Better Than Almost Anything

By nyonyatua

43K 4.6K 257

Bagaimana kalau mimpi buruk yang selama ini kamu alami bukan hanya sekadar mimpi? Elliot, pemilik hotel terbe... More

Fortune Cookies
Macaron (1)
Macaron (2)
Dip Stick Chocolate
Pumpkin Muffins
Banana Chocolate (1)
Banana Chocolate (2)
Iced Chocolate (1)
Iced Chocolate (2)
Shortbread Cookies (1)
Shortbread Cookies (2)
GingerBread
Chocolate House
Ptichie Moloko
Death By Chocolate
Snickerdoodles
S'More Bark
Orange Dream (1)
Orange Dream (2)
Streusel
Marble Cheseecake (1)
Marble Cheesecake (2)
Pita Tree
Gummy Bears
Trail Mix
Berry Cute
KARACHI
Rainbow Cake (1)
Rainbow Cake (2)
Black Forest (1)
Black Forest (2)
Chocolate Blitzen
Angel Food
Chocolate Brownie
Chipotle Cheese Steak
Tiramisu Truffles
Twist Potato (1)
Twist Potato (2)
Splatter Paint
Meatloaf Cake
Devil Cake (1)
Devil Cake (2)
Bittersweet Hot Chocolate (1)
BitterSweet Hot Chocolate (2)
Better Than Almost Anything (1)
Better Than Almost Anything (2)
Sparkling Strawberry (1)
Sparkling Strawberry (2)
Red Velvet
Better Than Anything
Better Than Almost Anything English Version
Better Than Almost Anything di Amazon

Black Forest (3)

141 32 0
By nyonyatua


Pria itu kini menatapnya dengan mata birunya yang cemerlang. Tanpa keraguan. Meski dia tahu, di dalam mata biru itu tersimpan banyak sekali kabut keraguan dan kebingungan yang selama ini hanya disimpan pria itu sendiri. Air mata kembali meluruh turun. Angel tidak tahu kenapa dirinya secengeng ini.

"Jangan menangis lagi, Angel." Elliot menangkup pipi Angel lalu mengusap bekas air mata di pipi gadis itu. "Matamu indah jika tidak dibingkai dengan air mata."

Elliot bilang kalau matanya cantik. Padahal warna bola matanya adalah salah satu hal yang dibenci Angel dalam dirinya. Warna mata yang diwariskan oleh ayahnya, pria yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Pria yang membuatnya membenci lelaki di dunia ini. Namun, ketika Elliot mengatakan hal itu rasanya hatinya menghangat dan air matanya kembali menggenang.

"Terima kasih, El."

"Untuk?"

"Karena kamu suka warna mataku." Angel mengusap hidungnya dengan punggung tangan kirinya yang bebas.

"Kenapa?"

Angel menghela napas berat. "Selama ini aku sungguh tak menyukai warna bola mata ini."

"Warna matamu cantik, Angel. Secantik namamu dan secantik dirimu." Elliot kini mengusap pipi Angel dengan tangannya. Pria itu juga menenun senyuman di bibirnya hingga Angel ikut tersenyum juga.

"Soal tawaranmu—"

"Kamu enggak perlu jawab sekarang, Angel."

"Bagaimana kalau aku mau, El?"

"Kamu serius?" Kelopak mata Elliot lang melebar.

Angel menatap mata biru yang tidak menunjukkan sedikit pun keraguan. Dia lalu menelan ludah, berusaha menahan hatinya yang membuncah. Jemarinya gemetar karena kata-kata Elliot itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Sungguh dia tidak ingin tertampar realita jika terlalu cepat mengiyakan. Namun, dia juga ingin percaya kalau tawaran ini memang nyata untuknya.

"Ya." Angel menarik napas pelan.

"Wah, aku tidak berpikir akan diterima. Terima kasih, Angel." Mata biru pria itu berbinar, bibirnya mengulum senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya.

