Better Than Almost Anything

By nyonyatua

43K 4.6K 257

Bagaimana kalau mimpi buruk yang selama ini kamu alami bukan hanya sekadar mimpi? Elliot, pemilik hotel terbe... More

Fortune Cookies
Macaron (1)
Macaron (2)
Dip Stick Chocolate
Pumpkin Muffins
Banana Chocolate (1)
Banana Chocolate (2)
Iced Chocolate (1)
Iced Chocolate (2)
Shortbread Cookies (1)
Shortbread Cookies (2)
GingerBread
Chocolate House
Ptichie Moloko
Death By Chocolate
Snickerdoodles
S'More Bark
Orange Dream (1)
Orange Dream (2)
Streusel
Marble Cheseecake (1)
Marble Cheesecake (2)
Pita Tree
Gummy Bears
Trail Mix
Berry Cute
KARACHI
Rainbow Cake (1)
Rainbow Cake (2)
Black Forest (1)
Black Forest (2)
Black Forest (3)
Chocolate Blitzen
Angel Food
Chocolate Brownie
Chipotle Cheese Steak
Tiramisu Truffles
Twist Potato (1)
Twist Potato (2)
Splatter Paint
Meatloaf Cake
Devil Cake (1)
Devil Cake (2)
Bittersweet Hot Chocolate (1)
BitterSweet Hot Chocolate (2)
Better Than Almost Anything (1)
Sparkling Strawberry (1)
Sparkling Strawberry (2)
Red Velvet
Better Than Anything
Better Than Almost Anything English Version
Better Than Almost Anything di Amazon

Better Than Almost Anything (2)

184 28 0
By nyonyatua


Angel menelan ludah. Menatap mata hijau Sophie, berharap menemukan kejujuran di sana. Mata itu tidak berpura-pura seperti biasa. Gadis itu meremas ujung gaun yang membalut pahanya. "Untuk apa Ibu bertanya hal seperti ini, biasanya juga enggak peduli."

Angel masih berusaha untuk mencari kejujuran atau motif apa yang kini tengah dijalankan Sophie. Sekian lama hidup dengan wanita yang mengaku sebagai ibu kandungnya itu, dia terlalu mengenalnya. Sophie tidak pernah peduli pada siapa pun selain dirinya sendiri.

"Apakah anak di dalam perutmu itu anak calon suamimu?" tanyanya lagi seolah tidak peduli dengan pertanyaan yang meluncur dari bibir Angel.

"Jawab dulu pertanyaanku!"

"Apakah seorang Ibu harus menjelaskan dulu kalau ingin bertanya pada anaknya?" Sophie mengangkat salah satu alisnya.

"Apa Ibu pernah bertanya sebelumnya? Bahkan saat aku mengalami masa terberatku, Ibu bahkan pura-pura tidak tahu." Angel mulai berargumen. Rasanya sebal sekali melihat sikap sok peduli wanita itu. Kalau peduli kenapa tidak sejak dulu? Kenapa baru sekarang? Dulu ke mana saja?

"Sekarang aku tanya, apa yang kau rasakan saat anak itu tumbuh di dalam rahimmu? Tidak nyaman? Tubuhmu tidak enak?"

"Jangan alihkan pembicaraan!"

"Aku tidak sedang mengalihkan pembicaraan, Angel. Jawab saja dan aku akan memberikanmu jawaban yang kamu inginkan." Mata Sophie menatap tajam gadis itu.

Angel menyentuh permukaan perutnya yang mengencang di balik gaun. Menelan ludah lalu mengangguk setuju. Selama hampir dua bulan bayi itu di dalam rahimnya, rasa tidak nyaman mulai terasa tidak enak. Mual dan muntah setiap pagi hingga menimbulkan kepahitan di dalam mulut. Nafsu makan yang terus menurun, lelah dan letih berkepanjangan. Punggungnya juga selalu pegal. Kakinya juga mulai membengkak dan dia sulit tidur setiap malam. Namun, dia memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak meladeni pertanyaan yang dilontarkan oleh Sophie.

