Anisa melihat sekeliling lewat jendela yang terbuka di depannya. Der Fruhling, atau kita biasa menyebutnya musim semi.
Ini adalah kali pertama Anisa melihat bagaimana sebenarnya musim semi, karena di Indonesia tidak pernah ada musim semi. Sangat indah, lebih indah daripada yang pernah orang lain ceritakan. Memang benar, melihat langsung dengan mata kita sendiri adalah anugerah yang tak terkira.
Musim semi sangat mengagumkan. Saat perjalanan ke tempat ini ia melihat banyaknya pepohonan dan tumbuhan berbunga dan mulai mengeluarkan daun mereka.
"Nis?" Niki menyadarkan adiknya dari kegaguman yang tiada henti. Tak sia-sia ia membawa Anisa jauh-jauh kesini, karena setiap saat ia dapat melihat kebahagiaan terpancar dari matanya.
"Apa kak?" Anisa tetap menggunakan bahasa Indonesia jika berbicara dengan kakaknya. Masa bodoh orang-orang tak mengerti.
"Kakak tinggal dulu ya. Dila bentar lagi ke sini, kakak udah ngomong tentang kamu tadi. Jangan pergi kemana-mana, semua harus dalam pengawasan Dila!"
"Posesif!" Anisa mencibir.
"Biarin, daripada ilang. Kan susah nyarinya. Udah ya, lagi banyak kerjaan. Bye Nis." Niki menunduk dan mencium puncak kepala adiknya itu. Anisa tersenyum dan melambaikan tangan pada Niki yang berangsur menjauh.
Selang beberapa menit kemudian seorang wanita dengan atasan kemeja merah yang dimasukkan ke dalam rok model A selutut berwarna hitam, pas dengan stiletto hitam yang dipakainya
"Anisaa!" wanita itu memeluk Anisa lembut dan dibalas Anisa dengan pelukan juga.
"Hai Kak. Long time no see you." sapa Anisa balik.
"Lama banget, berapa tahun ya Nis?" tanya wanita itu mengingat-ingat.
"Tiga tahun?" tanya Anisa memastikan.
"Hmm.. Mungkin lebih. Yaudah ayo masuk aja!" wanita itu langsung mendorong kursi roda Anisa ke dalam salah satu ruangan perawatan yang berada di sana.
"Ayo! Pasti Kak Niki cerewet deh tadi."
Wanita itu tersenyum dan berkata, "Niki bukannya selalu begitu dari dulu? Dia belum berubah."
"Aduuh, kok Kak Dila jadi baper?"
"Baper itu apa, Nis?"
"Gak pernah main ke Indonesia sih." Anisa mencebik dan tertawa bersama wanita tadi yang diketahui bernama Dila.
*****
Rama duduk di salah satu bangku yang ada di dalam cafe milik Gadis. Tak lama berselang Gadis keluar membawa nampan berisi satu cangkir kopi, satu milkshake strawberry, dua roti bakar, dan dua piring kentang goreng.
Gadis tersenyum canggung saat sudah berada di depan Rama. Setelah berhari-hari, akhirnya mereka bertemu. Beruntung hari minggu ini Gadis tidak banyak kegiatan. Walaupun ada banyak kegiatan pun sepertinya Gadis akan mengesampingkan itu, ia butuh penjelasan dari lelaki di depannya.
Gadis duduk pada bangku di depan Rama, "Maaf ya Ram kalo nunggu lama."
"Gak papa kok, maaf kalo ganggu kerjaan kamu.
Sambil menggeleng Gadis berkata, "Gak sibuk juga kok."
Hening sesaat, sebelum Rama kembali berkata.
"Apa kabar Dis?"
"Baik, kamu?"
"Baik."
Dan selesai, susasana kembali sepi. Entah karena kondisi di cafe yang tak begitu ramai siang ini atau sepasang wanita dan lelaki yang duduk satu meja ini kembali tak bersuara.
Gadis tiba-tiba tertawa dan Rama meliriknya penasaran.
"Aneh, obrolan kita garing. Gitu-gitu aja." Gadis kembali tertawa lagi.
Kali ini Rama balas tersenyum menanggapinya, "Maaf Dis."
Gadis menaikkan alisnya bingung.
"Maaf kalau banyak yang belum aku ceritain ke kamu, dan maaf kalau aku gak bisa balas perasaan kamu."
Gadis tersenyum, wanita ini terlalu cantik jika ujung bibirnya tertarik.
"Gak papa Ram. Anggap aja kemarin aku gak pernah nyatain cinta ke kamu. Biar kita gak kaku kayak gini. Lupain itu, oke? I'm fine. Aku yang terlalu terburu-buru."
