ONE MORE TIME

By rikarianti18

2.2M 124K 3.3K

Forgiving you might be easy, trusting you back is another story * "Terima kasih Ram, terima kasih atas segala... More

prolog
part 1
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
part 13
part 14
part 15
part 16
part 17
part 18
part 19
part 20
part 21
part 22
part 23
part 24
part 25
part 26
part 27
part 28
part 29
part 30
part 31
part 33
part 34
part 35
part 36
part 37
part 38
epilog
HELLO FROM THE OTHER SIDE
Extra part (1)
ada yang baru nih

part 32

51K 3.1K 72
By rikarianti18

Setelah pulang dari ulang tahun Isya beberapa hari yang lalu, Anisa mencoba bersikap santai. Tak menunjukkan sedikitpun kegusaran hati pada ibunya.

"Ma, Anisa mau pergi dulu yaa." Anisa yang tampak sudah siap dengan blouse berpita berwarna hitam, dan celana tigaperempat warna merah berdiri di depan ibunya.

"Mau kemana, Nis?"

"Sebentar aja, mau pergi dulu ketemu Mahira. Udah lama gak ketemu." Anisa mengecup kedua pipi ibunya dan pergi menuju salah satu mall sesuai yang mereka janjikan.

Mahira-teman sekampus Anisa dulu, bisa dibilang Mahira termasuk sahabat Anisa. Mereka jarang bertemu, berkomunikasi pun hanya seminggu sekali. Tapi sebagai teman, tidak membutuhkan pertemuan yang intens dan obrolan tiap hari kan? Anisa sadar jika sahabat, walaupun seberapa jauh jaraknya ia akan tetap mengingatmu sebagai sahabatnya. Sama seperti Mahira dan dirinya ini.

Mahira yang ternyata sudah duduk di salah satu kedai coffe elite di mall itu menyambut kedatangan Anisa dengan senyum lebarnya.

"Eh, hai Nis!" Mahira memeluk sahabatnya itu erat.

"Lama ya Ra? Sorry banget, Jakarta macet."

Mahira mencebik, "Di Jerman gak ada macet-macetan ya?" tanyanya menggoda.

"Di Jerman mah beda banget. Jalan kaki semua rata-rata. Sekali balik ke Indonesia, jadi bergantung deh pake mobil lagi."

Dan mengalirlah obrolan ringan dan cerita mengenai kepergian Anisa ke Jerman. Mahira memang tau jika Anisa dan Rama sudah mengakhiri hubungan mereka.

Kedua wanita ini akhirnya memutuskan untuk pergi ke toko sepatu langganan Mahira.

Mahira yang memang sudah tau seluk beluk tempat ini segera menyisir segala tempat guna mencari sepatu yang menarik perhatiannya.

Anisa melihat sebuah stiletto berwarna hitam, sederhana memang. Tapi entah mengapa mampu membuat Anisa mengingat Rama. Ia ingat permintaannya saat Anisa masih lumpuh dan sudah bosan duduk di kursi roda.

"Ram..." Anisa menggoyangkan tubuh Rama yang masih fokus menatap laptopnya. Rama bilang pekerjaannya sedang banyak sampai harus dibawa ke rumah sakit.

"Hmm?" Rama hanya menggumam tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Anisa.

Anisa yang sebal segera meletakkan tabnya persis di depan wajah Rama. Lelaki itu bingung dan segera meraih tabnya. Detik berikutnya keluarlah tawa dari mulut Rama.

Anisa memukul lengan Rama pelan dan mendelik, "Ngapain ketawa?"

"Lah, aneh banget. Buka olshop, trus nyari gambar heels."

"Biarin, lagi pengen." jawab Anisa tanpa sungkan menutupi kebohongannya.

"Pengen?" tanya Rama mengulang perkataan Anisa.

Anisa mengangguk, "Aku selalu beli yang semacam wedgess, gak punya modelan stiletto gini. Gara-gara tadi sih ada acara fashion gitu di tv yang bahas masalah sepatu."

Rama diam saja mendengar penuturan Anisa.

"Aku mau beli, Ram. Nomernya digedein aja, biar nanti bisa aku pake kalau aku sembuh?" tawar Anisa.

