baru di tangan. Krisan kuningnya berayun cerah di dekat dadanya. Dia menghentikan langkah wanita itu dan bermaksud untuk meminta maaf lagi.

"Sekali lagi, maafkan saya, Ma'am," katanya sambil menunduk.

"Aku sudah memaafkanmu anak muda, tapi perlu kamu ingat kalau ada beberapa orang lain yang pantas untuk mendapatkan permintaan maaf darimu."

"Bisa tolong jelaskan apa maksud Anda?"

Wanita itu kini berbalik, menatap dengan mata hijaunya yang sewarna daun. Bibirnya melengkung membentuk senyuman. "Kalau kamu ingin berdamai dengan masa lalumu, mulailah dari mimpi-mimpi buruk itu."

"Mimpi buruk?" tanya Elliot. Pikirannya melayang pada mimpi buruk yang mengganggunya setiap malam. Tentang seorang gadis yang menangis keras, memilukan dan tanpa henti.

"Ya, mimpi buruk."

"Apakah saya akan berhasil."

Wanita itu menepuk lengan Elliot. "Coba saja dan semoga kamu berhasil."

Elliot hanya mengangguk kaku. Matanya mengikuti wanita yang tengah berjalan keluar itu. Senandung lirih dari bibir wanita itumasih terdengar hingga ke telinganya. Setelah wanita itu menghilang, dia menunduk menatap tangannya. Tangan yang membawa kematian katanya.

"Anda ingin bunga seperti apa, Sir?"

Suara karyawan toko itu mengagetkannya. Dia menoleh ke arah datangnya suara. Pemuda itu kembali tersenyum tampak sabar sekali menunggu.

"Hmm, aku ingin satu buket bunga mawar."

"Satu buket bunga mawar?" Pemuda itu mengulangi pesanan.

"Ya."

"Kalau begitu Anda bisa menunggu sebentar di kursi atau mungkin ingin melihat-lihat, silakan saja!"

"Tentu."

Elliot berjalan ke depan toko hingga ke bagian pintu. Perkataan wanita tadi membuatnya teringat pada gadis kecil yang ditemuinya sekitar seminggu lalu. Gadis kecil yang tahu banyak soal dirinya, bahkan sempat menyinggung soal tujuh dosa besar yang pernah dilakukannya. Waktu itu sebelum pertanyaannya terjawab, gadis kecil itu juga sudah menghilang. Mungkinkah mereka berdua saling berkaitan? Seseorang yang diutus Tuhan untuk mengingatkan semua dosa masa lalunya?

Masalahnya, semua itu tidak mungkin. Tuhan tidak akan mau repot-repot mengingatkannya atau bahkan mengutus seseorang yang menyadarkannya. Lagi pula, kalau berpikir seperti itu, maka mungkin dia mulai tidak waras. Memikirkannya saja membuatnya merasa konyol. Ya, sebelum dia mulai gila maka harus berhenti sekarang juga.

Elliot menarik napas berat dan menggeleng untuk menghapus semua gagasan liar di dalam benaknya. Dia kemudian mengedarkan pandangan ke segala arah. Memandangi bunga-bunga segar beraneka warna untuk menghapus beberapa hal yang masih berkelebat di dalam pikiran. Matanya kini terantuk pada bunga tulip berbagai warna di pot-pot bunga di dekat pintu masuk. Elliot mendesah pelan ketika ingatannya kembali melayang, berdamai dengan masa lalu katanya. Mungkin dia bisa mulai dari sini. Dia meraih beberapa tangkai bunga tulip putih itu lalu berjalan masuk kembali ke dalam toko.

"Aku ingin menambah satu buket bunga tulip ini," katanya sambil menaruh bunga itu di meja, tepat di samping bunga mawar itu.

"Baiklah. Apa Anda bersedia menunggu sebentar lagi, Sir?" ucapnya dengan keramahan yang tidak terdengar berkurang.

Elliot hanya mengiyakan lalu bergerak menuju kursi dan menaruh pantatnya di sana. Dia menunggu sembari membuka surat kabar yang tergeletak di meja. Membuka lembaran demi lembaran untuk membaca berita. Matanya terantuk pada potret di ujung surat kabar di halaman belakang. Seorang wanita bersama dua orang anak lelaki tengah menangis di depan peti mati. Berita itu berisi kematian seorang pengusaha setelah tokonya digusur. Jantungnya berdebar. Elliot buru-buru menutup lembaran surat kabar itu dengan tangan gemetar.

Untung saja pemuda pegawai toko itu datang dan memberitahunya bahwa bunganya telah siap. Dia langsung membayar buket bunga itu dan bergerak keluar dari dalam toko. Dia langsung menaruh bunga di kursi penumpang bersama satu kardus kue yang telah dibelinya sebelumnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Elliot menyalakan mesin mobil dan kendaraan itu berderap meninggalkan tempat itu.

