Heartbeat

By ameiranou

159K 6.9K 265

"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang m... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 63
Epilog
Axelardo; (Not) Bad Papa

Chapter 62

1.8K 68 10
By ameiranou

Detak jarum jam mengalun begitu jelas di ruangan sunyi nan sepi itu. Beriringan dengan suara dari layar monitor yang terhubung dengan tubuh seorang manusia yang tengah terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Ruangan itu dominan bewarna putih, yang malah menambah kesan jika ruangan itu benar-benar monoton dan kurang nyaman untuk ditinggali.

Seseorang masuk melewati satu-satunya pintu akses menuju ruangan. Ia menggeret kursi pelan, lalu memposisikan dirinya duduk di samping brankar tempat seorang gadis dengan banyak luka gores itu terbaring lemah. Tangannya bergerak, menggenggam sedikit erat satu tangan gadis itu yang bebas dari infus. Mengelusnya, lalu mengecupnya dengan sayang.

"Kamu harus segera bangun, Sayang," ucap orang itu dengan suara serak. Nadanya sumbang dengan air mata yang terus membasahi kedua pipinya.

Sudah lima hari putrinya—Nara, tak kunjung membuka mata. Rasa-rasanya, hidupnya kembali seperti dulu ketika belum menemukan Nara. Sepi, hambar, dan merasa tak ada tujuan. Ya, buat apa ia hidup dan bekerja keras jika dulu tujuan hidupnya untuk siapa tidak jelas. Namun, setelah menemukan kembali Arabella-nya. Perlahan, Trisha menemukan arti dirinya hidup. Ia masih punya keluarga, rumahnya untuk pulang, dan seseorang yang harus ia bahagiakan.

Trisha menatap wajah Nara yang tak semulus biasanya. Ia mengingat kejadian beberapa hari lalu. Ketika tubuh Nara tak sadarkan diri dengan beberapa luka dan darah di bagian tubuhnya. Trisha menangis histeris. Apalagi saat dokter bilang kondisi Nara yang kurang baik dan koma.

Hari ini, mungkin Trisha sudah sedikit tenang, tetapi tak menutup kekhawatiran dalam hatinya. Air matanya menetes yang dengan cepat Trisha mengusapnya.

"Cepat bangun, Nak." Trisha mengelus tangan itu dengan sayang.

Pada sisi lain. Di sore hari, tepatnya halte sekolah. Nara sedang duduk santai seperti sore-sore biasanya menunggu transportasi umum lewat. Seingatnya, ia sudah cukup lama di sini. Namun, satupun kendaraan tidak ada yang lewat.

Nara menghela napasnya panjang. Ia memejamkan mata kala semilir angin menerpa kulit pipin dan mengibarkan anak rambut yang tidak ikut terkucir. Sejenak, ia tersentak saat tangannya yang berada di sisi tubuh terasa di genggam.

Ia membuka mata, melirik ke samping dan sedikit terkejut ketika mendapati Daniel duduk di sana dengan senyuman tipis.

"Kamu ... di sini?" Dengan masih mempertahankan senyumnya, Daniel mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa nggak pulang?" Nara mengedarkan pandangannya. Ada yang aneh. Ia tidak mendapati motor Daniel. "Motor kamu ke mana?"

Daniel tak memberi jawaban, ia malah menarik kedua tangan Nara dan menggenggamnya. Nara mengernyit kebingungan dengan tingkah Daniel. 

"Lo baik-baik, ya?" Kerutan di kening Nara semakin jelas, ia juga merasakan genggaman tangan Daniel yang semakin erat.

"Iya, aku bakalan pulang baik-baik," jawab Nara meskipun ia sedikit merasa tak nyaman dengan ucapan Daniel barusan. "Lagi pula, kita bisa pulang sama-sama. Dengan begitu kamu tahu aku bakalan baik—"

"Nggak, Nara." Daniel menyela. Nara menaikkan kedua alisnya. Tangan Daniel beralih, naik menuju ke kedua bahunya. "Setelah ini, kita akan saling sendiri."

