Better Than Almost Anything

Galing kay nyonyatua

43K 4.6K 257

Bagaimana kalau mimpi buruk yang selama ini kamu alami bukan hanya sekadar mimpi? Elliot, pemilik hotel terbe... Higit pa

Fortune Cookies
Macaron (1)
Macaron (2)
Dip Stick Chocolate
Pumpkin Muffins
Banana Chocolate (1)
Banana Chocolate (2)
Iced Chocolate (1)
Iced Chocolate (2)
Shortbread Cookies (1)
GingerBread
Chocolate House
Ptichie Moloko
Death By Chocolate
Snickerdoodles
S'More Bark
Orange Dream (1)
Orange Dream (2)
Streusel
Marble Cheseecake (1)
Marble Cheesecake (2)
Pita Tree
Gummy Bears
Trail Mix
Berry Cute
KARACHI
Rainbow Cake (1)
Rainbow Cake (2)
Black Forest (1)
Black Forest (2)
Black Forest (3)
Chocolate Blitzen
Angel Food
Chocolate Brownie
Chipotle Cheese Steak
Tiramisu Truffles
Twist Potato (1)
Twist Potato (2)
Splatter Paint
Meatloaf Cake
Devil Cake (1)
Devil Cake (2)
Bittersweet Hot Chocolate (1)
BitterSweet Hot Chocolate (2)
Better Than Almost Anything (1)
Better Than Almost Anything (2)
Sparkling Strawberry (1)
Sparkling Strawberry (2)
Red Velvet
Better Than Anything
Better Than Almost Anything English Version
Better Than Almost Anything di Amazon

Shortbread Cookies (2)

274 46 0
Galing kay nyonyatua


"Angel?" sapa Elliot tanpa bisa menutupi kekagetannya.

Bertemu gadis ini di kuburan sama sekali bukan jenis pertemuan yang diperkirakannya. Namun, seperti biasa gadis itu tidak menjawab hanya mengangguk saja. Meski merasa aneh karena gadis itu tiba-tiba saja datang ke tempat ini, Elliot memilih untuk diam saja.

Sejak pertemuan di hotel kemarin, baru kali ini mereka bertatap muka. Semua kata-kata yang diucapkan waktu itu seolah tidak mengubah apa pun. Ekspresi Angel masih sama, dingin. Namun, Elliot tidak bisa menyembunyikan senyumannya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Elliot karena gadis itu tidak mengatakan apa pun.

"Anda tentu tahu apa yang akan orang lakukan di tempat ini?"

Elliot tersenyum. Membalas pertanyaan dengan pertanyaan, Angel punya bakat alami dalam hal berkelit. Gadis selalu tampak defensif, entah apa yang dilindungi olehnya. Elliot kini menyapukan pandangan di deretan nisan yang membisu. Ya, orang-orang datang ke tempat ini dengan hanya satu tujuan yang sama.

"Berziarah?"

Angel hanya mengangguk. Tidak ada senyuman yang menghiasi wajahnya.

"Ke makam siapa?" Elliot bertanya lagi.

"Kerabat," sahut Angel pendek, sepertinya tidak ingin memberikan informasi lebih jauh. "Anda sendiri?"

"Kalau aku tidak sedang berziarah." Elliot menimpali meski tahu gadis itu tidak akan menanggapi. "Aku mengunjungi rumah orang tua, seorang teman lalu mencari jalan untuk pulang sekarang."

Gadis itu berkedip sebentar. Ekspresi kebingungan tergurat jelas di wajahnya. Elliot tersenyum, ekspresi yang jarang diperlihatkan itu malah membuat Angel semakin menggemaskan.

"Maksudnya?" tanya Angel akhirnya.

"Rumah adalah di mana keluargamu berada, dan keluargaku ada di sini."

"Oh. Anda benar."

"Mungkin kamu sama denganku. Sama-sama tidak punya tempat untuk pulang." Pria itu kembali mengumbar senyuman.

"Aku punya," sanggah Angel cepat.

"Oh, kupikir kamu juga pulang ke makam sepertiku."

"Kita berbeda. Aku hidup di dunia nyata."

"Maksudmu? Kan kuburan ini nyata." Elliot berupaya tampak sangat bingung agar gadis itu mau menjelaskan.

Angel mendesah. "Aku hidup di dunia nyata, bukan di dunia dongeng seperti putri duyung yang seakan tidak memiliki tempat kembali hingga memilih menjadi buih ketimbang pulang ke lautan."

Elliot mengulum senyuman, benar-benar menahan diri untuk tidak mengatakan kalau Angel terlalu pendendam karena masih membahas topik pembicaraan mereka kemarin. Padahal dia sendiri tidak yakin jika obrolan itu bahkan sampai di telinga Angel. Tetapi, kalau melihat gadis itu bisa menyiapkan alasan balasan maka artinya Angel sempat memikirkannya. Fakta ini membuat Elliot senang.

"Kalau kamu memang punya tempat untuk pulang kenapa kamu kelihatan benci pada dunia?"