Rama terdiam mendengar jawaban dari Gadis. Perlu membangun benteng pertahanan agar dapat menjelaskan pada Gadis jika ia tak bisa mengatakan cinta pada wanita ini, takut-takut Gadis merespon dengan amukan dan kata-kata kasar dari mulutnya. Tapi ternyata Rama salah, dari jawaban tadi Gadis terdengar... Hm, sangat ikhlas?
"Kamu gak papa?" tanya Rama memastikan dan dijawab Gadis dengan anggukan mantap.
"Kalau cuma masalah i love you yang buat suasana gak nyaman dan kacau kayak gini mending lupain aja. Toh perasaan yang terlalu cepat bukan berarti cinta kan? Mungkin aku terlalu nyaman ngobrol sama kamu, Ram. Tapi maaf.. Aku bener-bener gak tau kalo kamu punya Anisa." kata Gadis dengan suara yang semakin mengecil di akhirnya.
Rama meneguk kopinya dan menghela napas panjang.
"Aku yang salah gak pernah cerita ke kamu."
Gadis hanya diam dan mendengar cerita Rama berikutnya.
"Anisa pacar aku Dis, udah lama dari kuliah. Aku sempet lamar dia sebelum insiden kecelakaan itu, ya ngelamar yang sekedar antara aku dan dia. Aku belum bawa orang tuaku ke rumahnya. Insiden itu melumpuhkan kaki kanannya. Dia kecewa, dulu di awal-awal kecelakaan dia sempet nyerah dan bilang aku boleh mencari wanita lain karena kondisinya."
"Tapi aku cinta, aku gak mau pergi, aku memilih tinggal karena aku yakin dia pasti sembuh. Aku gak tau kalau di pantai waktu itu ada dia. Aku emang suka ngajak dia main ke pantai. Hmm.. Bisa dibilang kalo pantai itu termasuk pantai paling berkesan buat kita. Aku juga gak tau kalau kamu bakal bilang kayak gitu."
Gadis meneguk milkshakenya, berusaha menahan rasa malunya.
"Tapi apa yang udah terjadi, yaa.. Kayaknya emang udah takdir, Dis. Jadi aku bisa apa? Cuma mengharapkan maaf dari Anisa, itupun kalau orangnya ada."
Gadis yang menemukan kejanggalan dari perkataan Rama ganti bertanya, "Bukannya Anisa di rumah sakit ya? Hmm.. Maaf ya Ram kalau aku gak pernah bilang ke kamu, aku pernah nemuin dia di rumah sakit."
Rama tersenyum kecut, "Anisa udah pergi dari sana."
Gadis melongo, Anisa? Pergi?
"Kabur?" tanya Gadis tak percaya.
"Bukan. Maksud aku dia butuh waktu, keluarganya bilang gitu. Dan sampai sekarang gak ada yang ngasih tau dimana sebenarnya keberadaan Anisa."
Gadis iba, ikut merasakan kehilangan sama seperti Rama. Agaknya rasa bersalah ini masih melingkupi sisi hatinya. Gadis dan Rama sama saja, sama-sama belum mengantongi kata maaf dari Anisa.
"Ram, aku bener-bener minta maaf. Maaf kalau aku bikin hubungan kalian kacau. Maaf kalau aku yang buat Anisa pergi. Aku salah Ram, seharusnya dari awal aku tanya ke kamu apa kamu-"
"Aku juga salah, aku gak pernah cerita kan?"
Gadis ingin membenarkan, tapi ia ragu. Kenyataannya itu akan semakin membebani Rama.
"Ram, maaf.. Aku bener-bener minta maaf ke kamu. Tapi please, kita ulang pertemanan ini dari awal. Kalau emang ada perasaan yang salah dari awal, kita benerin."
"Aku gak pengen ada yang berubah diantara kita, aku gak pengen kehilangan kamu." Gadis menyadari ada yang janggal dalam kalimatnya. "Maaf maksud aku, aku gak mau kehilangan teman kayak kamu. Aku gak pengen ada kekakuan yang merubah hubungan pertemanan ini."
Rama mengangguk mengerti, "Iya.. Lagipula kamu teman yang baik, Dis."
"Jadi kita berteman lagi, Ram? Teman yang murni teman. Bukan teman yang dengan bodohnya menambahi dengan harapan." tanya Gadis memastikan sekali lagi.
"Iya, Dis. Kita berteman."
Gadis tersenyum dan menatap lelaki-yang baru saja menjadi teman- di depannya.
Jika memang cintanya tak menemukan ujung bernama kebahagiaan setidaknya ia punya teman yang akan selalu membuatnya bahagia. Bukankah itu sudah cukup?
Tapi bagi Gadis, untuk apa merasakan cinta yang melambung setiap saat jika salah satu sisi dari cinta itu masih berada di hati orang lain? Karena cinta yang terbagi nyatanya lebih sakit daripada cinta yang bertepuk sebelah tangan.
---------