Heartbeat

By ameiranou

146K 6.5K 218

"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang m... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Epilog

Chapter 28

1.5K 91 2
By ameiranou

Klik bintang dulu yuk, sebelum lanjut.

***

Ruang kelas itu seharusnya sudah sepi sejak lima belas menit yang lalu. Namun, untuk saat ini, dua lelaki tampan yang terkenal seantero Cakrawala itu masih duduk diam tanpa ada satupun dari mereka yang berniat membuka topik pembicaraan.

Altair yang duduk tenang di bangkunya, dan Daniel, yang duduk di depan Altair dengan posisi menyamping menghadap jendela luar. Altair memaklumi itu, Daniel mungkin terlalu muak untuk berbicara muka antar muka. Ini, masih lebih baik daripada Daniel memunggunginya.

"Waktu gue terbuang percuma buat nunggu orang paling bodoh yang ngebisu kayak lo, Altair." Daniel menoleh, melirik sinis tepat ke arah Altair yang hanya diam saja sejak kedatangan Daniel di depannya. Jangan berharap lebih, Daniel terpaksa menyetujui ajakan Altair untuk memberi waktu bicara seperti ini. Selebihnya, Daniel hanya ingin tahu sampai mana Altair membela dirinya, dan akhir dari pembicaraan ini, Daniel akan kembali menghina kebodohan Altair.

Jujur, Altair juga bingung ingin memulai dari mana pembicaraan ini. Ia melakukan ini semua hanya demi Nara. Altair tidak ingin terus-terusan melihat Nara terjebak dalam permainan Daniel sebagai bentuk pelampiasan Daniel karena kisah masa lalu.

"Gue nggak pernah suka sama Nara." Pernyataan pertama itu berhasil membuat raut wajah Daniel sedikit tidak normal. Terlihat terkejut, namun cowok itu dengan pintar menyembunyikan ekspresinya.

"Yakin?"

"Terserah lo mau percaya apa, nggak?!"

"Gue nggak buta, Altair Rajendra. Gue tau lo ada maksud. Lo inget? Kejadian di depan toilet sebelum gue ceburin Nara? Lo jadi pahlawan kesiangan!" jelas Daniel tajam mengingatkan kejadian yang menurut Daniel bisa jadi bukti untuk menyangkal pernyataan Altair barusan.

Tidak pernah suka? Cih, Daniel tak percaya.

"Oh, dan jangan lupa. Lo masih juga deketin Nara setelah gue peringatin lo?! Lo suka, kan?" tuduh Daniel yang mengira sudah berhasil menyudutkan Altair, tampak dari raut wajah Altair yang langsung kaget. Namun, raut wajah itu hanya berselang beberapa detik, karena setelahnya Altair mendengus dan tersenyum sinis.

"Gue malah yakin kalau lo yang sebenernya suka sama Nara. Lo larang dia deket sama gue, karena lo nggak mau kejadian Sabrina yang malah suka sama gue terulang---"

"Diam lo, sialan!" sentak Daniel menggebrak meja Altair. Nafas Daniel memburu. Nama itu lagi. Gampang sekali Altair menyebut nama itu. "Lo cuma buang waktu gue, bangsat!"

Daniel berdiri, menatap sengit ke arah Altair yang memasang wajah tenang. Niat untuk menghina Altair lenyap, ia seperti malah tersudut di sini. Sebelum ia melangkah pergi, ucapan Altair berhasil menahan langkah kakinya.

"Gue bener-bener nggak punya rasa sama Nara. Nggak cuma Nara, bahkan sama perempuan lain aja gue ragu, Niel." Altair berucap lirih. Daniel membalikkan tubuhnya, melihat Altair yang menatap kosong meja dengan kedua tangan yang bersedekap di depan dada. "Gue rasa ... kepergian Sabrina udah cukup jadi pelajaran buat gue."

Altair menatap Daniel, namun Daniel langsung melengos enggan menatap Altair.

"Kalau lo terpukul atas perginya Sabrina, gue jauh lebih terpukul, Niel. Dia cewek gue. Gue merasa bersalah karena nggak pernah ada buat dia. Lo juga benci sama gue."

"Itu emang pantas lo dapetin!" sarkas Daniel. Matanya menatap tajam mata sayu Altair yang memancarkan kesedihan. Persetan dengan tatapan itu, ingatan itu hanya membuat Daniel membenci Altair.

"Lo!" Daniel menunjuk Altair dengan jari telunjuknya. "Cowok bego! Kalau lo emang nggak bisa ada buat dia, kenapa nggak lo lepas, aja, sialan?!"