Tubuh Nara mendadak bergetar, ia memegang kedua lengan Daniel. Tatapannya tertuju pada tatapan Daniel yang menyiratkan keseriusan.

"Kamu bercanda?"

"Jaga diri kamu baik-baik, ya?" Daniel tak menjawab, tapi ucapan selanjutnya membuat Nara semakin berprasangka buruk, membuat tanpa sadar air mata gadis itu menetes.

"T-tapi kenapa? Kamu mau ke mana?" tanya Nara menggoyangkan dua lengan Daniel. Namun sang empu hanya diam menggenggam balik tangan Nara, mencoba menenangkan gadisnya meski itu tak berbuah baik sebab Nara sudah mulai terisak.

"Gue nggak ke mana-mana. Gue akan selalu di hati lo," jawab Daniel mengusap kepala Nara.

"Nggak! Kamu nggak boleh pergi!" Nara menggenggam erat tangan Daniel, mungkin bisa sampai membuat Daniel kesakitan karena sangking eratnya.

"Gue sayang lo."

"Aku nggak butuh kalimat itu. Aku butuh kamu," ucap Nara tegas, saat perlahan Daniel berdiri dan melangkah mundur. 

"Nggak!" Nara ikut bangkit. Namun, ketika ia akan meraih tangan Daniel. Tubuh cowok itu tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Nara semakin histeris di tempat.

"Nggak! Daniel kamu nggak boleh pergi!"

"Nggak!"

Trisha tersentak saat mendengar tarikan nafas Nara. Seolah gadis itu baru saja terbangun dari mimpi buruknya. Trisha langsung bangkit melihat kondisi putrinya. Ketika tatapannya bertemu dengan tatapan sayu Nara. Trisha langsung memencet tombol hingga tak lama kemudian pintu terbuka, memperlihatkan seorang dokter beserta dua orang perawat mulai memasuki ruangan.

"Putri saya sadar, dok." Dokter itu mengangguk dan segera memeriksa keadaan Nara. Trisha mundur di sudut ruangan. Bibirnya tak henti memanjatkan doa untuk kesembuhan putrinya.

Tak beberapa lama kemudian, dokter itu berbalik menghampiri Trisha, sedang dua perawat tadi sudah keluar dari ruangan.

"Putri Anda dalam keadaan baik. Namun, perlu pantauan untuk bisa benar-benar sembuh pasca koma." Trisha mengangguk paham, dokter itu pun pamit undur diri. 

Trisha mendekati putrinya yang menatapnya dengan wajah pucat. Ia mengelus membuat Nara merespon dengan memejamkan matanya sesaat. 

"Akhirnya kamu sadar, Sayang."

Bibir pucat itu tampak bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi masih tertahan. Trisha yang paham, sedikit mendekatkan tubuhnya.

"Kamu ingin bicara apa, Sayang?"

Dengan suara parau yang sebahagia menghilang, Nara berusaha menjawab. "Da—niel."

Meski tak begitu jelas, Trisha bisa mendengar ucapan itu. Ekspresinya berubah tak mengenakan. Namun wanita itu mencoba mengelabuinya dengan senyuman.

"Kamu sembuh dulu, ya? Dia siapin sesuatu buat kamu." Trisha mengelus kening putrinya. Ia tersenyum kecut sekilas. 

Entahlah, ia takut dengan respon Nara nantinya.

***

Nara menghirup udara segar di taman rumah sakit. Dua hari setelah ia sadar dari koma, tubuhnya terasa lebih baik. Dokter mengizinkannya untuk mencari suasana luar di sekitar rumah sakit, dan sudah pasti Nara tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Ngomong-ngomong, sudah dua hari sejak ia bangun belum sama sekali Daniel datang mengunjunginya. Atau kalau keadaan cowok itu memang tidak memungkinkan akibat kecelakaan waktu itu. Nara bisa datang untuk mengunjunginya lebih dulu. Sayangnya ketika ia bertanya pada Trisha, wanita itu selalu beralasan bahwa Daniel belum bisa dikunjungi maupun mengunjungi dan setelahnya Trisha akan mengalihkan pembicaraan.