"Anda terlalu mudah menghakimi seseorang." Angel terlihat malas menanggapi pertanyaan yang terlontar dari bibir Elliot.

"Iya sih. Aku akui itu, Angel. Makanya aku pikir kita sama saja." Elliot masih melanjutkan kalimatnya. Biarlah kalau dianggap menyebalkan.

"Lalu Anda akan menyebut kalau semua ini adalah takdir?" Angel menangkupkan tangan di depan makam orang tua Elliot.

"Maksudmu pertemuan kita di sini? Sekarang?" Elliot mengangkat alis.

Angel hanya mengangguk. "Apalagi?"

"Bukankah memang takdir?"

Angel sekarang mengangkat sudut bibirya sedikit hingga membentuk seringai. "Itu hanya pikiran Anda sendiri yang merasa kalau ditakdirkan untuk bertemu seseorang di suatu tempat. Padahal, Anda sendiri tahu kalau semua ini hanya kebetulan."

"Bukankah terlalu banyak kebetulan yang terjadi bisa disebut takdir?"

"Tidak mungkin."

"Kenapa? Semua hal bisa terjadi, termasuk takdir." Pria itu tidak bisa menyembunyikan binar ketertarikan dalam suaranya.

"Takdir itu hanya manipulasi."

"Sebuah teori baru aku rasa." Elliot terkekeh pelan.

"Itu hanya rekayasa manusia untuk saling mengikat." Gadis itu mulai berbicara dengan nada dingin.

"Begitukah? Itu teori cinta?"

"Cinta atau perhatian bisa dimanipulasi."

"Kalau hati? Apakah itu bisa dimanipulasi?"

"Itu hanya rekayasa otak untuk melepaskan endorfin hingga kita bahagia saat bertemu orang tertentu," tukas Angel lagi.

Nada bicara Angel terdengar malas, tetapi terus saja menyanggah. Bagian ini agak aneh, hanya saja Elliot sama sekali tidak keberatan. Apalagi kalau bisa membuat gadis ini terus bicara dan menanggapinya maka Elliot akan melakukan apa pun.

"Aku tanya deh. Misalnya aku ingin tetap hidup meskipun aku tahu aku tidak bisa. Apakah hal itu termasuk rekayasa?"

"Mungkin. Lagi pula, dunia ini penuh ironi." Angel menarik napas berat.

"Jangan bilang kamu enggak bisa menjelaskan teorimu tadi makanya mengalihkan topik," tuduh Elliot cepat.

Elliot menyadari kalau Angel hanya berbicara seenaknya dan kadang tidak saling bersinambungan, tapi entah mengapa dia tetap senang menanggapi. Seperti sekarang dia sengaja menuduh gadis itu untuk memancing reaksinya. Angel benci dihakimi, maka dia hanya perlu melakukannya untuk membuat perhatian gadis itu tertuju padanya. Benar saja, kelopak mata Angel kini melebar. Bola mata cokelatnya menatap lekat-lekat.

"Banyak orang yang ingin mengakhiri hidup walaupun dia tahu hidupnya masih panjang," katanya akhirnya.

"Banyak juga orang yang ingin tetap bertahan hidup meskipun dia tahu hidupnya tidak akan lama. Kamu termasuk yang mana dari kedua tipe ini, Angel?" Tukas Elliot.

Angel memutar bola mata dan memiringkan kepalanya sedikit. "Entahlah."

"Satu hal yang pasti, aku enggak berharap kamu masuk salah satu dari dua kriteria itu, Angel."

Angel tidak menanggapi kata-kata yang baru saja diucapkan Elliot. Ekspresi wajahnya tetap saja datar. Sementara itu, Elliot kembali tertawa. Kali ini tawa renyah terlepas dari mulutnya. Angel mendengkus tapi bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman miring. Elliot berdeham pelan dan berusaha menghapus senyuman yang sempat timbul.

"Kita ganti topik. Kamu percaya keajaiban?" Elliot tersenyum simpul.

"Tidak."

"Aku lihat kamu juga penuh ironi."

Angel mengerdipkan matanya. Ekspresi kebingungan tergambar jelas di wajahnya. "Bukankah ganti topik?"

"Ini berkaitan, Angel. Mungkin kamu tahu kalau Kiandra itu berarti keajaiban. Lalu kenapa kamu sebagai pegawai Kiandra yang memberikan kebahagiaan kepada setiap penikmat cokelat di kota ini masih tidak bisa merasakannya?"

"Apa Anda sendiri percaya? Keajaiban?" Angel kembali melontarkan pertanyaan.

"Tidak."

"Kalau begitu Anda tahu jawaban dari pertanyaan Anda sendiri."

Elliot kembali terkekeh pelan. "Kamu benar."

"Anda hanya mencari pembenaran."

Elliot mengalihkan pandangannya. Menatap gadis di depannya lekat-lekat. "Maksudmu?"

"Mencari pembenaran akan teori Anda sendiri dengan mencoba menguji orang lain."

