Heartbeat

By ameiranou

146K 6.5K 218

"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang m... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Epilog

Chapter 45

1.5K 64 4
By ameiranou

HAI HALO:)

GIMANA KABARNYA?
MASIH NUNGGUIN?

BTW, AKU NULIS DI LAPTOP, GAADA KOREKSI OTOMATIS, JADI KALAU TYPO TANDAIN YA:)

SELAMAT BACA

***

Daniel memasuki kelasnya yang masih cukup sepi. Mungkin, kalau tidak karena Nara yang biasa berangkat pagi, Daniel tidak akan pernah mau terbebani seperti ini. Sebelum duduk, ia mengeryit mendapati sebuah surat dalam amplop putih yang sudah cukup usang. Ia mengedarkan pandangannya. Hanya ada sekitar lima orang yang sudah datang--dan salah satunya adalah Belinda. Perempuan yang Daniel curigai telah meletakkan surat ini di mejanya.

Daniel mengambil surat itu dengan kasar, lalu duduk di kursinya dengan dua kaki berselonjor di atas meja. Ia membalikan surat lusuh itu, seketika ekspresinya tak bisa ditebak dengan deru napas yang mulai tak teratur.

Untuk Daniel, lelaki paling egois yang aku kenal.

Apa kabar? Masih inget aku, Sabrina?

Daniel meneguk ludahnya kasar. Ia melirik seisi kelas yang sibuk pada kegiatan masing-masing. Beruntung letak bangku Daniel berada di belakang kelas yang pasti perubahan raut wajah Daniel tak menjadi perhatian seluruh penghuni kelas. Daniel kembali menatap kertas lusuh yang beberapa bagian telah menguning bahkan ujungnya menjamur.

Kalau kamu pegang dan baca surat ini, itu berarti kita udah nggak ketemu. Bener, kan?

Dada Daniel mulai sesak, seolah ada dua bongkah batu besar yang menghimpitnya.

Daniel ...

Maaf, aku belum pernah ada buat kamu disaat kamu selalu ada buat aku. 

Ingin aku punya banyak waktu, bersama kamu, membalas semua kebaikan kamu, dan kembali menikmati malam sambil menikmati es krim stroberi seperti biasanya. 

Waktu itu, aku yakin bakal bisa menikmati itu semua sampai nanti kita menemukan pelabuhan hati masing-masing. Tapi kenyataanya, aku sendiri pesimis untuk bayangin hal itu. Aku nyerah sama hidup aku, Niel.

Semua masalah juga datang bertubi-tubi seolah mukul aku buat mundur. Aku punya kamu, harusnya aku inget itu. Tapi, apa pantas aku selalu butuh kamu disaat aku sendiri nggak bisa balas perasaan kamu?

Daniel tak banyak bicara, kedua tangannya yang berada di kiri-kanan sisi kertas menggenggam erat. Ia memang sering mengungkapkan perasaanya pada Sabrina, tapi Sabrina selalu menanggapinya dengan bercanda. Namun, itu bukan alasan yang benar sampai Sabrina harus tutup mulut untuk semua masalahnya. Daniel tetap akan selalu ada meski bahagia Sabrina bukan dirinya, melainkan rivalnya--Altair. 

Maaf, kalau ini menyakiti kamu. Aku memang bodoh, seperti yang sering kamu bilang. Tapi, aku mencintai Altair lebih dari apapun. Bahkan disaat kondisi memaksanya meminta aku pergi, aku tetap selalu ada buat dia. Aku yang nggak mau pergi dari dia. Sahabat kamu yang bodoh, Niel. Bukan dia. 

Jadi, jangan pernah salahkan dia atas kepergianku nanti. Andai kamu tahu, selain kamu, aku juga sama sekali nggak ngasih kabar Altair tentang kondisi dan masalah aku. Dia itu lelaki paling tangguh yang selalu tenang menghadapi masalahnya. Kamu tentu tahu itu. Makanya, aku nggak mau nambah beban dia lagi dengan kondisi aku.

"Lo suka karena dia tangguh sama masalahnya. Tapi lo nggak manfaatin itu buat berbagi kelu kesah. Gue heran kenapa gue bisa punya sahabat dan cinta sama orang bodoh kayak lo, Sabrina!" gumam Daniel dengan geraman kesal. Namun, setitik air mata sudah membasahi pelupuk mata. Daniel bergegas menghapusnya sebelum siapapun memergokinya.

Daniel ...

Aku tahu mungkin kamu nggak bakal kabulin permintaan aku. Tapi, aku bakal tetep ungkapin. Aku berharap kamu mau penuhi ini.

Tolong jaga Altair. 