Nara mendesah panjang, lalu menatap hamparan hijau di hadapannya dengan kolam kecil di tengahnya. Suara air terjun buatan membuat pikirannya sedikit tenang. Tak sia-sia Trisha membawanya ke sini. Tubuhnya merasa rileks, juga tidak jenuh setelah sebelumnya ia merasa terkurung di dalam ruangan.

"Nara."

Nara sontak menoleh, senyumnya terukir begitu melihat kedatangan Ares dan Theo. Melihat Nara yang tersenyum, membuat dua cowok itu juga ikut tersenyum walau dalam hati mereka merasakan kepedihan atas apa yang akan mereka sampaikan nanti. 

"Kabar lo gimana?" tanya Theo yang mengambil duduk di kursi taman dekat kursi roda yang Nara duduki.

"Aku semakin baik, mungkin besok aku pulang," jawab Nara ceria.

Ares mengangguk. "Syukurlah."

"Oh ya, Daniel gimana?" tanya Nara. Sesaat gadis itu merasakan keanehan ketika Ares dan Theo tak juga kunjung menjawab. Dua cowok itu malah saling pandang dan akhirnya sama-sama menghela napas pelan. 

"Kenapa?" Jujur saja, perasaan Nara mendadak tak enak. Sekelebat mimpi saat ia koma memenuhi isi kepalanya. Nara menggeleng pelan, mencoba menyangkal.

Ares tak bicara, tapi cowok itu malah mengulurkan sebuah amplop cokelat yang membuat Nara mengernyit tapi segera menerimanya.

"Ini dari Daniel? Maksudnya apa?" Nara mencoba berpikir baik, meski otaknya terus mendorongnya untuk berpikir kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

"Ada baiknya lo baca isinya," saran Ares.

Nara menatap dua cowok itu bergantian dengan pandangan curiga. Hatinya mengatakan jika isi surat itu pertanda tidak baik. Namun, rasa penasarannya menyeruak hingga membuat tangannya membuka amplop itu dengan sedikit tergesa. 

Nara mengernyit mendapatkan dua buah kertas, yang salah satunya terlihat lusuh dan terasa ada bekas minyak di beberapa bagian sisi. Karena menarik perhatian, Nara memilih membuka isi kertas itu lebih dulu. Terlihatlah tulisan yang jauh dari kata rapi, abjadnya pun sedikit sulit untuk dibaca, dan tidak lupa beberapa coretan untuk menutupi kesalahan tulisan karena tidak terstipo. Atau mungin memang tidak punya? Entahlah.

Nara mulai memandang isi surat itu sejenak, sebelum arah matanya melirik ke atas tepat pada bait pertama isi dari surat. Dengan jantung berdegup, Nara mulai membacanya.

Nara.

Gue mau ucapin makasih sebanyak-banyaknya sama lo buat waktu yang udah lo kasih ke gue selama kita pacaran. Meskipun baru sebentar, tapi disitu gue belajar banyak. Terutama belajar tentang gimana ikhlasin sesuatu yang Tuhan ambil dari gue. Gue cukup bahagia bisa deket sama lo. Bukan karena gue bisa bersikap seenaknya sama lo, tapi karena gue yang merasa terlanjur nyaman di deket lo.

Gue bukan cowok romantis yang punya segudang kata-kata manis buat lo. Bahkan, ngomong gini aja gue butuh oret-oretan dulu. Gengsi? Ya, itu gue. Tapi kali ini gue bakal buang jauh-jauh rasa itu. Karena gue beneran mau sama lo, gue nggak mau menyesal untuk yang kedua kalinya.