"Aku juga merasakan itu saat mengandung dirimu dan bertaruh nyawa saat melahirkanmu ke dunia. Sekarang apakah Ibu tidak boleh bertanya pada seorang anak yang kulahirkan ke dunia dengan susah payah?"

"Aku tidak meminta untuk dilahirkan ke dunia sama seperti bayi ini. Kalau semua itu hanya untuk memaksaku menjawab pertanyaanmu, kurasa itu tidak adil." Angel masih belum bisa menerima pengakuan Sophie. Bibirnya masih tergelitik untuk meluncurkan kalimat-kalimat pedas.

"Oke, anggap aku tidak adil di sini. Aku yang menginginkanmu lahir ke dunia, Angel. Karena cintaku tumbuh semakin besar seiring kamu yang terus bergerak di dalam perutku. Kamu bukan kesalahan seperti perkiraanmu selama ini. Kamu ada karena cinta dan aku melahirkanmu juga karena cinta."

"Cinta?" tawanya mulai pecah. "Kamu mengucapkan kata cinta sekarang, tidak salah? Apa Ibu pernah mencintaiku?"

"Ya, mencintaimu," tukas Sophie tanpa keraguan.

"Aku yakin Ibu bahkan pernah berpikir untuk membuangku dulu," tudingnya sinis saat tawanya mereda.

"Pernah. Sama sepertimu. Tapi, aku memilihmu."

"Kalau semua yang Ibu katakan itu pernah, kenapa Ibu bahkan tidak pernah mengatakan siapa ayahku?"

"Karena dia sudah meninggal."

"Itu pasti bohong."

Meninggal? Yang benar saja? Ini rasanya konyol sekali mendengarnya setelah sekian lama. Kenapa tidak dari dulu mengatakannya kalau pria itu memang sudah meninggal? Toh, dia tidak akan bisa mencari tahu. Apalagi orang yang sudah tiada tidak akan pernah bicara.

"Tidak. Dia memang telah meninggal belum lama ini. Semua salah Ibu. Ibu berhubungan dengan pria yang telah menikah saat itu hingga memiliki dirimu." Sophie menunduk, matanya menatap kukunya yang tidak terpulas warna.

"Berselingkuh?"

"Ya." Sophie menyahut pelan.

Angel menelan ludah. Masih berusaha menelan kenyataan pahit yang baru saja didengarnya. Dia anak hasil perselingkuhan, pantas saja dia tidak pernah menyandang nama belakang ayahnya. Tidak mengherankan kalau hidupnya selama ini buruk. Angel meremas jemari hingga buku-buku jarinya memutih. Pikirannya campur aduk sekarang, antara tidak percaya dan tidak terima.

"Itukah alasan Ibu menghabiskan hidup dari bar ke bar dan mengabaikanku, karena aku anak pria yang Ibu benci." Angel ikut menunduk sekarang untuk menatap perutnya sendiri. Anak pria yang dia benci kini juga tumbuh di dalam rahimnya. Sekarang posisinya dan Sophie nyaris sama.

"Ibu tidak membencinya, Ibu mencintainya."

"Lalu kenapa Ibu memperlakukanku seperti ini?" Angel mendengkus. "Kenapa Ibu tidak peduli padaku?"

"Matamu, rambutmu, sama dengannya, Angel. Ibu tidak sanggup melihatmu. Mencintai tapi tak bisa memiliki itu menyakitkan." Sophie menarik napas pelan.

"Tapi, Ibu tidak perlu mengabaikanku, kan? Tidak harus bersikap dingin." Angel masih melancarkan protes sementara matanya tidak lepas dari sosok Sophie yang kini tiba-tiba saja tampak rapuh di matanya. Ketegaran dan kesinisan wanita itu seakan hilang begitu saja.

