Daniel memandang jengah dua sejoli yang dengan tanpa berperasaan nya tengah mempertontonkan adegan romantis di tengah-tengah pengunjung kantin yang menatap mereka iri.
Theo dan Ares yang duduk mengapit Daniel hanya bisa saling lirik dengan bibir bawah maju. Sejujurnya mereka ingin mengusir. Ah tidak, lebih tepatnya menendang Erick yang seenaknya umbar kemesraan di depan mereka.
"Anjing, anjing. Please, lah. Gue manusia bukan manekin," celetuk Theo. Bukannya tersindir, Erick malah tertawa dan semakin menjadi.
"Lo mau pesen jus stroberi, lagi?" tanya Erick lembut pada Dania yang menunduk seraya menikmati baksonya dengan tidak nyaman. Bagaimana mau nyaman kalau Daniel saja mendelik tajam ke arahnya.
Ini semua salah Erick. Dania yang baru saja masuk kantin malah ditarik untuk satu meja dengan cowok itu. Kalau hanya berdua, Dania sih, oke-oke saja. Masalahnya di sini ada kakaknya dan teman-temannya yang lain.
Uhuk-uhuk
Dania tiba-tiba tersedak. Erick dengan sigap membukakan botol air mineral lalu segera ia berikan pada Dania.
Dania meminum dengan tenang, sesekali melirik ke arah Daniel yang berdecih sinis.
"Kalau niat pacaran, modal sana. Cari meja lagi. Jangan ngerusuh di sini," ucap Daniel dengan tangan yang sudah terlipat di dada. Theo dan Ares serempak mengangguk.
"Ck, ga senyaman di sini. Lagian masa mata lo sepet ngeliat adik lo sen--akhhh," jerit Erick saat Dania tiba-tiba mencubit paha kirinya. Erick menatap tajam Dania. "Apa sih, sayang. Sakit loh."
"Bangsat mau muntah gue denger lo ngomong alay kayak gitu. Mana pake sayang-sayangan." Ares mencibir dengan muka jijik.
Dania, kan, semakin malu.
"Aku izin permisi aja."
"Dania, udah. Nggak usah peduliin kaum jomblo kayak mereka, oke?"
"Sembarang, gue punya ya anjing!" sentak Daniel tak terima.
Ares dan Theo menghela napas panjang.
"Kok kita ga punya ya, Res? Apa itu artinya kita yang harus bersama?" tanya Theo ngelantur yang langsung mendapatkan tempelengan dari Ares.
"Gila lo? Gue masih mau bikinin cucu buat nyokap gue ya, plis!" jawab Ares bergidik ngeri.
Hal itu mengundang tawa Dania dan Erick. Sedangkan Daniel yang duduk di tengah mereka hanya melirik dan berdecak malas.
"Katanya mau pergi, sana pergi." Kalau saja ada nominasi kakak paling tidak punya hati. Dania yakin kalau Daniel akan menempati posisi pertama. Atau bahkan keluar sebagai pemenangnya.
Dania yang benar-benar kesal sudah hampir bangkit, tapi Erick mencegahnya. Ia melirik Daniel. "Yang bermasalah kan lo, kenapa harus cewek gue yang pergi?"
Daniel mendelik.
"Cewek lo adik gue ya, babi!"
"Niel, mending lo cari Nara terus bawa ke sini. Lo dari tadi kudu cari musuh mulu. Lupa nggak di kasih jatah, ya?"
"Maksud lo?!" sentak Daniel langsung membuat Theo kicep dan memojok. Takut diamuk.
"Ma-maksud gue jatah makan, Niel. Akhir-akhir ini, Nara, kan, suka ngasih bekal." Theo menjawab dengan ketakutan.
Daniel menghela napas panjang. Ia melirik ke arah pintu masuk kantin. Ia mengeryit saat hanya mendapati Safira sendirian. Ia bergegas bangkit mendekati gadis itu.
"Eh, Daniel?" ucap Safira kaget.
"Mana Nara?" tanya Daniel seraya celingukan.
Safira menghela napas.
"Dia ngga ikut. Katanya sih, kurang enak badan."
"Sakit?"
Safira mengendikkan bahunya.
"Gue cek nggak kenapa-napa, kok. Tapi dari pagi anaknya diem aja, kayak nggak semangat gitu," jelas Safira.
"Sekarang Nara di mana?"
"Masih di kelas, kok. Di cuma nitip air."
Setelah mengantongi informasi dari Safira. Daniel berjalan menuju salah satu penjual. Mengambil asal air mineral di atas etalase, lalu mengacungkannya.
"Catet, gue ambil satu." Ia kembali menghampiri Safira yang terbengong. "Nggak usah lo beliin, udah gue bawain."
Daniel melangkah pergi. Niatnya sih ingin segera bertemu Nara. Memastikan kondisi cewek itu baik-baik saja. Percayalah, jika sejak kemarin Daniel selalu terbayang Nara. Ia khawatir, apalagi ia belum bertemu sama sekali.