Gue mau kita serius untuk hari ini dan seterusnya. Gue mau nembak lo lagi, dengan perasaan dan dalam keadaan sadar, bukan dendam seperti dulu. Atau kalau lo mau, gue bisa nembak depan nyokap lo. 

Lo tahu gue pernah suka sama seseorang. Gue cukup terpukul sama semua itu, dan lo saksi gimana gue dendam atas kepergian dia. Bahkan lo yang nggak tahu apa-apa ikutan jadi korban keegoisan dan dendam gue. Tapi setelah hari ini, lo harus tahu satu hal lagi, Nara.

Gue bisa lebih gila kalau lo yang pergi dari kehidupan gue. Gue sampai nggak mau bayangin hal itu terjadi, karena bayangin aja udah cukup bikin gue sakit.

Kalau lo benci sama gue atas perlakuan gue selama ini, lo bisa pergi dari gue. Bakal gue terima, asal lo nggak sampai pergi dari dunia ini. Karena gue nggak akan bisa lagi nemuin cewek yang senyumnya semanis dan setulus lo di dunia ini, Nara. Gue akan simpan senyum itu baik-baik. Dan saat rindu, maaf, gue bakal nemuin lo tanpa kita saling ketemu.

Untuk Arabella.
I love you.

Daniel A. Sagara

Nara menutup surat itu dengan pelan ketika ia tidak bisa menahan hatinya yang membuncah senang. Daniel mencintainya? Tapi ke mana dia? Kenapa yang datang hanya surat?

"Sekarang, Daniel di mana?" tanya Nara tak bisa menyembunyikan air mata bahagianya.

Ares dan Theo saling pandang, mereka tidak tega sebenarnya merubah kebahagiaan Nara menjadi kesedihan dalam beberapa menit ke depan. Namun, mereka memilih kewajiban untuk menyampaikan ini.


"Nara, isi surat yang kamu baca itu sebenarnya pengen Daniel ungkapin secara lisan. Itu cuma coretan, yang bakal Daniel hafalin, nantinya." Ares menghela napasnya pelan. Mengingat lagi Daniel yang kala itu menulis surat ini sembari makan memang menyisakan rindu dalam hatinya.

Nara tertawa kecil. "Terus kenapa dikasih ke aku kalau mau dihafalin?"

"Itu karena Daniel nggak ada." Theo akhirnya membuka suara. Hal itu membuatnya mendapat lirikan tajam dari Ares. Namun, Theo mengabaikannya. Menurutnya, semakin lama ini ditahan. Semakin membuat Nara bahagia, dan itu malah akan lebih membuat Nara terluka.

Senyuman Nara pudar, ia menatap Theo dengan pandangan bertanya.

"Maksud kamu?"

Theo menghela napasnya panjang. "Nara, gue bukan bermaksud bikin lo jatuh setelah baca isi surat itu. Tapi, alasan surat itu sampai ke lo adalah karena Daniel nggak bisa ungkapin isinya sendiri. Daniel nggak ada!"

"Daniel di mana? Jangan-jangan ini surat bukan dari Daniel?"

Belum sempat Theo kembali menjawab, Ares sudah lebih dulu menahannya.

"Gue saksi kalau surat itu ditulis sendiri sama Daniel. Gue nemuin surat itu di markas, karena gue punya kewajiban nyampein kabar ini, jadi sekalian gue kasih surat itu ke lo," jelas Ares dengan tenang. Pandangannya mengarah ke bawah, mencoba menyembunyikan lukanya dari Nara.

Senyum dan tawa yang sejak tadi menghiasi perlahan pergi. Tangis bahagianya juga perlahan ikut berganti dengan kesedihan.

"K-kabar, apa?" tanya Nara dengan suara bergetar.

"Daniel dibawa ke Milan. Bahkan dalam keadaan belum sadar," jawab Ares dengan suara bergetar.