"Maafkan aku soal itu. Ibu bukan orang tua yang baik dan mungkin terdengar seperti alasan, tapi tidak ada orang yang ahli di bidang menjadi orang tua, Angel."

"Ibu memang bukan orang tua yang baik."

"Maaf. Tapi, aku melakukan agar kamu membenciku, Angel," sahut Sophie lirih.

"Untuk apa?"

"Agar malaikatku tidak melakukan kesalahan yang sama denganku. Jika kamu membenciku, maka kau akan memiliki motivasi untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Aku tahu kamu cukup angkuh dengan harga diri dan kesombongan yang kamu miliki, maka kupikir mendidikmu seperti itu akan jauh lebih efektif."

"Ya, Tuhan. Untuk apa?"

"Karena kamu malaikatku, putriku satu-satunya dan aku peduli padamu, Angel."

"Kalau begitu Ryan. Apa yang Ibu lakukan padanya?" Angel kembali mengungkit kala dia menemukan pacarnya tengah tidur bersama Sophie beberapa tahun silam. Perbuatan yang membuatnya sama sekali tidak pernah bisa mempercayai Sophie. Satu kesalahan yang membuatnya berpikir kalau siapa pun lelaki yang dekat dengannya pernah tidur dengan Sophie. Kecuali mungkin Elliot, pria itu berbeda. Ah, Elliot. Angel menggeleng, berusaha menghapus semua pikiran tentang pria itu lagi, entah berapa kali sepagian ini dia memikirkannya.

"Oh, Ryan. Ibu hanya ingin kamu menjauhi anak itu." Sophie kembali meraih cangkir di atas meja.

"Kenapa?"

"Anak itu pemakai, Angel. Pemakai obat terlarang, Ibu sering melihatnya di bar."

"Kamu melakukannya dengan menidurinya, haruskah sampai seperti itu?"

"Kenyataannya dia mau tidur dengan Ibu. Bukankah itu artinya dia tidak baik untukmu?" Sophie mengangkat bahu. Terlihat tanpa penyesalan, tanpa rasa bersalah.

"Haruskah Ibu melakukan itu? Bukankah Ibu tahu kalau aku akan semakin membencimu," tandasnya tajam.

"Entahlah. Hanya itu terpikirkan di otak Ibu kala itu." Sophie mengangkat bahu. "Agar kamu menjalani hidup yang lebih baik daripada Ibu. Menjadi lebih baik adalah balas dendam terbaik. Mungkin ini saatnya balas dendam bisa dibenarkan."

"Oh, Ibu. Kenapa Ibu tidak mengatakannya sejak dulu? Seharusnya kita saling membenci sekian lama."

"Ibu hanya ingin kamu belajar dari hidup. Mungkin dengan membenci apa yang Ibu lakukan maka kamu tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Tapi, ternyata Ibu salah."

"Sialnya, aku mengulang hal yang sama tanpa sengaja, ya kan?" sahut Angel sedih.

"Semacam itu."

Setelah Sophie diam, Angek juga memilih melakukan hal yang sama. Sejujurnya tidak percaya hal apa pun yang dikatakan Sophie. Terlalu muluk dan manis untuk dibilang sebagai sebuah kejujuran. Kata-kata Sophie lebih terdengar seperti alasan yang dibuat-buat. Namun, dia ingin sekali percaya. Ingin juga meyakinkan dirinya sendiri kalau dia dicintai dan diinginkan. Dirinya bukan anak yang pembawa sial yang dibuang. Kebohongan atau apa pun tidak masalah, asal dirinya dicintai.

"Ngomong-ngomong apakah anak itu milik calon suamimu atau milik pria yang melecehkanmu malam itu?" Sophie kembali menggulirkan topik setelah sekitar tiga menit terdiam.

Angel menarik kue di depannya. Mengirisnya perlahan dengan garpu. "Orang yang sama."

"Maksudmu?" Wanita itu mengerutkan kening, tampak kebingungan. "Bukankah kamu dilecehkan sampai hamil?"