Dia pernah cerita, dia tangguh bukan karena dia kuat. Tapi karena dia nggak punya seseorang buat dia jadikan teman cerita, dan teman berkeluh kesah. Aku harap, kamu bisa jadi itu buat dia, Niel. Disaat aku nggak bisa lagi temanin dia.

Maaf, kalau sampai detik ini aku masih merepotkan kamu. 

Maaf juga sampai detik ini aku belum bisa balas perasaan kamu.

Tapi, asal kamu tahu. Aku menyayangi kamu lebih dari apapun, Daniel.

Semoga surat ini nggak pernah sampai ke kamu. Yang mana artinya kita masih bisa menikmati es krim stroberi sama-sama.

Tapi kalau sampai, aku hanya ingin kamu ingat itu semua. 

Dan, selamat tinggal Daniel. Aku harap kamu menemukan seseorang yang lebih baik dan lebih bisa menghargai perasaan kamu dari pada aku.

Sabrina.

Dada Daniel bertambah sesak dari sebelumnya, air matanya tak lagi bisa dibendung. Ia meremas surat itu sebagai pelampiasan rasa sesak itu. Daniel bangkit, melangkah panjang ke arah meja Belinda yang diam membaca buku. 

Daniel menggebrak meja itu membuat seluruh atensi kelas tertuju padanya dan Belinda. Belinda mendongak, menatap Daniel dengan pandangan yang sulit diartikan.

"BILANG KALAU INI BUKAN DARI SABRINA, SIALAN!"

Semuanya langsung saling pandang, pun dengan yang tak sengaja lewat di depan kelas mereka. Nama itu, mustahil mereka tak mengenalnya. Seorang gadis yang begitu dekat dengan sosok Daniel, Namun, anehnya Sabrina malah berpacaran dengan Altair. Pandangan mereka kembali fokus pada Daniel ketika cowok itu kembali berteriak.

"JAWAB!"

Belinda menghela napas panjang. "Lo udah baca, kan? Kenapa harus gue jelasin lagi?!"

BRAKK

Untuk kedua kalinya, Daniel kembali menggebrak meja. Matanya sudah memerah, napasnya begitu memburu. Urat tangannya menonjol menggambarkan betapa emosinya ia saat ini.

"Jujur ke gue, kalau itu semua tulisan busuk lo biar gue baik sama cupu. Brengsek gue nggak bakal bisa lo bohongin!" ucap Daniel dengan nada yang lebih pelan namun sangat syarat akan intimidasi. 

Belinda meneguk ludahnya. "Apa lo nggak sedeket itu sampe nggak hafal sama tulisan pujaan hati lo sendiri, Daniel? Apa ini yang sering lo bilang kalau lo tau segalanya tentang Sabrina? Lo halu?!" ucap Belinda keras, napasnya naik-turun mendengar Daniel menuduhnya seperti itu.

"Gue yang temuin surat itu di kamarnya seminggu setelah dia pergi. Gue mau kasih itu ke lo, tapi lo keburu benci Altair dan jauhin kita berdua. Lo kira gue nggak usaha? Gue usaha biar surat itu sampai ke tangan lo. Gue udah muak liat lo selalu mojokin Altair, merundung Alatir seolah dia pihak yang paling salah. Apa lo nggak kasihan sama dia? Dia yang merasa bersalah semakin menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa nggak berguna padahal kenyataanya Sabrina emang menutupi masalah ini dari Altair serapi mungkin. Lo bisa mikir, kan?" ucap Belinda panjang terlanjur emosi. Ia menarik napasnya begitu panjang, lalu menatap Daniel sinis.

"Selain karena perintah Sabrina, lo juga kasian sama cowok yang lo suka itu, kan?"

"Apa salah?" tanya balik Belinda.

"Jelas salah. Lo suka Altair saat dia berstatus sebagai pacar Sabrina, sahabat lo sendiri."

"Lo lupa kalau lo juga suka Sabrina, padahal Sabrina udah punya pacar."

Daniel menggeram, bersiap melemparkan gumpalan kertas itu kalau saja sebuah suara tak menghentikan aksinya. 

"Ini ada apa?" tanya Altair yang sudah berdiri di antara keduanya.

Daniel menaikan sebelah alisnya, melirik Belinda yang menatap Altair sekilas sebelum kembali menatap tajam Daniel.

"Pasangan yang cocok," ucap Daniel dengan remeh. Ia melemparkan kertas itu pada Altair yang ditangkap baik. "Setangguh apa lo sampai semua perempuan jatuh hati sama lo, hah?" tanya Daniel dengan gumamam yang tidak begitu bisa di dengar oleh Altair. 

Bahkan Nara juga suka sama lo, ucap Daniel dalam hati. Ia tertawa kecil memikirkan hal itu.