"Kamu bohong, Ares!" sentak Nara tak setuju.

Ares menggeleng.

"Tante Rita yang minta kita kasih tahu soal ini ke lo. Dua hari setelah kecelakaan, saat itu lo masih koma. Daniel dibawa pergi." Theo angkat bicara saat merasa Ares tak bisa lagi membuka suara.

Nara semakin menangis histeris, kebahagiaannya tentang perasaan Daniel hanya sesaat. Ia jadi teringat mimpinya saat koma, apa itu sebenarnya sudah pertanda dari Tuhan? Sesakit ini ternyata.

Ia mendapat pelukan hangat dari Trisha yang datang menghampirinya. Di susul elusan pelan dari Safira yang ikut menyesal.

"Sudah, Sayang." Trisha berbisik mencoba menenangkan.

"T-tapi kenapa?" tanya Nara lirih.

Ares menarik napasnya dalam-dalam. Lalu membuangnya lewat mulut. Ia memandang Nara yang sudah menyembunyikan wajahnya di bahu Trisha.

"Om Tama pengen pengobatan yang lebih baik buat Daniel. Karena kondisi dia cukup parah," ujar Ares yang meringis sakit saat mendengar isakan Nara yang kian menjadi.

"Selain itu, juga mengobati sekaligus mencari suasana baru untuk Dania yang mengalami trauma," lanjut Ares.

Tangannya bergerak menggenggam tangan dingin Nara. Dengan perasaan campur aduk, ia mencoba menyampaikan pesan untuk kekasih sahabatnya ini.

"Kita nggak tahu kapan Daniel kembali, atau bahkan kemungkinan terburuknya dia nggak akan kembali." Ares memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam sebelum kembali melanjutkan ucapannya.

"Tapi, satu hal yang harus lo yakini. Daniel cinta sama lo. Dan percaya sama gue, Daniel bukan orang yang semudah itu lepasin apa yang dia suka. Lo harus percaya suatu saat dia pasti kembali buat lo."

Benarkah? Tapi Nara tetap tak bisa setenang itu. Kembali? Kapan? Nara inginnya saat ini.

Jika seperti ini, Nara tak butuh kata manis, Nara tak butuh kejujuran perasaan Daniel kalau pada akhirnya cowok itu meninggalkannya. Lebih baik menerima perlakuan seenaknya dan tak tahu perasaan Daniel, tapi cowok itu tetap di sini. Di sampingnya, bersamanya.

Bersama tapi tersiksa, atau sendiri tapi terluka?

Daniel itu luka sekaligus obat. Dan maaf, Nara lebih memilih bersama tapi tersiksa. Karena setidaknya, ia memiliki penawar dalam lukanya.

TBC or END?



Halo guys, gimana kabarnya?

Finally, aku balik lagi setelah berminggu-minggu, xixi.

Fyi, aku lagi bingung bikin bab ini. Dan syukur bisa selesai.

Btw, ini 2000+ kata. Boleh tolong apresiasi dengan vote dan komen, ngga?

Aku ga nyangka bisa sampe di penghujung bab ini. Makasii buat kalian yang support selama ini.

Eh, tapi ini belum ending. Masih ada lagi, kok, xixi







Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 299K 43
Nichols Vernandez, namanya banyak dikenal dan kalian jangan menyebut namanya atau kesialan akan menimpa. Satu kesalahan yang Vanya lakukan adalah me...
1.8M 195K 52
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
2.6M 151K 50
"Sequel My Possesive Boyfriend" Bukannya berkurang sifat Possesivenya Reza tapi malah bertambah, membuat Dara harus ekstra sabar menghadapi itu. Apal...
320K 22.8K 25
" nggak ada yang namanya abang adek untuk orang yang nggak punya ikatan darah. Suatu saat, salah satunya pasti akan punya rasa yang lebih. Ujung-ujun...