ROSANGELYNZ

By ddnadil

30.7K 1.8K 239

Sebuah dunia baru mewujud disekelilingnya. Hal-hal ajaib terjadi. Namun, ini bukanlah dongeng, atau bahkan... More

Trailer
Prolog : Rosangelynz
Give Me Love - Ed Sheeran
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
CERITA BARU!
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
PART 26
Masuk nominasi WAWA 2017!
PART 27
FINAL PART

Part 25

939 57 41
By ddnadil


Rambut panjangnya begitu indah dan bergelombang mengikuti langkah kakinya yang masuk ke sebuah kedai kopi. Ketukan sepatu hak tingginya membuat semua orang yang memandanginya ikut berdecak kagum. Pengunjung kedai kopi pagi itu seperti terhipnotis akan kecantikkan sosok wanita bertubuh ramping, dengan balutan pakaian musim dingin yang cantik.

Benar. Wanita yang sedang menunggu antrean itu bak bidadari yang baru saja jatuh. Kulitnya yang bening tanpa ada sedikitpun bercak-bercak hitam di wajahnya. Bibirnya yang membentuk selengkung senyuman itu membuat pria disampingnya tidak dapat berkedip barang sedetikpun. Dan tak jarang beberapa orang memotretnya.

Rosangelynz mendapatkan keinginannya. Walaupun, beberapa menit yang lalu ia harus menahan rasa sakit yang luar biasa. Namun, semuanya terbalaskan. Inilah yang diinginkannya sejak pertama kali ia mengetahui bumi. Ia ingin orang-orang dapat melihatnya. Memujinya. Mengaguminya. Dan mencintainya.

Tetapi, saat ini, dia tidak lagi membutuhkan perhatian dari makhluk bumi. Dia juga tidak memperdulikan para pengunjung yang sedang berdecak kagum akan pesonanya. Dia hanya ingin diperhatikan oleh satu orang saja. Seorang pria yang sedang dinantinya harus melihat wujudnya, dan meyakinkan pria itu bahwa dialah yang pantas untuk dicintai.

Dan seseorang yang daritadi ditunggunya, tiba.

Max membuka pintu dan dentingan bunyi lonceng di balik pintu membuat Rosa menoleh kebelakang. Pria itu melangkah dengan pasti menuju antrean. Max tidak memperhatikannya. Ia sibuk memperhatikan papan-papan menu yang tergantung diatas.

Beberapa detik tatapan pria itu jatuh padanya. Debaran itu seakan ingin membuatnya jatuh saat Max tersenyum kilat kearahnya. Akhirnya, Max dapat melihatnya. Pria itu menatapnya!

Namun, tatapan itu berbeda. Sangat berbeda dengan tatapan orang-orang yang mengagumi dirinya sejak tadi. Pria itu mulai mengernyitkan dahinya seakan ia sedang keheranan dengan wanita didepannya.

"Anda tidak ingin memesan?" Max akhirnya bersuara.

Rosa tersentak. Ia melirik kearah barista yang sudah tersenyum kearahnya. Seorang barista yang dulu pernah memujinya. Ia kembali menoleh kearah Max. Namun, pria itu malah sibuk dengan ponselnya.

Rosa memesan kopi kesukaannya. Sambil menunggu racikan kopinya selesai, ia berusaha melirik apa yang sedang dilakukan Max. Pria itu sedang menunggu seseorang menjawab telponnya. Suara itu begitu familiar ditelinganya. Ya, suara Sabine berteriak kegirangan. Terdengar suaranya yang manja agar dibelikkan kopi, tapi Max menolaknya dengan lembut. Lalu, hati Rosa semakin panas saat Max menanyakan keberadaan Avril.

Max begitu antusias menerima tantangan yang diberikannya hingga ia menyuruh putrinya untuk tidak membangunkannya.

"Nona Rosa? Pesanan anda sudah siap." Seru barista itu.