"Ram? Boleh ya beli? Aku pengen pake sepatu itu."

Rama menggeleng, "Jangan sekarang ya, Nis. Sepatu model kayak gini bisa beli langsung di toko-toko. Ngapain kamu nyimpen sepatu dari sekarang."

Anisa mengerucutkan bibirnya kesal karena Rama yang menolak permintaannya.

"Aku pengen naruh sepatu itu disini. Nanti kalau aku gak semangat terapi, aku bisa lihat sepatu itu biar semangat lagi buat terapi, biar lebih cepet sembuh gitu."

"Alesan!" Rama menyentil hidung mancung milik Anisa.

"Kurang aku yang nyemangati kamu, Nis?" tanya Rama dengan sabar.

"Sudah cukup. Tapi setidaknya aku punya barang kesayangan yang berkesan. Biar bisa aku inget."

"Inget kalau kamu pernah lumpuh?" tanya Rama lagi yang kali ini berhasil membuat Anisa terdiam.

Rama meraih bahu Anisa dan mencengkramnya agar Anisa menatap ke arahnya.

"Nis, dengerin aku. Kalau kamu beli sekarang dan nyimpen disini, sepatu itu bisa nyemangati kamu dan sebaliknya, dia bisa jatuhin kamu juga. Kalau mood kamu bagus kamu bisa semangat, tapi kalau mood kamu jelek, kamu bakal ngerasa sepatu ini hina kamu. Nanti dia semakin buat kamu terpuruk."

"Sembuh itu bukan karena ada sepatu atau enggak. Sembuh itu karena semangat dari diri kamu sendiri, Nis."

Anisa tetap diam dan menunduk kali ini. Rama mendongakkan dagu Anisa.

"Aku janji setelah sembuh. Aku beliin kamu sepatu kayak gini. Bahkan yang lebih bagus dari ini."

Senyum Anisa timbul lagi, "Janji?"

"Iyaa. Janji, Nis. Kamu percaya sama aku?"

Anisa mengangguk semangat, "Aku selalu percaya kamu, Ram."

"Mbak?" salah seorang pramuniaga yang tadi diminta tolong untuk mengambil ukuran stilleto hitam itu kini sudah kembali rupanya.

Anisa mengambil kotak itu dan duduk di salah satu kursi panjang di depan cermin. Anisa memakai sepatunya dan entah bagaimana caranya hal biasa seperti ini mampu membuat hatinya sangat bahagia.

"Sepatunya pas. Cantik lagi di kaki mbaknya." kata pegawai toko yang masih berdiri di samping Anisa.

Anisa hanya balas tersenyum dan meletakkan lagi sepatu di kotaknya.

"Saya ambil ini ya."

Dan pegawai toko itu segera mengambil kardus berisi sepatu yang tadi Anisa coba untuk dibawa ke kasir.

Saat Anisa ingin beranjak tiba-tiba seorang bayi perempuan berlari memasuki toko sepatu itu dan jatuh terjungkal di depan Anisa.

Bayi perempuan itu menangis kencang-kencang. Anisa yang sudah memakai kembali flatshoesnya segera berdiri dan menghampiri bocah malang itu.

Anisa segera menggendong bayi itu dan terlihat pipi mungilnya merah karena harus berbenturan dengan lantai.

"Sakit ya? Aduuh cup cup cup." Anisa berusaha memposisikan bayi itu senyaman mungkin dan mengusap pipinya penuh sayang.

"Anak siapa, Nis?" tanya Mahira menghampiri Anisa.

Anisa menggeleng, "Gak tau."

Bayi perempuan itu masih terus menangis dan menggeliat resah dalam gendongan Anisa.

Anisa kewalahan, ditambah lagi sang bayi yang meletakkan tangan menutupi wajahnya semakin mempersulit Anisa mengetahui bayi ini milik siapa.

"Ana?" teriak lantang seorang lelaki dan berjalan menghampiri Anisa.

"Ramaa!!" panggil Mahira spontan.

Rama menghentikan langkahnya dan mengangkat wajahnya melihat siapa yang memanggilnya.

