PART 27

74 6 0
                                    

Rosa masih dengan keinginan terberatnya. Memeluk Max sesering mungkin, selama mungkin, seerat-eratnya.

Pagi itu, ia mengikuti langkah Max yang keluar untuk sarapan. Sebisa mungkin, dia ingin melakukan segala-galanya bersama pria itu. Termasuk meminta Max untuk menyuapinya disela-sela Max sedang memeriksa pekerjaan kantornya. Untungnya, pagi itu, mereka hanya berdua di ruang makan, jadi Rosa tidak malu untuk mengungkapan rasa cintanya pada Max. Dan untuk Sabine, gadis kecil itu masih bisa ditatapnya pagi ini. Wajahnya berseri dan tidak pernah berhenti tersenyum. Bahkan, dia membangunkan Max dan Rosa hanya untuk memeluk mereka berdua.

"Sayang, kau lebih baik dirumah saja. Jangan mengikutiku ke kantor lagi, oke?" Ucap Max saat mereka berada diambang pintu.

"Kenapa?" Rosa bertanya dengan tangannya yang masih melekat di pinggang pria itu. "Tidak suka, ya?" Tanyanya sedih.

"Bukan begitu." Kedua tangannya ditangkupkan pada wajah Rosa. "Aku hanya tidak mau melihatmu sakit karena harus menunungguku sampai selesai bekerja. Ini sudah hampir sebulan kau mengikutiku. Tinggal dirumah saja, ya."

"Mual-mualku bisa hilang karena terus berada didekatmu. Kalau kita berjauhan, aku pasti akan sedih."

Max tekekeh. Dia mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkannya sesuatu. "Aku bisa melihat wajahmu darisini. Kita bisa saling terus berdekatan." Max mencium bibir Rosa cepat. Dia masuk kedalam mobil. Dari kaca mobil, Rosa bisa melihat wajah Max yang tersenyum kearahnya.

Tidak ada salju. Rumah-rumah yang menjadi pemandang matanya tidak lagi tertutupi salju. Rosa menghirup udara segar pagi itu. Sesekali dia melihat ponselnya. Dalam ponsel itu, dia melihat Max sedang serius. Dengan balutan jas dan dasi berwarna biru gelap, Max begitu karismatik. Pria itu sedang mendiskusikan sesuatu didalam suatu ruangan bersama beberapa karyawannya. Karakter Max sangat berbanding terbalik saat sedang bersamanya. Tidak setegas dan sedingin seperti saat bersama anak buahnya. Pria itu selalu bersikap hangat pada Rosa.

Dia mulai menulis catatan kecil di sebuah diary yang diberikan Neva pada malam Natal waktu itu. Neva, Wanita yang sangat bersemangat itu, sudah berada di London bersama dengan Alex. Alex membawa Neva untuk bertemu dengan Eleanor dan Liam, orangtuanya. Sehari sebelum Neva pergi, ia mengajak Rosa untuk menghirup udara segar di sebuah taman—dekat rumah Max. Mereka berbincang tentang semua yang sudah mereka lalui selama dua bulan ini.

Semua yang terjadi selama ini adalah sebuah takdir yang diberikan Tuhan untuk mereka. Pertemuan yang tidak disengaja itu berhasil membuat Neva seperti hidup kembali, mempunyai mimpi dan ambisi. Ia mensyukuri semua anugerah itu. Ia tidak ingin berpisah dengan Rosa. Dia berkata seperti itu, karena ia takut dengan benda milik wanita itu, yang ditemukannya beberapa waktu yang lalu. Ia takut kalau Rosa akan meninggalkan mereka semua.

Saat itulah, Rosa merasa begitu kecil. Semua jauh dari jangkauannya. Seperti akan tersandung dan terjatuh. Ia hanya bisa berharap saat itu juga—dia bisa meninggalkan itu semua. Tapi ia tidak tahu apakah ia punya tenaga untuk melakukannya.

Namun, hanya ini yang bisa dikatakannya.

Aku tidak akan kemana-mana. Selamanya, akan tetap disini. Bersama keluargaku. Kau, adalah salah satunya.

Dia ingat, itulah kalimat perpisahan yang diberikan untuk Neva.

***

Max menyelinap masuk kedalam kamarnya. Ia melangkah dengan berhati-hati—agar tidak membuyarkan lamunan Rosa di balkon sana. Pria itu tahu—bahwa kekasihnya sangat menyukai pelukan tiba-tiba itu. Dia mencium pipinya, kemudian menunjukkan seikat bunga mawar padanya.

ROSANGELYNZWhere stories live. Discover now