Rosa mengambil kopi itu sambil mengucapkan terima kasih padanya. Ia merogoh tas untuk mengambil uang.

"Nama anda mengingatkan saya dengan seseorang." Pikir barista itu.

Rosa mendongak. "Maaf?"

"Anda tahu pria yang dibelakang? Dia adalah kekasih dari seorang wanita bernama Rosa. Aku sangat beruntung bisa mengobrol dengan wanita bernama Rosa itu. Meskipun pemberitaan wanita itu selalu buruk, tapi dia tetap menjadi wanita favoritku dan akan selalu menjadi wanita tercantik di Paris." Tukas pria itu sambil mengacungkan jempolnya.

Rosa tersenyum tipis—berusaha menghargai percakapan diantara mereka, meskipun ia harus menahan rasa cemburu yang sedang menggebu di dadanya. Ia membalikkan badannya dan mendapatkan Max yang sedang tersenyum ramah kearahnya.

Entahlah. Senyuman itu sama sekali tidak mengobati rasa cemburunya. Senyuman itu semakin membuat dadanya semakin sesak. Tangannya gemetaran sehingga kopi yang dipegangnya seperti akan jatuh. Dan kejadian itu mengingatkannya akan kejadian yang pernah dialaminya bersama Max. Dan saat itu juga, Max menangkap lengannya.

"Anda tidak apa-apa?"

Rosa mengedikkan bahunya. Ia menyelipkan rambutnya kebelakang telinga, kemudian ia memegangi kopi itu dengan kedua tangannya. "Aku baik-baik saja."

Max mengangguk sambil tersenyum lalu. Dia melewati peri itu tanpa ada satu katapun yang terucap dari bibirnya. Pria itu tidak bisa mengenalinya. Ia mengabaikan Rosa yang kini sedang memandanginya dibalik punggung pria itu.

Lima menit Rosa menunggunya dibalik jendela kedai kopi. Ia mengusp-usap kedua telapak tangannya pada kopi panas. Pria itu keluar dengan menenteng dua gelas kopi. Suara dentingan lonceng itu berbunyi sekali lagi, kemudian Rosa mengambil langkah panjang dan memanggil namanya.

"Max."

Pria itu menoleh. "Aku?" Max memberikan kedua cangkir kopi itu pada supirnya, lalu ia mendekati Rosa. "Kau masih disini?"

"Mmm..Iya—Aku—sebenarnya—" Bernapaslah... "Bisakah kita mengobrol sebentar?"

"Sepertinya kita tidak saling mengenal. Dan, aku tidak punya waktu untuk mengobrol denganmu. Aku sedang terburu-buru."

"Kau mengenalku!" Perlahan, dia mengembuskan napas, dan disadarinya udara disekitarnya, anehnya, terasa panas.

"Aku mengenalmu?"

Rosa mengambil selangkah mundur, membiarkan udara mendingin. "Maaf." Sejenak, ia mencoba membasahi tenggorokannya yang tercekat. "Kau memang tidak mengenalku, tapi kita sering bertemu."

"Benarkah? Dimana?"

"A—aku pelanggan setia, dan temanku salah satu karyawanmu—jadi, aku sering melihatmu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat mengagumimu."

"Sungguh? Terima kasih. Kau—" Ia menjulurkan tangannya untuk mengetahui nama wanita itu.

"Rosa." Jawabnya. Dia meraih tangan Max, merasakan setiap sentuhan lembutnya. Dan itu lebih dari cukup.

"Rosa? Kau baru saja mengingatkanku dengan seorang wanita yang sedang tidur nyenyak dikamarku."

"Kau pasti sangat mencintainya." Wajahnya tertunduk, ia memejamkan matanya yang perih. "Wanita itu beruntung sekali." Lanjutnya dalam hati.

"Aku sangat mencintainya."

Rosa nyaris kehilangan pijakan karena kesedihannya. "Aku berharap kalian bahagia selamanya." Dia tersenyum sambil menepuk pelan lengan pria itu.