"Apakah Ibu mau mendengarkan ceritaku?" Angel mendongak kali ini untuk menatap ibunya.

"Tentu saja." Sophie mengulum senyuman.

"Tanpa menghakimi."

"Aku akan coba," sahut Sophie, sepertinya mencoba meyakinkan Angel untuk bicara.

Angel menelan ludah, memilin jemari untuk mengatasi kegugupan. Pelan-pelan semua cerita bergulir dari bibirnya. Dia menceritakan semuanya tanpa tersisa satu hal pun untuk disembunyikan.

"Kalau begitu Elliot pria yang sama dengan lelaki yang melecehkanmu?"

"Ya, Ibu benar."

"Kalau begitu kamu tinggal menikah dengannya dan semua masalahnya selesai, bukan?"

"Tidak. Aku tidak bisa." Angel menggeleng lemah.

"Kenapa?"

"Semua kenyataan ini terlalu menyakitkan untukku. Korban menikah dengan pelaku itu mustahil. Bisa Ibu bayangkan kalau aku melihatnya maka aku akan ingat kejadian malam itu."

"Tapi, kamu mencintainya, kan."

"Aku tidak tahu. Satu hal yang pasti, bagiku cinta itu tidak bisa menghapus trauma. Elliot adalah pemerkosa, aku adalah korbannya dan pernikahan bukan solusi untuk masalah ini."

"Lalu bagaimana dengan anak itu?"

"Entahlah. Aku hanya belum bisa menerima dan aku tidak ingin mengulang hal sama dengan Ibu dengan membesarkan anak seorang diri." Angel menghela napas berat. "Aku tidak ingin dia sehancur diriku."

"Lalu kau berpikir lebih baik membunuhnya? Lebih baik dia tidak lahir?" Sophie memasukan satu potong kue ke dalam mulut.

"Aku pikir lebih baik begitu. Tuhan pasti lebih menyayangi anak itu daripada aku."

Sophie menarik napas berat. "Kamu memang tidak harus melakukan hal yang sama denganku. Tapi, kalau bisa jangan gugurkan dia, Angel"

"Kenapa?"

"Dia sama denganmu, Angel."

Angel merasa tersengat saat mendengar Sophie mengatakan kalau dia dan bayi itu sama. Bagaimana bisa?

"Dia sama sepertimu, ada karena cinta."

"Tidak. Dia buah pemerkosaan."

"Kalau begitu kamu buah perselingkuhan?" Sophie langsung menutup argumen. "Aku bisa bilang begitu, sadis pun aku bisa."

"Aku tahu," sahut Angel pasrah.

Dia menerima semua perkataan Sophie, lagi pula wanita itu benar. Pemerkosaan dan perselingkuhan juga sama hinanya. Tidak ada beda. Masalahnya adalah Sophie memilih untuk selingkuh dan sadar sepenuhnya saat hamil. Sedangkan dirinya tidak akan memilih untuk diperkosa atau hamil.

"Kamu dan bayi itu sama-sama ada karena cinta. Kamu mencintainya hingga membiarkannya tumbuh di rahimmu hampir dua bulan ini."

"Aku—"

"Jangan disangkal lagi!" potong Sophie cepat. "Percayalah kalau bayi itu membawakan cinta ke pangkuanmu pada akhirnya. Bayi itu adalah yang terbaik dari hampir semua hal di bumi, Angel. Dia bukti cinta bukan bukti ikatan yang selama ini disalahartikan. Sama seperti aku memilikimu, karena cinta bukan karena ikatan. Karena cinta akan menciptakan ikatan, sementara dua manusia yang terikat belum tentu saling mencintai."

"Mungkin," sahutnya tidak yakin. Dia tidak memiliki satu argumen pun untuk melawan.