"Meski kurasa semua ini tidak adil untukmu, El. Kamu akan menanggung semuanya. Aku tidak cukup baik untukmu, aku ini buruk," katanya mencoba menjelaskan situasi.

"Itu malah bagus."

"Apanya yang bagus?"

"Setidaknya kamu enggak bilang kalau aku terlalu baik untukmu."

"Itu sama saja artinya."

Elliot menggeleng. "Kalau kamu bilang jika aku terlalu baik untukmu, maka normalnya itu hanya kalimat halus untuk melepaskan hubungan. Kata-kata sopan santun yang menenangkan. Karena pada dasarnya jika kita merelakan hubungan itu berakhir itu artinya kita menginginkan yang lebih baik daripada pasangan kita. Benar begitu, kan?"

"Iya sih, tapi kamu memutar kata-kata terus!" sindirnya.

"Kalau begitu aku akan bilang langsung sama kamu." Elliot tersenyum lagi.

Angel menelan ludah. Manik cokelatnya tidak berkedip menatap wajah pria yang kini berjongkok di hadapannya sejak sepuluh menit lalu. Terlalu takut berharap dan menerka hal yang akan diucapkan bibir merah muda itu.

"Will you marry me, Angel?"

"El—"

"Tidak harus sekarang. Kamu bisa memikirkannya selama apa pun yang kamu inginkan."

"Kamu ingin menikahiku agar aku tidak melakukan aborsi. Kalau aku membunuh bayi ini maka kamu akan menarik lamaranmu, bukan?" Angel menaikkan alis. Senyuman tipis tersembul di bibirnya.

Elliot menggeleng. "Dasar licik, kamu menguji setelah menerima tawaranku!"

"Apa jawabanmu?"

"Tentu saja jawabannya tidak," sahut Elliot mantap, kata-katanya terdengar tanpa keraguan.

"Saat ini aku tidak butuh rayuan."

"Kalau begitu bisakah kau mulai mempercayai orang lain dan beri aku waktu menjelaskan."

"Baiklah." Angel mendengkus pelan. "Jangan pakai metafora, jelaskan dengan singkat agar aku mengerti."

"Kalau itu maumu." Elliot menarik napas berat seolah ingin melepaskan beban pikiran yang menggelayut di dalam benaknya. "Pertama, aku tidak akan mengatakan aku mencintaimu, Angel. Kata cinta terlalu klise dan tidak mewakili perasaanku. Aku menginginkanmu, mengharapkanmu menjadi milikku, aku seposesif itu untuk mendapatkanmu."

Angel tidak menjawab dan diam-diam mencerna hal yang baru saja diucapkan Elliot. Inikah rasanya diinginkan oleh seseorang? Selama ini dirinya selalu merasa bahwa kehadirannya tidak pernah diharapkan. Sama seperti ayahnya yang tidak pernah menginginkan kehadirannya dan Sophie. Memang setiap pria tidak sama. Elliot bukan ayahnya, tapi dapatkah dia mempercayai kata-kata pria yang kini mengucapkan kata-kata manis itu?

"Lalu?"

"Kedua, aku tidak pernah mempermasalahkan masa lalumu, termasuk kehamilanmu saat ini. Itu bukan salahmu. Lagi pula, kamu tidak bisa menendang sel sperma tidak tahu diri itu dari rahimmu sebelum dia berulah di dalam sana. Dan itu bukan alasanku meminangmu. Kalaupun, kamu memutuskan untuk membuang bayi itu, keputusanmu tidak akan mengurangi keinginanku memilikimu." Elliot mengenggam erat tangan Angel.

Angel menelan napasnya yang tercekat. Bibirnya gemetar, dia benar-benar tidak tahu harus mengucapkan apa untuk merespon semua kata-kata yang diucapkan Elliot. Dia melihat ketulusan di sana. Jauh di dalam mata dengan warna yang menggambarkan birunya langit.