Max tersenyum, giginya yang tersusun rapi itu terlihat jelas. "Terima kasih. Aku berharap kita bisa bertemu lagi."

"Aku rasa ini adalah pertemuan terakhir kita. Dan—" Ia menghentikan ucapannya. Lidahnya membeku, dia bisa merasakan suaranya gemetaran. Dia merasakan bahwa ini adalah sebuah akhir.

"Seseorang pernah berkata bahwa setiap pertemuan adalah takdir. Kita bisa bertemu lagi, dimana saja dan kapan saja." Tukas pria itu.

"Kau tidak tahu rasanya, melihat orang yang kau cintai ada di depanmu, tapi kau tidak bisa bicara dengannya "

"Maaf?"

Wanita itu melengkungkan senyum termanisnya. Ia mengangguk , lalu dia mengangkat tangannya mengisyaratkan sebuah perpisahan. Ia berjalan dan pergi meninggalkan pria itu tanpa ada kata selamat tinggal untuknya. "Berikan salamku untuk Rosa."

Aku berharap sebuah takdir bisa mempertemukan kita sekali lagi. Lalu kita bisa mengenal sekali lagi dan jatuh cinta sekali lagi. Tapi, rasanya akhir cerita itu memang sudah jelas terlihat. Seakan aku tidak bisa kembali lagi. Seolah aku tahu bagaimana ini akan berakhir. Kata-kata yang tidak bisa aku katakan, kata-kata yang bersembunyi didalam bibirku. Aku menelan mereka dan mereka hidup sebagai air mata .

Aku sangat ingin marah. Aku ingin bertemu dengan wanita itu sekali lagi. Aku ingin melampiaskan seluruh rasa sakit ini padanya.

***

"Mengapa setiap kali aku melihatmu, kau selalu menangis?"

Rosa mendongakkan wajahnya perlahan. Dia menghela napas dengan berat dan tersengal, berusaha mengumpulkan napas. Pipinya terasa basah, meski dia tak ingat telah menangis. Isak tangisnya bertambah histeris saat Avril tengah memandangnya. Wanita yang membuatnya harus tercampakkan dari sisi Max. Roh wanita itu membuat Rosa muak. Ingin sekali rasanya ia menyingkirkan wanita itu dari hidupnya.

"Bahagialah." Avril meluncurkan nada itu begitu lembut. Terdengar syahdu. Namun, bagi Rosa, kalimat itu menyiksa batinnya. Sangat menyiksanya.

Rosa berteriak sekencangnya hingga air yang tenang berubah mejadi pecahan-pecahan kecil. "Bahagia, katamu?" Rosa mendecak. "Bahagiaku adalah melihatmu hilang selama-lamanya."

Rosa memusuhi roh itu. Roh yang selama ini membawakannya keindahan yang tak akan pernah ternilaikan.

Avril membalasnya. " Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi diakhir sebuah cerita. Aku merasakannya. Aku tahu apa yang kau rasakan. Aku tahu kau ingin bersamanya. Tetapi Rosa, segala yang kau inginkan tidak selamanya harus terwujud. Jika kau percaya takdir, maka kau akan melihatnya tanpa harus menutup kedua matamu. Kau, seseorang yang datang membawa sejuta keajaiban—seperti takdir untukku."

Rosa menutup kedua telinganya. Membuatnya untuk tidak mendengarkan apapun yang keluar dari bibir wanita itu. Rosa berteriak menyuruh wanita itu segera pergi dari hadapannya. Ia berteriak dan terus berteriak hingga ia merasakan kedua pundaknya di usap dengan lembut.

Sosok yang kini memandanginya dengan sedih adalah seseorang yang sangat dirindukan dan dibutuhkannya. Vidia.

"Tolong, katakan padaku jika kisahku akan berakhir dengan baik. Aku mohon Vidia."