Mata Rama dengan cepat melihat ke arah Anisa walaupun Rama yakin bukan suara Anisa yang memanggilnya tadi.

Mahira yang baru sadar dengan keadaan ini hanya bisa melihat interaksi dua patung bernapas di depannya ini dengan bingung.

Bayi perempuan dalam gendongan Anisa merengek dan mengulurkan kedua tangannya ke arah Rama.

Barulah Anisa sadar siapa yang ia gendong. Bayi ini.. Masih jelas berada di ingatannya tentang keluarga bahagia Rama.

Rama yang melihat Ana menangis segera mengambil Ana dari gendongan Anisa. Sepertinya Rama sudah tak sudi aku menyentuh anaknya. Cih, dipikir aku sengaja melakukannya.

Anisa menatap tajam ke arah Rama yang sekarang menepuk pinggul Ana dalam gendongannya. Ajaibnya, bayi itu diam dan mungkin karena terbiasa, sang bayi terlihat nyaman meletakkan kepalanya di pundak Rama.

"Ini anak kamu, Ram?" tanya Mahira. Bodoh! Umpat Anisa yang kini berganti untuk sahabatnya.

Apa Mahira tak melihat Anisa ada disini? Jika sudah melihat, apa Anisa terlihat seperti mau mendengar jawaban dari Rama?

Seorang pegawai toko datang dan menyerahkan kantong belanjaan milik Anisa.

Syukurlah.. Tuhan menyelamatkannya kali ini.

Anisa meraih dompetnya, mengambil beberapa uang dari dalam sana dan menyerahkannya pada pegawai toko tadi.

"Kamu udah selesai Ra? Kalau udah ayo keluar." ajak Anisa dengan tegas mencengkram lengan Mahira tanpa sengaja.

Mahira yang mengerti keadaan Anisa hanya mengangguk saja, toh memang ia sudah selesai berbelanja.

"Nis..." setelah kembali dari Indonesia, ini adalah kali pertama lelaki di depannya sudi memanggil namanya kembali.

"Seharusnya kalau belum bisa ngurus anak sendirian. Kamu ajak istri kamu biar bisa mantau anak kalian." kata Anisa hampir berteriak.

"Kamu salah paham-"

"Karena kamu yang selalu membuatku salah memahaminya Ram!" kata Anisa memotong ucapan Rama.

Bayi perempuan yang tadi sempat diam kini kembali menangis. Entah kenapa saat tadi menemukan bayi itu terjatuh, Anisa menatapnya dengan iba dan penuh sayang ke arahnya. Sangat berbeda dengan tatapan benci yang sekarang diperlihatkan Anisa untuk bayi kecil itu.

Anisa maju beberapa langkah, dan setelah jaraknya cukup dekat, Anisa mengangkat wajahnya angkuh.

"Selamat untuk pernikahanmu. Bahkan selama ini kamu masih saja tak mau jujur dengan persiapan pernikahan yang mungkin sudah kamu lakukan dulu saat aku lumpuh."

"Nis.." Rama kembali memanggilnya.

Entah kenapa Anisa jadi benci Rama yang selalu memanggil namanya.

"Jika kamu sudah lebih tenang dan mau mendengar semua penjelasanku lagi. Kembalilah padaku, Nis. Aku akan menceritakan semua hal yang tidak kamu ketahui sebelumnya."

Continue Reading

You'll Also Like

8.2M 819K 43
Bagaimana rasanya menikah dengan kakak kandung dari sahabat sendiri? Canggung? Menyenangkan? Atau, meresahkan? Begitulah kira-kira yang dirasakan Aya...
27.6M 544K 59
Warning⚠ 21+++ >Dibawah umur menjauh yaahh >Bijak dalam membaca entar gak kuat :) >Banyak typo bertebaran >Banyak umpatan kasar ~~~~~~~ D...
10.6M 1.7M 71
Cakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sampai pada akhirnya kepura-puraannya untuk...
24.5M 983K 72
[TELAH TERBIT DAN TERSEDIA DI GRAMEDIA] The Marvel Series 1 Dia Geovano si ketua geng Marvel Dia Geovano sang penguasa jalanan Dia Geovano si petarun...