Ia melangkah pergi, hatinya begitu kalut untuk menghadapi masalah ini lebih jauh. Mungkin, ini yang tidak bisa ia miliki dari Altair--cowok tangguh yang selalu tenang menghadapi masalah. Pantas, Sabrina tidak bisa mencintainya bahkan sampai gadis itu mati. 

Daniel terkekeh menertawakan hidupnya.

Apa Tuhan begitu muak dengan sikapnya sampai semua perempuan yang dekat dengannya malah berbalik menyukai lelaki lainnya?

Daniel hanya berjalan tanpa tahu tujuan. Ingin mencari ketiga temannya, tapi Daniel takut mereka bakal lebih memperparah sakit kepalanya. 

Nara? Gadis itu bahkan seperti manekin hidup yang hanya diam sejak kemarin siang. Meski mereka makan dan berangkat bersama, Nara tidak banyak bertanya dan berbicara. Bahkan dengan keluarga yang lain, cewek itu hanya memilih merespon dengan senyuman sesekali jawaban singkat. Ah, Daniel sudah mengira efeknya akan sampai begitu. 

"Daniel?"

Daniel menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan. Ia mendengus, berniat kembali melangkah, tapi orang itu memintanya diam.

"Tunggu, Niel!" Yap, dia adalah Altair yang datang sambil membawa surat lusuh berjamur yang sudah kusut karena ulah Daniel tadi.

"Apa?" tanya Daniel ketika Altair menyodorkan surat itu padanya. Keningnya berkerut. "Lo mau gue tanggu jawab karena udah rusakin surat dari cewek lo itu? Sorry, gue nggak punya waktu."

Daniel berniat pergi lagi, tapi Alatir menahan lengannya. Daniel langsung menatap Altair tajam dan menepis tangan Altair kasar. "Gue bukan homo!"

Ada kedutan di ujung bibir Altair yang tak bisa ditahan sehingga cowok itu tersenyum tipis. Namun, tak berselang lama, raut wajah Altair berubah sendu sambil menatap surat itu. 

"Gue tahu, lo benci sama gue karena lo ngira gue pengecut yang nggak pernah ada buat dia. Tanpa lo tahu kalau gue selalu berusaha sebisa mungkin buat selalu ada. Kenyataanya, Sabrina lebih pinter buat menutupi lukanya. Sampai gue nggak sadar kalau di terluka," ucap Altair dengan pandangan kosong ke arah lantai.

Daniel menghela napas. Sudah dibilang ia tak ingin berlarut-larut dengan masalah ini. Selain malas, ia juga tak memiliki sandaran untuk menyembuhkan hati.

"Ya udah," jawab Daniel terdengar ambigu. Ya sudah, apa maksudnya?

"Sorry," ucap Altair.

"Hm, sorry." Daniel terlihat kaku. "Oh, gue ada satu permintaan." Baru juga baikan, Daniel sudah mengeluarkan permintaanya.

"Apa?" tanya Altair.

"Gue tahu masalah lo sama Nara," ucap Daniel. Wajah Altair berubah sedikit tak enak. "Tapi lo harus tahu, kalau Nara itu manusia biasa yang nggak bisa menghakimi masa lalu seseorang. Dia juga nggak tahu kalau masa lalu itu berkaitan sama lo."

Daniel mengeryitkan keningnya ketika melihat sosok kekasihnya itu berdiri sedikit jauh darinya. Cewek itu terlihat bingung, Daniel tersenyum tipis. 

Ia jadi teringat dengan kejadian kemarin, lantas ia kembali menatap Altair.

"Apapun yang lo ketahui tentang Nara nantinya. Jangan pernah benci ataupun nyalahin dia. Kalaupun dulu Nara tahu, mungkin dia juga bakal kecewa." Daniel tersenyum tipis, sebelum menepuk bahu Altair beberapa kali dan berjalan pergi. 

Altair mengikuti arah pergi Daniel dengan bingung.   

TBC

Janlup vote dan komen❤️

Continue Reading

You'll Also Like

8.1K 1.1K 55
Jeon Sang-il, berusaha mencari pekerjaan namun pekerjaan selalu menjauh darinya. Mungkin karena namanya yang terlalu asing di negara ia tinggal. San...
1.7M 123K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
583K 28.9K 63
#66 in TeenFiction 30 July 2017 [ PRIVATE-- JADI FOLLOW DULU SEBELUM BACA] "Yuk Rey, lo bawa motornya jangan ngebut ya. Gue tau gue itu suka balapan...
225K 6K 50
⚠️ 21+ CERITA AKAN DI PRIVATE SECARA ACAK JIKA INGIN BACA PART LENGKAP DI HARAPKAN FOLLOW DULU. JANGAN DATANG UNTUK PLAGIAT! Queenzella atau kerap...