Tatapan Vidia terlihat lembut. Peri itu tidak memperlihatkan rasa sedihnya pada Rosa yang memang sangat menyedihkan. Kedua tangannya yang bersinar itu menyentuh pipi Rosa. Ia menenangkan perasaan wanita itu terlebih dulu sebelum mengatakan sesuatu.

"Seharusnya ini akan menjadi petualanganmu yang menyenangkan, bukan?" Vidia mengangkat sudut bibirnya. "Tidak peduli betapa besar keinginanmu untuk menjadi manusia dan menikah dengan pria itu, kau tetap seorang peri. Seharusnya ini tidak akan semudah apa yang kau pikirkan. Waktumu tinggal sebulan dan tubuh yang kau huni sedang mengandung anak pria itu dan—"

"Itu adalah bayiku! Aku yang melakukannya bersama Max, bukan Avril." Sergah Rosa dengan nada yang masih tercekat emosi. "Kau dan Abrianna tega sekali membuatku seperti ini. Vidia, seharusnya kau membantuku. Aku tahu, aku salah. Aku tahu, seharusnya aku bisa menahan diriku pada Max. Kalau permasalahannya adalah bayi itu, bantu aku untuk—tidak, aku yang akan membuat bayi itu hilang."

Tatapan Vidia begitu tak percaya. Peri itu menggenggam pergelangan tangan Rosa dengan kencang. " Aku tidak percaya kau bisa mengatakan itu!"

" Lalu, aku harus marah pada siapa? Tidak peduli seberapa tidak adil itu. Tidak peduli seberapa banyak air mataku. Aku tahu itu tidak akan merubah apapun. Tidak peduli seberapa banyak aku memohon."

Rosa menahan seluruh emosi yang masih bergejolak hebat itu. Percuma baginya untuk memohon pada Vidia ataupun Abrianna. Untuk apa lagi? Ia sudah menampakkan wujudnya pada Max. Wajah cantiknya sama sekali tidak memikat pria itu lagi. Max benar-benar sudah mencintai Avril. Dan rasa cinta itu akan semakin kuat apabila Max mengetahui bahwa Avril sedang mengandung anaknya.

Tidak! Rosa tidak ingin itu terjadi. Dua bulan dia berjuang mendapatkan seorang pria untuk mencintainya. Dia sudah cukup dengan segala cerita itu. Ingin sekali dirobeknya halaman terakhir kisah itu. Halaman terakhir yang membuatnya akan semakin sakit. Bila ia tidak bisa bersama pria itu, maka ia harus menghilang dan membawa Avril bersamanya. Tidak ada akhir kisah bahagia lagi untuknya.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Rosa." Sahut Vidia memecahkan keheningan penuh emosi itu. "Kau benar-benar belum mengerti akhir cerita bahagia yang sesungguhnya sampai kau melihatnya sendiri. Satu bulan adalah waktumu untuk berpikir. Berpikir bagaimana cara untukmu mengakhiri kisahmu sendiri. Tidak ada yang terjadi tanpa alasan, semuanya saling berkaitan"

Rosa sama sekali tidak peduli! Dia menghilang dari tatapan Vidia dalam sekejap.

***

Harum kopi kesukaannya menyebar ke seluruh ruang hingga menusuk indera penciumannya. Matanya yang bengkak itu dibukanya pelan-pelan. Kedua bola matanya mencari-cari sosok yang telah membuat hatinya hancur. Namun, pria itu sedang tidak ada disisinya.

Rosa mencoba mengangkat tubuhnya. Rasanya tubuh itu tidak lagi menyatu dengan dirinya. Jiwa mereka seakan terbagi dua. Sekuat tenaga ia menegakkan tubuhnya. Wajahnya tertunduk lemas memandangi perutnya. Tanpa disadarinya, air matanya jatuh. Matanya perih. Bahkan untuk meronta pun ia tidak sanggup.

Aku menyadari, mimpi indah hanya membuatku tidak bahagia ketika aku terbangun. Seharusnya aku tidak bermimpi indah sejak awal.