Daniel terkekeh sinis.
"Dia juga bodoh, karena dia masih aja cinta sama cowok egois kayak lo."

Altair tak menjawab, merespon dengan mimik muka pun, tidak ia lakukan. Biar saja Daniel menganggapnya seperti itu.

"Lepasin Nara, Niel!"

"Atas dasar apa lo ngomong gitu?"

"Gue nggak mau dia sama kayak Sabrina."

"Oh, sorry. Gue bukan lo," jawab Daniel terkekeh. "Tapi gue kepikiran jadiin Nara kayak Sabrina."

"Niel, lo jangan macem-macem!"

"Why? Lo suka sama dia?"

"Daripada itu, gue lebih yakin kalau lo bakalan jadi orang yang paling kehilangan," ucap Altair membuat Daniel langsung diam, seringaian cowok itu perlahan memudar. Digantikan oleh tatapan datar yang tidak bisa Altair baca.

"Sebelum lo lakuin itu, ada baiknya lo pikir apa yang bakal terjadi nantinya. Sampai sini harusnya lo paham, Nara nggak ada artinya buat gue." Altair bangkit, berdiri tepat di depan Daniel yang menatapnya datar. "Percuma lo jadiin alat bales dendam. Fakta aslinya, lo tertarik sama dia!"

"BRENGSEK!" teriak Daniel kesetanan. Ia bangkit, namun ia hanya mendapatkan senyum remeh dari Altair sebelum setelah itu, Altair memilih berlalu keluar kelas. Meninggalkan sosok Daniel yang mulai menendangi meja kursi tanpa bisa dicegah.

Daniel melirik ke arah ambang pintu, di sana ada Belinda yang menatap kosong lantai marmer. Daniel berjalan mendekat, lalu mencengkeram dagu Belinda membuat cewek itu mendongak.

"Apa? Lo mau laporin gue, iya?" Daniel menatap sengit Belinda yang kali ini raut wajahnya sayu. Gadis itu seperti baru saja mendapat kesedihan. Lagian, tidak seperti biasanya Belinda diam saja.

"Lo seneng? Altair nggak suka sama Nara, iya?" Daniel sedikit mendekatkan wajahnya dengan mata tajam. Tiba-tiba ia terkekeh lalu menghempaskan Belinda. "Bahkan cowok yang lo suka hatinya udah mati."

"Lepasin Nara, Niel." Belinda berujar lirih, seraya menunduk. Ia tidak pergi, ia mendengar semuanya. Pun, dengan penjelasan Altair mengenai perasaan cowok itu selama ini. Ia kira, cintanya bertepuk sebelah tangan. Tidak, nyatanya lelaki yang ia cintai hatinya sudah mati. Bagi Belinda, itu lebih menyakitkan.

"Kenapa? Karena ternyata Nara bukan saingan lo buat dapetin Altair, iya?" Belinda menggeleng pelan menyangkal ucapan Daniel. Bukan, ia benar-benar kasian kalau Nara hanya dijadikan alat balas dendam.

"Nara nggak ada hubungannya. Altair nggak ada rasa sama dia. Lo cuma buang-buang waktu, Niel," jelas Belinda. Daniel terdiam untuk beberapa detik setelahnya. Namun, cowok itu langsung tersenyum sinis.

"Terus, kenapa? Mau buang-buang waktu, itu urusan gue," jawab Daniel kemudian berlalu melewati Belinda yang tanpa bisa dicegah, matanya berair.

Belinda bertumpu pada meja. Dia memang sempat berpikir Altair menyukai Nara, tapi nyatanya perasaan cowok itu ikut terkubur bersama kekasihnya yang telah tiada.

"Kenapa mencintainya sesakit ini? Apa lo emang ga bolehin gue buat miliki dia?" ucap Belinda sembari terisak pelan.

Sabrina---sahabat baiknya, sungguh beruntung dicintai dua lelaki tampan yang berpengaruh di Cakrawala. Sayangnya, cinta memang tidak bisa dipaksa. Sabrina tidak bisa menyukai keduanya sekaligus. Hingga ia menjatuhkan hatinya pada Altair, lelaki tenang itu berhasil menarik perhatiannya.

Sabrina tidak pernah tahu, jika ternyata pilihannya membuat dua orang itu saling bermusuhan, pun usai kematiannya. Daniel lebih mendominasi permusuhan itu. Menyalahkan kebodohan Altair sebagai alasan meninggalnya Sabrina.