"Itulah mengapa aku memesan kue ini,namanya cantik Better than almost anything. Karena aku ingin menyampaikan pesan kalau kamu sekarang tidak harus melepaskan semua hal saat ada yang lebih baik dalam pangkuanmu. Bayi itu." Sophie menggerakan alisnya lagi.

"Kenapa kamu tiba-tiba suka membicarakan kue ini?" Angel mengunyah satu sendok kue. Menikmati rasa kacang bercampur cokelat yang pecah di dalam mulut. Gurih bercampur manis yang menciptakan paduan rasa enak dan menyenangkan sekaligus. Sedikit campuran krim juga membuat rasa kue itu semakin enak.

"Kamu selalu suka filosofi dalam setiap kue bukan?"

"Tidak. Elliot yang menyukainya."

"Nah. Kamu tertular pengaruhnya berarti." Sophie tersenyum tipis.

"Mungkin."

"Kamu masih mencintainya, Angel. Aku bisa melihat itu di matamu."

"Mungkin." Angel kembali menjawab dengan malas, enggan untuk mengakui.

"Dia mungkin bukan yang terbaik, tapi dari ceritamu aku bisa menyimpulkan dia juga lebih baik dari siapa pun di dunia ini. Setidaknya terbaik untukmu." Sophie mengusap punggung tangan Angel dengan lembut.

"Dia memang baik," sahut Angel jujur.

"Jangan ulangi kesalahan Ibu dan jangan sampai kamu menyesal. Kuharap kamu bijak untuk memutuskan."

"Aku harap begitu," Angel terdiam.

Dia masih menatap potongan kue kacang yang berserakan di piring. Semoga saja semuanya berakhir baik sama seperti akhir dirinya dengan ibunya hari ini. Mungkin dia akan bertengkar dengan Sophie lagi nanti, tetapi setidaknya pertengkaran itu berhenti hari ini. Sophie mungkin tidak sepenuhnya jujur dan hanya berpura-pura baik, tetapi Angel tidak ingin marah lebih lama. Mungkin dia memang lemah kalau berurusan dengan ibunya karena dia memang menyayangi Sophie lebih dari apa pun.

"Well, apa kamu memaafkan, Ibu?"

"Tidak."

"Lalu, kenapa kamu mau mengobrol?"

"Aku hanya pura-pura saja."

"Kalau begitu kamu bisa pura-pura memaafkan Elliot. Kurasa itu bukan hal yang sulit."

Angel terdiam. Pura-pura memaafkan katanya. Tapi, apakah memaafkan orang itu mudah?

Matanya menatap mata hijau Sophie. Wanita itu tersenyum hingga kerut-kerut di dekat matanya muncul. Kerut yang sama seperti Elliot saat pria itu tersenyum. Mendadak dia ingin melihat wajah pria itu. Dia ingin menepis, tapi sungguh dia merindukan sosok pria itu. Merindukan senyuman dan gombalan manisnya. Semua hal di dalam pikiran buyar saat ponselnya bergetar.

"Sebentar," katanya sambil melepaskan tangan dari genggaman Sophie.

Angel membuka ponsel. Nama Martha mengambang di layar. Dia membaca pesan singkat yang dikirim wanita itu.

"Angel, Elliot menerima Kiandra untuk menjadi supplier dessert sampai enam bulan ke depan. Terima kasih, ya."

Angel menarik napas pelan setelah mengetikkan balasan singkat. Elliot memberi Kiandra hadiah yang tidak terduga. Sama seperti yang dikatakannya beberapa waktu lalu, pria itu mengatakan Kiandra berharga seperti salon milik Charles. Dia memang baik. Haruskah dia memaafkannya sekarang? Mungkinkah ini yang terbaik untuk segala hal, seperti nama kue ini?

Continue Reading

You'll Also Like

3M 7.8K 4
Jadi selingkuhan pura-pura sang mantan? Apa kata semesta? Semua berawal dari ulah Galven yang menyeret mantannya untuk jadi selingkuhanya agar benco...
6M 704K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...