Ia melangkahkan kakinya menuju lemari. Dibukanya lemari itu, ia memasukkan seluruh pakaiannya kedalam koper. Baginya, tidak ada lagi yang harus ditunggu apalagi diperjuangkan. Kisahnya sudah berakhir saat makhluk itu tiba-tiba muncul dan seketika merebut pria yang dicintainya.

Rosa jatuh merosot, seolah kehilangan pijakan. Betapa bodoh dirinya. Seharusnya ia tahu sejak awal kalau ia tidak akan bisa bersama dengan Max. Seharusnya ia sadar bahwa setiap kisah yang dijalaninya adalah sebuah hukuman yang menyedihkan yang diberikan Abrianna. Dan ia sadar bahwa selama ini dia telah mengorbankan perasaannya untuk kebahagiaan Avril. Kemudian, Max adalah hadiah terindah untuk Avril.

Rosa tersenyum getir. Ia meremas pakaiannya. Emosinya meluap. Ia tidak akan bisa mengontrol dirinya jika terus berada disini dan menyaksikan Max mengetahui kehamilannya. Semuanya sudah berakhir. Semuanya harus kembali seperti semula. Rosa sudah menyelesaikan hukuman dan tugasnya. Avril sudah bahagia dengan bayi yang sedang dikandungnya tanpa harus ada Max disisinya. Ia harus mengembalikan tubuh itu ke tempat pertama kali Abrianna mempertemukannya. Dan setelah itu, dia akan menghilang selama-lamanya dan melupakan segala hal tentang Max.

Suara derikkan pintu dan langkah kaki tidak membuat Rosa menghentikkan kegiatannya itu. Rosa dapat mencium bau roti panggang dan segelas susu yang sontak membuat perutnya kembali bergejolak. Tapi ia mencoba menahannya sekuat mungkin.

"Kau sudah bangun ternyata. Tepat waktu! Makanlah selagi ini masih hangat." Neva meletakkan hidangan itu diatas meja. Lalu, ia berbisik, "Kau harus banyak makan agar si calon bayi kuat didalam sana."

Langkah kaki Neva semakin dekat. Kini, ia berdiri tepat di belakang Rosa. "Kau mau kemana?" Sahut Neva yang membuyarkan lamunan Rosa.

Wanita itu menyeka matanya dengan kasar. Ia berdiri memandangi Neva dengan serius. "Aku harus pergi."

"Pergi? Pergi kemana?"

"Aku tidak punya alasan lagi untuk tinggal disini." Rosa menarik gagang koper, lalu melanjutkannya. "Aku juga tidak bisa menemuimu untuk waktu yang lama dan mungkin aku tidak akan pernah menghadiri pesta pernikahanmu"

"Ini lelucon, bukan?"

"Tidak. Aku serius." Rosa berjalan sambil menarik kopernya. Namun, Neva menarik lengannya dengan kuat.

"Aku tidak mengerti maksudmu. Kenapa tiba-tiba seperti ini? Ada apa Rosa?"

Rosa menarik panjang napasnya. "Setelah aku pikir-pikir, Aku tidak menginginkan bayi ini. Aku tidak pernah menginginkan hubungan yang serius dengan Max. Aku hanya penasaran saja. Tapi ini sudah terlalu jauh. Dan aku tidak ingin hanyut lebih dalam lagi."

Wanita itu terkekeh. Ia menatap Rosa tidak percaya. "Wow! Omong kosong macam apa ini!" Rosa merintih akibat cengkraman Neva. "Apa kau tidak sadar dengan apa yang baru kau ucapkan, huh?"

"Aku sepenuhnya sadar!"

"Benarkah?" Pria itu akhirnya bersuara setelah mendengarkan pernyataan menyakitkan dari wanita yang dicintainya. Ia berdiri menyaksikan pertengkaran itu. Berdiri tepat dibelakang Rosa.