***

Daniel memandang foto kiriman Theo itu dengan decakan yang cukup nyaring di ruangan sepi ini. Daniel menghembuskan nafasnya, bersamaan dengan kepulan asap rokok yang keluar dari mulut serta hidungnya. Ia tersenyum miring melihat foto yang dikirimkan Theo, tak lama kemudian sebuah pesan singkat menyusul.

Theo:

Erick ga elit bngt sumpah ngajak kencannya.

Ya, foto yang Theo kirimkan adalah foto Erick bersama dengan Dania---adiknya. Keduanya terlihat terlibat percakapan seru ditemani dua gelas minuman di hadapan masing-masing. Daniel mendesah, bisa-bisanya ia kecolongan, tidak mengetahui kalau Dania keluar bersama Erick malam ini. Salahnya juga sepulang sekolah bukannya pulang malah memilih merenung ke tempat latihan musik.

Theo:

Masa ngajak kencan adek lo
di kafe langganan kita?
Bukan salah gue sama Ares kalau ngegap awokwok:v


Pantau terosss
Kalau Erick macem-macem
sama adek gue, pukul aja

Theo:

Oh, ya siap!

Daniel meletakkan ponselnya di meja sofa, lalu ia merebahkan tubuhnya seraya memandang langit-langit ruangan itu dengan pikiran kosong. Hisapan terakhir dari niktoin itu ia isap begitu kuat hingga ia merasakan kenikmatan paling dalam tersendiri. Setelah menyisakan beberapa senti, Daniel mematikan puntung rokoknya lalu membuangnya di asbak.

Dalam kekosongan dan keheningan ruangan itu, pikiran Daniel hanya tertuju pada satu nama; Sabrina. Ingatannya melayang pada salah satu kenangan di mana gadis itu menceritakan keluh kesahnya.

Daniel menghampiri gadis manis yang melamun, terduduk memeluk lututnya di trotoar taman. Ia tersenyum tipis, menempelkan satu kresek sedang berisi banyak es krim stroberi favorit mereka berdua.

"Dingin, Daniel!" gerutu Sabrina seraya mengusap pipinya dan memandang Daniel kesal, Daniel hanya tertawa lalu ikut mengambil duduk di samping gadis itu. Ia menyerahkan kresek itu usai dirinya mengambil satu bagian es krim. "Makasih," ucapnya.

"Lo kenapa? Ada masalah?" tanya Daniel sembari menikmati es krim stroberi dalam genggamannya. Sabrina menatap Daniel yang terlihat lucu, lantas tersenyum.

"Keliatan banget ada masalah, ya?" tanya Sabrina ikut membuka satu bungkus es krim.

"Kita deket dari awal masuk Cakrawala. Sangking deketnya gue udah paham maksud lo kalau ngajak ketemuan kayak gini. Dan yang bisa gue lakuin ya bawa es krim stroberi sekarung." Sabrina yang awalnya tampak murung mulai tertawa, tak lupa memukul lengan Daniel gemas. "Gini, kan, cantik kalau ketawa," ujar Daniel seraya membenarkan anak rambut Sabrina.

"Hm, kita deket, ya, Niel. Sangking deketnya dikira kembar sepasang," celetuk Sabrina masih dengan senyum manisnya. Namun, berbeda dengan Daniel yang langsung menghentikan gerakan tangannya. Dengan berat hati, cowok itu memaksakan senyum dan mengangguk.

"So, lo kenapa, Sabrina?" tanya Daniel dengan nada gemas. Sabrina hanya tersenyum seraya menggeleng pelan dan memilih menikmati es krim-nya. "Lo ada masalah sama, Altair?"

Sabrina menoleh cepat ke arah Daniel, gadis itu masih diam.

"Ck, gue pantau lo cuma bahagia pas awal-awal pacaran doang. Sekarang lo disakiti, iya? Brengsek! Lo mau gue kasih pukulan dia di bagian mana?" Daniel berbicara dengan nada menggebu-gebu, yang malah menjadi hiburan untuk Sabrina. "Ck, serius, lo malah ketawa."

"Nggak, Niel." Sabrina menjawab dengan masih meredakan tawanya. "Dia nggak pernah sakitin aku!"

"Ya terus?"

Mimik wajah Sabrina berubah sendu.
"Mamanya Altair nggak suka sama aku," ucap Sabrina pelan nyaris seperti sebuah bisikan. Detik selanjutnya cewek itu menggeleng. "Bukan. Mamanya Altair bukannya nggak suka sama aku. Tapi..."

"Tapi?"

"Beliau sakit, Niel," jawab Sabrina pelan.

"Sakit apa?"