Mobil itu melaju menembus jalanan kota selama sekitar tiga puluh menit dan berbelok menuju jalanan yang cukup sepi. Tepi jalanan dipagari oleh pohon cemara yang berderet rapi. Elliot menghentikan laju mobilnya tepat di depan sebuah rumah. Dia menarik napas pelan dan mengusap tengkuknya dengan telapak tangan saat menatap bangunan mungil yang masih berdiri di pinggir jalan. Masih kokoh seperti yang selama ada diingatnya, hanya saja cat hijaunya mulai luntur dan berganti menjadi lumut.

Masa demi masa yang pernah terjadi di rumah itu, mulai tergambar jelas dalam benak Elliot. Mirip adegan flashback dalam sebuah film. Dirinya yang membuka pintu depan sambil tertawa riang lalu bermain lumpur di halaman. Ayahnya yang ikut berlari keluar sambil membawa sekop. Dia yang bermain di sungai samping rumah. Sementara, ibunya sibuk mengabadikan semua kenangan dengan kamera di tangannya.

Elliot tersenyum tipis. Kenangan itu bahkan lebih indah dari video musik yang ditampilkan salah satu musisi ternama. Semuanya memang abadi dalam ingatan. Seabadi kebodohan masa lalunya. Dia menarik napas pelan kemudian membuka kotak kue yang sejak tadi duduk manis di kursi penumpang. Jantungnya berdebar lebih cepat ketika biskuit seputih salju itu menatapnya manja dari dalam kotak. Dia meraih satu keping lalu memasukkannya ke dalam mulut, ingin merasakan kembali kenangan di rumah yang sekarang penuh lumut itu. Hatinya seperti pelan-pelan retak seiring dengan setiap kunyahan yang mematahkan kepingan biskuit di dalam mulutnya. Cookies ini sama dengan yang diingatnya, namanya pun tidak berbeda. Dia ingat kalau ibunya dulu selalu membuatkan kue seperti ini setiap pagi untuk teman minum teh. Biskuit yang ini yang ini lebih cantik dengan segitiga cokelat di permukaan atas. Hanya saja, buatan ibunya jauh lebih enak. Biskuit buatan Ibu jauh lebih lembut dengan nougat cokelat di dalam setiap keping cookies.

"Ibu ingin tawamu serenyah shortbread cookies, pikiranmu seputih warna biskuit ini dan hatimu yang terdalam selembut nougat cokelat di dalam setiap kepingnya, El," kata Ibu saat itu ketika dirinya bertanya alasan membuat biskuit jenis ini nyaris setiap pagi.

"Harapan yang terlalu besar ya, Bu?" gumam Elliot sambil terus mengunyah kepingan demi kepingan cookies. Melahapnya dengan harapan itu bisa menuntaskan kerinduan pada kenangan dalam hati serta tentu saja berdamai dengan masa lalu.

Elliot menaruh kardus sisa biskuit kembali ke tempatnya semula. Punggung tangannya mengusap remahan kue di ujung bibir. Dia melirik sejenak ke arah dua buah bunga itu. Bunga itu harus diantarkan ke tempat tujuan. Dia menghela napas sebelum menyentuh tombol starter. Mesin mobil menderu sebelum akhirnya bergerak meninggalkan tempat itu.

Dia memarkir mobil tidak jauh dari tempatnya semula berhenti. Elliot kemudian bergerak turun dengan dua buah buket bunga yang dibelinya sebelumnya. Sepatunya menginjak dedaunan kering dan beberapa ranting pohon yang berjatuhan di tanah hingga terdengar bunyi mirip patahan. Elliot tidak mencoba merapatkan mantel yang membalut tubuhnya meski udara masih dingin akibat hujan yang turun rintik-rintik sejak dini hari. Kepalanya menunduk selama tungkainya melamgkah dan akhirnya berhenti di lokasi yang ditujunya. Dua buah nisan yang berjejer dengan ukiran nama orang tuanya.Saat Elliot terdiam, desau angin seolah membisikkan kata-kata wanita yang ditemuinya sekitar satu jam lalu.

"Kamu membawa kematian dengan kedua tanganmu. Sama seperti kamu membuat bunga ini layu atau mungkin mati dengan tanganmu."

Mungkin dia memang sudah tidak waras karena kata-kata wanita itu terus terngiang di dalam kepalanya. Namun, kalau dirinya ingin berdamai dengan masa lalu maka dia memang harus ke tempat itu. Lokasi lain yang harus diingatnya bukan hanya dengan karangan bunga, tetapi dengan penyesalan. Dia kemudian bergerak ke sisi lain pemakaman. Jantungnya berpicu cepat.

Dia sempat menghentikan langkah, benar-benar ragu untuk sesaat. Elliot menarik napas pelan lalu berjalan kembali, masih berusaha menghalau semua pikiran kalut yang sejak tadi mengganggunya. Jika memang mimpi-mimpi itu pertanda dari masa lalu maka dia setidaknya ingin menebus kesalahannya.

