Part 16

932 60 12
                                    


Tubuh Avril telah dikendalikan sepenuhnya oleh Rosa. Anggota tubuhnya tidak lagi kaku. Energinya telah terisi penuh. Hanya saja, ia merasakan dadanya yang masih terasa berat. Jantungnya juga masih berdegup tidak beraturan. Tidak seperti biasanya.

Rosa duduk di atas kasur sambil mengelus dadanya. Matanya yang sembab mengitari keseluruh ruangan, berpikir apa yang harus dilakukannya sekarang.

Terlalu pagi untuknya bekerja. Ditambah, cuaca pagi hari begitu dingin dan langit tampak mendung. Rosa bertopang dagu di pinggiran jendela kamarnya yang ditutupi oleh embun pagi. Tidak ada yang bisa dipandangnya. Pikirannya melayang tentang kejadian yang dialaminya semalam.

Hal-hal aneh muncul. Dari mulai perasaan aneh yang timbul saat Max memandanginya, memori-memori Avril muncul di kepalanya dan, ia juga ingin menggunakan serbuk peri pertamanya untuk Alex.

Tubuhnya bergidik ngeri. Ia ingat betul apa yang dikatakan Abrianna tentang tiga kekuatan yang dimilikinya. Sekali saja Rosa menggunakannya, maka ia harus merasakan rasa sakit yang akan menyiksanya sepanjang malam.

Rosa tidak ingin memikirkannya sekarang. Membiarkan hatinya yang akan menjawab semuanya nanti. Serbuk peri itu akan keluar bila memang hatinya menginginkan itu terjadi. Karena Ia tidak akan bisa mencegahnya. Sekeras apapun itu.

Matanya mengerjap-ngerjap melihat tulisan aneh di jendela. Nama Max, tidak disadarinya telah terukir indah diantara embun pagi yang menempel di jendela.

Kepalanya menjauh untuk menatap jelas tulisan itu. Kapan ia menulisnya? Kenapa Max? Ada apa dengannya pagi ini?

Dijulurkannya tangannya untuk menghapus nama Max. Bukannya dihapus, malah ia menyentuh nama Max—lalu tersenyum tanpa sebab. Wajah pria itu terus lengket di kepalanya, senyuman pria itu terus terngiang-ngiang di pikirannya. Di dalam hatinya, Rosa merasa senang ketika Max mencemaskan dirinya malam itu.

Mungkinkah dia orangnya?

Ketukan pintu membangunkan Rosa dari lamunan anehnya. Ia segera melompat membuka pintu. Ia mengatup bibirnya melihat wanita setengah baya tengah berdiri dengan wajah menyeramkan.

Dengan sigap dan tanpa perlu menunggu wanita itu memakinya, Rosa berlari mengambil tasnya. Ia mengais-ngais isi tasnya ,mencari uang yang didapatkannya dari mengasuh Sabine.

"Ini uang sewanya. Maaf, aku terlambat membayarnya." sahut Rosa gugup.

Wanita itu mengambil uang dari tangan Rosa dengan kasar, "Lain kali tepat waktu! Uhh...ngomong-ngomong kau tahu tidak siapa pelacur yang mengencani pria konglomerat itu? Katanya dia tinggal di apartemen ini. Aish...berita itu cepat sekali lenyap. Seluruh media tidak ada yang berani menerbitkan wajah wanita itu setelah menerima ancaman. Padahal, kalau aku bisa melihat wajahnya aku pasti langsung mengenalinya."

Dahi Rosa mengerut. Sepanjang wanita itu bercerita—hanya kata 'pelacur' yang menyangkut di otaknya. "Pelacur? Apa maksudnya?"

"Seperti kau dan teman-temanmu yang tinggal disini!"

Seperti aku? Pelacur? Memangnya apa yang telah kuperbuat? Apakah aku telah membuat kesalahan besar sampai-sampai mereka menyebutku seperti itu?

Wajah Rosa tertunduk sedih. Walaupun ia belum mengerti sepenuhnya, tapi Kalimat itu begitu menusuk sampai ke ulu hatinya. Tentu saja kata-kata itu di hadiahkan untuknya.

"Oh, kalau kau tidak ingin memakannya, berikan saja padaku." Wanita itu menunjuk ke sebuah kotak makanan.

Rosa menyembulkan kepalanya untuk melihat kotak makanan itu—lalu, ia meraihnya dengan cepat. Di kotak itu tertulis; Kau harus makan roti ini, lalu minumlah obat. Hubungi aku jika sudah lebih baik. Sahabatmu, Neva.

ROSANGELYNZWhere stories live. Discover now