"Sepengetahuan aku, mamanya Altair seperti punya ketakutan yang berlebihan tentang Altair. Kayak, seolah-olah Altair bakalan ninggalin." Sabrina menuntaskan satu stik es krim, lantas menghela nafasnya pelan. "Waktu pertama ketemu sama aku, Altair sempet ngenalin kalau aku pacarnya. Eh, Beliau malah nangis dan mohon-mohon ke aku buat jangan ambil Altair."

"Ya ... lo sabar aja. Orang sakit lo paksa langsung sembuh juga nggak bisa. Selagi Altair nggak sakitin lo, gue nggak bakal pukul dia." Daniel mengucapkannya santai seraya menggigit es krim terakhirnya. Sabrina tersenyum, tanpa aba-aba cewek itu memeluk Daniel membuat Daniel yang tidak siap langsung tersentak dan gugup secara bersamaan.

"Makasih, aku sayang banget sama kamu, Niel."

Daniel hanya diam, ini bukanlah kali pertama Sabrina mengucapkan 'sayang' tapi anehnya efeknya masih sama seperti kali pertama Sabrina mengatakan itu.

"Kalau lo sayang sama, gue. Kenapa lo tolak cinta gue?" Sabrina langsung melepaskan pelukan itu. Memberi ruang kosong pada rengkuhan Daniel. Ia menatap Daniel dalam sebelum setelahnya menghela nafas.

"Aku anggep kamu sahabat, kakak, saudara. Aku pikir, posisi itu malah lebih tinggi dari Altair, Niel."

"Tapi gue nggak ada hak kayak Altair. Gue bakalan kalah karena status Altair pacar lo." Sabrina menghela nafas berat, bangkit dari duduk menimbulkan kerutan di kening Daniel. "Mau ke mana?"

"Aku mau pulang."

Daniel tahu, pembahasan ini hanya akan merusak mood Sabrina. Tapi, sebagai lelaki ia juga ingin memiliki wanita yang dicintainya.

"Gue anter, gue nggak pernah bisa ninggalin lo." Daniel menahan lengan Sabrina. Menggiring langkah kecil gadis itu menuju motornya.

Daniel membuka mata, melirik jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ternyata mengingat hal itu membuatnya lanjut tertidur. Ia bangkit mengambil ponsel yang juga ikut andil membangunkannya. Benda itu terus berdering, beberapa kali mati, tapi kembali berbunyi.

Daniel mengeryit saat nama Dania tertera di layar. Kenapa gadis itu menelponnya? Bukannya ia sedang pergi bersama Erick? Atau jangan-jangan Erick berbuat macam-macam pada adiknya? Jika itu benar, jangan halangi Daniel untuk menghajar cowok itu habis-habisan.

"Kak Daniel ..."

Suara Dania bergetar, cukup membuat Daniel langsung menegakkan tubuhnya.

"Lo kenapa?" Cukup lama Dania menceritakan masalah itu. Hingga Daniel langsung beranjak mengambil jaket dan kunci motornya. "Tunggu, Kakak bakalan pulang."

Daniel berlari keluar, mengunci tempat latihan itu lalu segera mengendarai motornya untuk pulang. Entah apa yang akan ia lihat saat sampai di rumah. Hanya satu yang Daniel pinta, semoga keadaan ibunya baik-baik saja.

TBC

Hayolohhh, ada apaan tuh

Niatnya mau agak panjangan lagi. Tapi, takut nanti kalian malah bosen satu part ini😭

Okelahhhh, stay buat part selanjutnya ya.
Jangan panik, ini bukan ulangan dadakan kok🙃👍🏻

Continue Reading

You'll Also Like

472K 39.5K 58
[CERITA REMAJA] FOLLOW ME DONGS ^^ SEKUEL UDAH ON GOING YA JUDULNYA "I am Here" BISA DIBACA TERPISAH HAWI QYTAR, seorang cowok yang memiliki sejuta...
226K 6.1K 50
⚠️ 21+ CERITA AKAN DI PRIVATE SECARA ACAK JIKA INGIN BACA PART LENGKAP DI HARAPKAN FOLLOW DULU. JANGAN DATANG UNTUK PLAGIAT! Queenzella atau kerap...
1.1M 3K 1
Katara Zello Arlantarla, seorang pembully nomor 1 di STRITA harus mengklaim Hatisa Zelli Malidra-Si cewek matre menjadi kekasihnya demi membalaskan d...
258K 10.8K 77
Best rank #1 of teenfiction [29 Oct 2022] [15+] Cerita ini mengandung banyak kata-kata kasar, harap bijak untuk tidak ditiru! ** Gimana rasanya jatuh...