"Tapi, aku akan lebih senang kalau kamu mengizinkan bayi itu memanggilku Ayah saat dia lahir nanti. Bukan berarti aku tidak mengerti kesulitan yang akan kamu alami sembilan bulan ke depan hingga tahun-tahun berikutnya." Elliot berhenti bicara ketika menarik napas.
"Sejujurnya pria memang tidak mengerti dan tidak tahu harus melakukan apa saat wanita yang dicintainya mengalami fase itu. Cuma, aku akan berusaha memberikan yang terbaik untukmu."

"Anak ini bukan anakmu, El," potong Angel cepat.

"Ayah biologisnya memang bukan aku, tapi bukan berarti aku tidak bisa menjadi ayahnya. Lagi pula, anak itu adalah anak wanita yang kuinginkan, wajar kalau aku menginginkannya. Aku ingin memiliki semua yang ada di dalam dirimu, Angel. Tubuhmu, hatimu bahkan suatu hal yang kamu bilang noda itu agar aku bisa mencintaimu seutuhnya, termasuk mencintai kekuranganmu."

"El, aku—"

Angel tidak melanjutkan kata-katanya. Air mata berjatuhan di pipi. Cairan itu mengalir turun dan menggurat pipinya yang memanas. Kepalanya menunduk sementara tetesan air jatuh di punggung tangan Elliot.

"Biarkan aku membantumu mewujudkan mimpimu, Angel."

Jemari panjang Elliot menyeka dan mengusap air mata itu. Setelahnya, Elliot menangkup rahang Angel. Baru beberapa detik setelahnya, Elliot menempelkan bibirnya pada bibir Angel yang terlipat menahan isak tangis. Satu ciuman singkat karena Elliot menarik kepalanya menjauh beberapa menit setelahnya.

"Soal pernikahan tidak harus dijawab sekarang, pikirkan jawabannya nanti, Angel."

Angel mengangguk. "Aku tahu."

"Aku berharap jawaban itu, iya."

"Kamu akan menikahiku meski perutku sudah buncit nanti?" tanya Angel lagi.

"Itu sudah pasti, Angel."

"Aku akan memikirkannya, El."

"Tentu, tidak usah terburu-buru."

Suara denting lonceng di pintu membuat Elliot buru-buru berdiri. Angel berdeham pelan sebelum berdiri dan menggeser kursinya. Elliot juga membantunya memasang apron setelahnya mendorong kursi kembali ke tempat sambil berbisik agar dirinya berhati-hati.

"Sepertinya aku harus pergi, kamu juga harus kerja."

"Kurasa begitu," sahut Angel dengan suara pelan. "Hati-hati di jalan."

"Kamu juga, Angel." Elliot tersenyum lagi sebelum berbalik.

Pria itu berjalan ke kasir. Berbicara sebentar dengan Martha sebelum melangkah keluar. Mata Angel mengikuti pria bermantel hitam yang kini tengah membuka pintu mobilnya. Bibirnya membentuk senyuman tipis. Jemarinya menyentuh dada. Jantungnya kini tengah berlari kencang seolah ingin melompat keluar menembus tulang rusuknya. Kata-kata pria itu membuatnya merasa hangat. Membuatnya merasa berharga. Mungkinkah dia telah jatuh cinta?

Continue Reading

You'll Also Like

Garis Luka By Rani

Teen Fiction

10.7M 1.1M 48
{Sudah tersedia di toko buku seluruh Indonesia} "Lo suka sama gue kan?" Zeta mengangguk cepat dengan matanya yang berbinar. "Mau jadi pacar gue kan...
56M 3M 85
Mika, seorang gadis pembuat onar, sementara Angkasa adalah ketua OSIS yang paling disukai di sekolah mereka. Tidak ada yang menduga kalau dua orang b...
19.1M 1.8M 51
Sudah terbit, buku bisa dibeli di shopee. INGAT BELI YANG ORI!! [Follow akun ini dulu, bro. Anda senang, aku juga. Simbiosis mutualisme] Tuhan, mana...