Dan apapun yang kamu harapkan, segalanya belum tentu berjalan mulus. Seperti sekarang, saat ia tengah gelisah memikirkan Nara, kenapa duri selalu muncul tiba-tiba? Mengharuskan langkahnya terhenti begitu saja.
Daniel memandang malas cewek di depannya. Marisa.
Ia menukikkan sebelah alisnya, pertanda bertanya apa.
Seolah paham kode Daniel, Marisa lantas tersenyum. "Kak Daniel malam ini, free?"
"Nggak tau. Tapi kalau banyak job panggilan, ya gue sibuk," jawab Daniel asal, ia terkekeh sendiri. "Emangnya kenapa? Minat lo?"
Marisa menggeleng.
"Nggak! Aku cuma mau ngundang Kak Daniel buat makan malam bareng."
"Kencan maksud lo?" tebak Daniel tepat sasaran.
"Y-ya ... gitu. Aku udah booking restoran mewah di sini. Aku udah jamin makannya pasti enak. Aku yakin Kak Daniel pasti suka."
Daniel tersenyum sinis.
"Sorry, tapi malam ini gue ada tugas."
"Tugas?" tanya Marisa. Ia sedikit kecewa saat Daniel menolaknya. Tapi, tugas apa yang menjadi alasan Daniel? Bukannya orang seperti Daniel tidak pernah mengerjakan tugas?
"Iya tugas," ucap Daniel meyakinkan.
"Tugas nyenengin calon istri gue, maksudnya," lanjut Daniel berbisik lalu pergi.
Marisa menggeram, ia berbalik menatap punggung Daniel dengan tatapan sakit hati.
"Nara, ya? Tunggu aja!" ucap Marisa seraya tersenyum miring.
Di lain tempat, tepatnya di ambang pintu kelas. Daniel menggeram dengan rahang mengetat. Pemandangan di hadapannya sungguh menyepatkan mata. Dengan langkab lebar, Daniel berjalan mendekat. Seluruh penghuni kelas sudah ketar-ketir melihat kedatangan Daniel dengan wajah merah. Berbeda dengan dua orang yang terlihat berbincang--mereka belum sadar kalau bencana akan segera datang.
"Anjing!" sentak Daniel menarik kerah baju Nevan lantas meninjunya dan membuang ke lantai.
Nevan tampak mengerjap, ia masih belum sadar. Hingga beberapa detik kemudian, ia mendongak menatap Daniel dengan tatapan bingung.
"Maksud lo apa, Niel?"
"Maksud, lo bilang? Ngapain lo deketin pacar gue, hah?" tanya Daniel dengan nada kesal. Ia melirik Nara yang terduduk lemas, satu tangannya menyangga kening, kedua matanya terpejam.
"Lo apain pacar gue?!" tanya Daniel tajam pada Nevan yang mulai berdiri.
"Gue cuma nemenin," jawab Nevan jujur.
Tapi, Daniel tidak akan percaya begitu saja. Ia menarik satu sisi almamater Nevan membuat Nevan berdiri di hadapannya.
"Lo pikir gue percaya?"
"Daniel, udah. Nevan beneran cuma nemenin aku." Nara akhirnya membuka suara. Ia berdiri menyentuh tangan Daniel meminta lelaki itu untuk melepaskannya.
Daniel menoleh ke arah Nara, lalu kembali menatap Nevan dengan tajam. Dengan kasar ia menghempaskan tubuh Nevan hingga terhuyung. Ia sepenuhnya menghadap Nara, memegang kedua bahu gadis itu dengan tatapan khawatir.
"Lo nggak papa?"
Nara menggeleng pelan seraya melepas kedua tangan Daniel dari bahunya. Daniel mendesah lega, ia meletakkan air mineral di atas meja Nara membuat Nara refleks melirik. "Katanya pengen air?"
Kegiatan keduanya tak lepas dari tatapan Nevan yang hanya bisa menatap nanar, ia menunduk, lantas berbalik untuk duduk di bangkunya.
"Jangan buat masalah di sini," pinta Nara lalu duduk. Daniel yang berdiri di depannya menunduk, menangkap kedua pipi Nara.
"Ikut gue!"
"Ke mana?"
"Lo lemes gini, yakin masih mau ikut pelajaran?" Belum sempat Nara menolak, Daniel sudah lebih dulu menarik tangan kirinya untuk mengikuti langkah cowok itu.
Nara hanya bisa pasrah, bahkan saat Daniel mendudukkannya di kursi taman belakang. Tempat biasa Daniel membolos.
Daniel mendudukkan dirinya persisi di samping Nara. Cukup membuat cewek itu memandang bingung.
"Kamu ... kenapa?"
"Gue yang harusnya tanya lo 'kenapa'. Gue ... khawatir." Daniel menghembuskan napas panjang. Lain halnya dengan Nara yang mengerutkan keningnya. Daniel yang paham kembali membuka suara. "Bu Trisha udah cerita semuanya tentang kejadian kemarin."
Nara praktis menunduk, Daniel menarik dagu Nara agar gadis itu menatapnya. Dan ya, Daniel bisa melihat mata merah dengan air yang menggenang di pelupuk mata. Siap akan terjun ke pipi mulusnya.
