Part 19

827 56 8
                                    


"Ia memegang tangannya dan menciumnya. Kemudian, ia menuntunnya untuk naik ke atas kudanya. Dan putri yang cantik jelita itu dan pangeran tampan pergi menuju istana mereka, dimana mereka hidup bahagia selamanya."

Mereka tertawa bersama sesaat cerita itu berakhir. Max mengecup lembut kening gadis kecilnya. Ia mengeratkan tangannya lebih erat di dalam pelukan. Dia membiarkan putrinya bersandar di dadanya untuk sejenak, di balik selimut bergambarkan peri sementara dirinya berusaha mengendalikan perasaannya.

Dia sudah menciumnya. Sentuhan bibir wanita itu membuat bumi yang di pijaknya berhenti untuk jeda yang panjang. Mereka menikmatinya. Tidak ada paksaaan. Awalnya, ia hampir merasa kecewa karena tidak ada balasan dari Rosa atas ciumannya. Namun, perlahan wanita itu pun membalasnya. Mereka terhanyut dalam sentuhan yang sama-sama tidak pernah mereka rasakan. Bagi Max, sentuhan lembut itu membuatnya terhanyut lebih dalam hingga dirinya nyaris melakukannya lebih jauh lagi. Tetapi, niat itu terhenti ketika Rosa menarik tubuhnya jauh-jauh dari Max.

Mungkin, dalam ciuman yang panjang itu, Rosa tersadar. Sadar bahwa apa yang dilakukannya benar-benar mengerikan dan tidak sepantasnya untuk dilakukan. Seharusnya dia bisa melakukannya ketika dia menjadi wujudnya sendiri. Sesaat, dia benar-benar kesal, marah dan cemburu. Dan juga, dirinya begitu takut jika kejadian ini diketahui Claudia.

"Apa cerita dongeng bisa jadi kenyataan, Pa?" Tanya Sabine yang membuyarkan keheningan.

Max mengerjap, lalu ia menutup buku berbentuk persegi itu sambil berkata, "Well, tidak sih. Tapi mimpi bisa jadi kenyataan."

"Papa punya mimpi?" Tanyanya lagi.

"Tentu. Mimpi Papa adalah kau tumbuh besar , belajar setinggi mungkin dan kemudian kau bisa membangun istanamu sendiri suatu hari nanti." Ujarnya.

Gadis itu menautkan kedua alisnya. Lalu, melanjutkannya. "Kemana semua peri pergi kuliah?"

Max menggumam sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal. Dia memikirkan sebuah jawaban yang pastinya bisa dimengerti dan berharap tidak ada lagi pertanyaan di balik jawaban tersebut. Dan jawabannya, "Umm...mereka pergi kemana semua peri seharusnya pergi. Mereka pergi ke École Normale Supérieure." Begitu dia berdalih. Menyebutkan nama sebuah universitas terkemuka di Paris. Dan, ya, Max berharap putrinya akan tumbuh menjadi wanita cerdas dan lulus di universitas itu.

"Berarti peri itu berkuliah disana." pikirnya, dia langsung memikirkan wanita bersayap itu. Waktu berlalu sungguh cepat, namun peri itu tak kunjung datang memenuhi janjinya. Setiap malam, gadis berambut ikal itu selalu berdoa pada Tuhan, agar doanya terkabul. Dia tidak menginginkan hadiah mainan, boneka ataupun setumpuk buku peri, melainkan dia ingin peri itu menepati janjinya. Dan dirinya berharap agar dia datang pada malam natal, di saat banyaknya salju turun.

"Sayang, kau tahu, cerita dongeng bukan cuma tentang bertemu dengan pangeran tampan, tapi tentang mengenai semua mimpimu dan tentang mempercayai suatu hal yang kau yakini. Seperti apa yang Papa selalu bilang..."

"Jangan biarkan ketakutan menghalangi hidupmu." Potong Sabine yang sudah menghafal mati kalimat itu.

"Benar." Max tersenyum sebentar, lalu melanjutkannya, "Dan ingatlah, Papa akan selalu menemanimu untuk menggapai mimpi-mimpi itu."

Dan kemudian, Sabine berkata di dalam hatinya bahwa ia harus tetap yakin dengan satu hal itu. Keyakinan yang beberapa menit lalu telah goyah kini menyeruak kembali ke dalam tubuh kecilnya. Yakin akan janji peri itu. Dan dia menutup matanya sambil mengucapkan doa yang sama setiap malamnya.

***

Keesokannya,

Rosa mondar-mandir. Entah sudah berapa kali ia menjelajahi ke setiap sudut ruangan kamarnya. Kuku-kuku tangannya menjadi sasaran untuk menghilangkan kegelisahannya.

ROSANGELYNZWhere stories live. Discover now