Langkahnya kemudian berhenti di depan komplek pekuburan yang masih baru. Nama Charles tertera di permukaan nisan bersama doa dan harapan serta kenangan para kerabat. Pria bernama Charles ini katanya sempat mengalami depresi berat setelah salon cukur mungilnya digusur untuk memperluas halaman belakang hotel bintang lima untuk membuat wahana permainan anak kecil sekitar enam bulan lalu. Elliot mendesah, penyesalan kembali merajam dada hingga menyisakan bentuk kepahitan lain yang masih tertinggal. Hotel yang menggusur salon adalah hotel miliknya.

"Aku minta maaf, Charles," katanya sambil menundukan kepala. Elliot mendesah lalu menaruh buket tulip bunga putih di atas nisan. Tulip putih untuk meminta pengampunan, meski dia tahu kalau dirnya tidak akan pernah diampuni. "Aku menyesal, jadi tolong ampuni aku."

Kedua belah bibirnya mengatup rapat sementara jemarinya saling memilin. Elliot masih menunduk, berdoa sambil memohon maaf dalam bisikan pelan. Meskipun, dia tahu sepanjang apa pun untaian doa yang terulur dari bibirnya tidak akan pernah membuat Charles kembali.

"Mungkin aku akan datang lagi atau mungkin tidak. Aku pamit, Charles."

Dia berbalik setelah melirik sekali lagi ke arah bunga tulip yang tergolek lemah di dekat nisan. Kali ini dia akan kembali ke tujuannya semula. Komplek pemakaman yang tidak jauh dari tempat Charles bersemayam. Sesampainya di tujuan semula, dia tersenyum, menaruh buket bunga mawar serta kotak kue shortbeard cookies di atas makam yang terbuat dari marmer hitam itu. Nama kedua orang tuanya tertera di sana.

"Setelah sekian lama, akhirnya aku datang." Elliot tersenyum tipis. "Kalian pasti kangen. Kalau aku, tentu saja aku rindu makanya aku akan pulang."

Elliot menarik napas berat. "Tidak sekarang, tapi sebentar lagi."

"Ibu tahu kan kalau kotak kue itu kosong. Aku telah memakan isinya dan aku semakin merindukanmu. Sayang sekali di toko tidak ada isi nougat-nya. Apa Ibu mau membuatkannya lagi untukku saat aku datang menyusul ke surga nanti?"

"Ibu ingat tidak kalau dulu pernah mengajarkanku, bahasa bunga. Mawar putih untuk cinta sejati yang Ibu berikan serta mawar merah untuk kebenaran yang Ayah banggakan. Aku menggabungkan keduanya karena aku ingin meminta pengampunan lagi untuk kedua kalinya hari ini." Elliot mengusap hidungnya yang mulai berair. "Kurasa aku terlalu banyak minta maaf hari ini."

Matanya tidak lepas dari nisan. Kenangan demi kenangan masih membayang. Kenangan saat dulu sekali ibunya mengajaknya berkebun. Mengajarinya bahasa bunga. Setidaknya berkat ibunya, dia bisa menemukan bunga yang tepat untuk diberikan pada Charles.

"Ibu, hari ini aku meraup pot yang pecah di lantai saat aku menabrak seseorang. Dulu aku sering sekali memecahkan pot bunga di rumah. Tolong bilang pada Ayah bahwa aku anak baik sekarang," katanya lagi ambil menutup mata saat air mulai menggenang dan mengancam untuk jatuh.

"Tidak sebaik harapanmu, Bu. Tapi, aku berusaha untuk jadi baik."

Elliot terkesiap saat suara gemerisik daun terdengar di kejauhan. Sepasang sepatu tengah menginjak dedaunan kering itu tanpa ampun. Dia menoleh ke arah datangnya suara. Seorang gadis berpayung hitam kini menatapnya. Mata cokelatnya tampak menyelidik.

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 236K 83
"Aku pacarmu, tapi aku bukan prioritas mu." -Anastasya "Cinta dan sahabat adalah dua hal yang tidak bisa aku pilih." -Farel Arega #Rank 1 tersakiti (...
27.4M 2.4M 70
Heaven Higher Favian. Namanya berartikan surga, tampangnya juga sangat surgawi. Tapi sial, kelakuannya tak mencerminkan sebagai penghuni surga. Cowo...
2.7M 246K 56
Mempersiapkan diri untuk kuliah adalah fokus utama Naya sejak lulus sekolah beberapa bulan lalu. Namun, rencananya berubah setelah dia bertemu dengan...
16M 1.6M 72
Galak, posesif, dominan tapi bucin? SEQUEL MY CHILDISH GIRL (Bisa dibaca terpisah) Urutan baca kisah Gala Riri : My Childish Girl, Bucinable, Gala...