"Lo nggak harus sesedih ini, Nara." Daniel menangkup kedua pipi Nara, menatap lekat gadis yang mulai terisak itu.
"Dia, pasti benci sama aku, kan?" tanya Nara yang tidak bisa dijawab oleh Daniel. Jujur, kalau saja tidak dalam kondisi seperti ini, sudah pasti Daniel mengamuk. Ini saja Daniel sudah menahan geram karena melihat Nara menangis karena Altair.
"Terus mau lo gimana? Jauhin Bu Trisha biar cupu nggak benci lagi sama lo, gitu?" saran Daniel asal. Sesedih-sedihnya kondisi, Daniel tetaplah manusia yang tidak bisa menahan diri untuk sabar. Mau diusahakan sebagaimana, pasti ada satu sisi kesalnya yang terlihat.
Nara menggeleng menjawab saran Daniel. "Aku udah denger cerita dari Bu Trisha. Papa Altair dan beliau memang punya masa lalu, tapi sedikitpun Bu Trisha tidak ada niatan untuk merebutnya. Bu Trisha mencintai suaminya yang telah meninggal dan menunggu putrinya yang hilang."
Daniel menajamkan matanya sejenak, ia jadi menerka bagaimana ekspresi Nara nantinya kalau ia tahu bahwa dialah yang ditunggu kedatangannya oleh Trisha.
"Lo mau denger cerita?"
Nara mengeryit, jarang-jarang Daniel menawarkan diri untuk bercerita. Tanpa pikir panjang Nara mengangguk. "Tentang apa?"
"Tentang Sabrina," jawab Daniel. Nara sempat terdiam, sebelum setelahnya menatap Daniel dengan kedua alis tertaut.
"Dia gadis beasiswa, sama kayak lo. Dia bela-belain dari luar kota buat sekolah di Cakrawala. Yang katanya sih, sekolah bergengsi." Daniel terkekeh. Tatapan kedua matanya menerawang jauh. Nara mendengar helaan napas panjang, tapi urung untuk menyela.
"Dia sahabat gue satu-satunya waktu awal masuk. Bahkan sebelum gue ketemu tiga cecunguk itu." Reflek Nara memukul tangan Daniel. Cowok itu menoleh, meringis saat mendapati tatapan tak suka Nara. Oke lah, Daniel akan mengalah. Demi memperbaiki suasana hati gadis itu.
"Kamu suka sama dia?" Tatapan Daniel yang semula menghadap taman di depan langsung teralihkan oleh pertanyaan Nara. Ia tidak mempersiapkan jawaban yang pasti untuk soal ini. "Berarti kamu suka, ya?" simpul Nara memastikan.
"Mungkin," jawab Daniel lirih. "Nggak mungkin kalau gue nggak jatuh cinta sama gadis sesempurna Sabrina. Meski akhirnya gue mengalah karena Sabrina milih Altair."
Entahlah, ada nyeri di ulu hati Nara saat Daniel mengatakan itu.
"Tapi itu dulu," lanjut Daniel lirih yang sayangnya tidak didengar oleh Nara.
"Dia meninggal, kenapa?" Nara memilih mengalihkan pembicaraan ini. Ia tak mau terus kepikiran dengan jawaban Daniel barusan.
"Karena hubungannya sama Altair mulai nggak jelas," jawab Daniel. Nara bisa melihat kilatan marah di kedua mata tajam itu. "Altair minta Sabrina buat stay, tapi sikap dan teror dari Mama Altair yang seolah nyuruh Sabrina pergi bikin Sabrina stress. Kesehatannya makin nggak keurus. Dan bodohnya dia nggak cerita apa-apa sama gue," lanjut Daniel lantas mendesis.
Dari sini Nara menangkap satu fakta, tentang kenapa Daniel bisa sebenci itu pada Altair. Ia melirik tangan Daniel yang terkepal. Entah dorongan dari mana, Nara mendekatkan tangannya untuk mengenggam tangan kekar itu.
"Gue benci sama dia, Nara. Dia penyebab orang yang gue cintai mati!" Walau hatinya bergemuruh, Nara tak goyah untuk menenangkan cowok itu. "Bahkan saat ceweknya sakit dia juga nggak tau. Dia datang, tapi terlambat. Dia pengecut!"
Daniel mengatur napasnya yang tiba-tiba memburu. Ia memejamkan matanya. Dan hal yang tak terduga setelahnya adalah ia yang mendekapn Nara dalam pelukannya. Nara bisa merasakan kerapuhan Daniel, dengan sebisanya ia menangkan cowok itu dengan cara menepuk bahunya pelan-pelan.
"Nara?" panggil Daniel serak.
Nara mengeryit, tapi tak membuatnya diam "Ya?"
Dan hal yang terjadi selanjutnya adalah Daniel memundurkan wajahnya, menatap Nara dalam sebelum setelahnya sebuah benda kenyal menyentuh lembut bibir Nara.
"Jangan sedih, ada gue!" bisik Daniel.
TBC
DAHLAH
VOTE DAN KOMEN AJA😽
BYE