Tubuhnya tidak bergeming sama sekali. Air matanya mengalir begitu saja. Ia takut sekali untuk melihat kebelakang. Hatinya tidak sanggup lagi jika harus melihat orang yang dicintainya terluka sekali lagi.

Rosa hanya bisa tertunduk. Matanya dapat melihat jelas jika pria itu kini berdiri dihadapannya, sedangkan Neva sudah pergi meninggalkan mereka berdua.

"Jika semua yang kau katakan tadi adalah benar, maka lihatlah aku, dan katakan itu sekali lagi!"

Rosa mengatup bibirnya sekuat mungkin agar tangisnya tidak pecah. Ia tidak boleh terlihat berbohong. Ia harus membuat semuanya terasa benar. Tidak ada lagi yang harus diperjuangkan meskipun jauh di dalam hatinya ia masih..sangat..ingin memiliki pria itu dengan utuh. Detik itu juga, hasratnya begitu ingin memeluk pria itu dan mengatakan bahwa semua yang dikatakannya tadi tidaklah benar. Dia ingin mengatakan bahwa rasa cintanya tidak pernah berubah. Namun, ia ketakutan. Sekarang ini, ia begitu takut tidak dapat menghabiskan waktunya dengan orang yang dicintai.

"Benar. Semua itu benar. Kenyataan bahwa aku tidak ingin menghabiskan seluruh hidupku bersamamu dan putrimu—itu benar. Aku hanya penasaran saja. Tapi, kau malah menganggap semua ini dengan serius." Ucapnya berbohong. "Aku hanya ingin bermain. Tetapi, kau tidak ingin menyudahi permainan ini. Maaf."

"Jadi, apa yang kau ingin aku lakukan?" Tanya pria itu getir.

"Yang aku mau, hubungan ini berakhir."

Tatapan pria itu kosong, tapi ia tidak bisa melepaskan pandangannya pada Rosa. Dari mata wanita itu, Max berusaha mencari-cari kebohongan yang baru saja diucapkannya. Ia merasa semua itu adalah kebohongan. Semua itu tidak bisa dipercaya setelah apa yang sudah mereka lewati. Dan sekarang semuanya hampir terlihat sempurna ketika ia akan memiliki anak dari Rosa.

"Kau sedang hamil." Max berusaha meyakinkannya. Membuat Rosa menarik seluruh ucapannya. "Bagaimana bisa aku mengakhiri semuanya?"

"Kita bukan sepasang suami-istri. Kita tidak terikat apapun."

"Kalau begitu, tingallah. Itu permintaanku."

"Apa kau belum jelas, Max?" Suaranya meninggi.

"Kau bilang kau akan melakukan apapun untukku jika aku berhasil membawa kopi kesukaanmu. Aku menang, maka kau harus tepati janjimu."

"Aku berbohong." Kalimat itu meluncur dengan mulus. Membuat Max tak bisa berkutik.

" Aku mencintaimu dengan tulus. Namun, kau hanya menganggapku sebagai permainan maka kau benar-benar jahat—dan jika aku masih menyukaimu walau aku sudah tahu, itu berarti aku yang bodoh. Pergilah. Tapi, jangan pernah melarangku untuk bertemu dengan anakku dan jangan pernah melarangku untuk menjagamu...demi anak kita."

Rasanya seperti musim semi tidak akan datang. Tapi bahkan jika datang, waktuku yang dingin telah dibekukan. Kau seperti itu, kau seperti angin.Semakin aku mencoba untuk mencapaimu, semakin kau menjauh

Karena sebuah situasi, aku tidak bisa bersamamu, tapi hatiku tetap selalu milikmu. Anggaplah ini hanya mimpi, jadi saat aku menghilang itu tidak akan sakit untukmu.

©️ All Rights Reserved 2017 ddnadil    

Continue Reading

You'll Also Like

54.5M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
998K 93.9K 30
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
727K 56.9K 30
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...