Elliot terdiam. Gadis itu selalu tepat sasaran. Tidak ada kata-kata yang sia-sia saat kalimat demi kalimat bergulir dari bibirnya. Hanya saja, Angel yang banyak bicara ini tampak berbeda dari Angel yang biasanya. Elliot melirik kaki gadis itu, mendesah lega saat kaki itu menapak di tanah. Bukannya dia takut hantu atau semacamnya apalagi di siang hari begini. Dia hanya memastikan kalau sedang bicara dengan manusia.

"Anda tampak marah?" kata Angel tiba-tiba.

Perkataan Angel barusan membuat Elliot terkesiap. "Apa?"

"Tebakan saya benar, kan?" Angel menyeringai. "Anda marah."

"Enggak. Kamu salah. Aku enggak marah. Aku sekarang tanya, apa kamu yang marah?"

"Tidak." Angel menyangkal.

"Berarti kamu jarang marah, Angel?"

"Mungkin. Lagi pula, katanya kemarahan itu hanya pedang bermata dua yang melukai diri sendiri pada akhirnya."

"Lalu kenapa kamu sering terlihat marah?"

"Itu hanya perasaan Anda saja."

"Oke, aku ganti pertanyaan. Apa hal yang paling membuatmu marah?"

Angel terlihat berpikir sejenak. Ujung jarinya mengetuk gagang payung. Mungkin Angel memang tidak pernah marah makanya harus berpikir keras untuk mencari hal yang membuatnya kesal. Atau terlalu banyak kemarahan hingga kebingungan sendiri. Entah satu di antara dua atau bukan dua-duanya, Elliot tidak tahu pasti.

"Kesialan," ucap Angel setelah sekian menit terdiam.

Kesialan katanya. Pilihan kata yang tidak pernah terpikirkan oleh Elliot sebelumnya. Dia jadi penasaran, memangnya sesial apa sampai membuat Angel marah begitu?

"Kesialan bahkan membuatmu marah?" Elliot memutar bola mata. "Kenapa?"

"Memangnya kamu tidak akan marah kalau sedang sial?" Angel balik bertanya.

Elliot mengangguk kaku. "Iya juga sih. Aku akan marah kalau sedang sial."

"Nah. Sekarang Anda paham, kan?"

"Oke, oke, aku paham. Selain kesialan yang jelas membuat orang lain marah, apa aku boleh tahu hal lain yang bikin kamu marah?"

"Kenapa Anda ingin tahu sekali?" tukas Angel cepat.

"Aku sudah pernah bilang kalau aku tertarik padamu, jadi wajar kalau aku bertanya. Kalau kamu mau jawab, aku akan dengarkan. Kalau tidak juga bukan masalah."

Angel menarik napas panjang. "Aku juga marah pada waktu, tapi sayangnya kemarahanku sia-sia."

"Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Entahlah. Kalau Anda sendiri, apa bisa marah pada waktu?" "Entahlah. Kalau Anda sendiri, apa bisa marah pada waktu?"

"Aku tidak tahu." Elliot mengerutkan kening. Kebingungan merespon perkataan Angel.

"Anda juga tidak mau menjawab, kan?"

Elliot terdiam sesaat. "Aku bukan tidak mau jawab. Aku hanya tidak tahu harus marah atau tidak saat banyak hal itu sepenuhnya salahku."

"Anda menyesali masa lalu?"

Elliot mengembuskan napas. "Mungkin. Apa kamu juga pernah menyesali hal-hal di masa lalu?"

"Entahlah."

Angel pasti tidak ingin menjawab, jadi Elliot mendiamkannya saja. Setelah itu, Elliot diam dan Angel juga menutup mulutnya rapat-rapat. Tidak ada kata-kata yang keluar dalam keheningan makam di sela gerimis. Diam-diam Elliot mencuri pandang ke arah gadis itu. Entah apa yang ada di dalam pikirannya hari ini hingga tiba-tiba Angel mau bicara cukup banyak. Sama-sama kesepian adalah teori yang paling memungkinkan dan bisa menjadi alasan seseorang yang tertutup dan nyaris tampak dingin seperti Angel mulai membuka diri.

"Kamu mau pulang?" tanya Elliot setelah berdiam cukup lama.

"Iya."

"Mau aku antar?"

"Tidak, terima kasih." Angel menggelengkan.

"Oke."

"Kalau begitu, saya pulang duluan."

"Silakan, Angel. Sampai ketemu lagi."

Angel mengangguk sekali lagi sebelum berbalik pergi meninggalkannya. Sementara itu, Elliot mengenggam tangannya di dalam saku mantel. Menahan dorongan untuk menarik lengan gadis itu. Menahannya agar tidak pergi. Namun, pada akhirnya dia hanya bisa menatap gadis itu berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Payung hitam bergoyang seiring dengan langkah kakinya. Elliot tersenyum kecil. Senyuman itu memudar manakala kakinya terasa lemas. Dia jatuh terduduk di atas nisan. Salah satu kakinya mulai mati rasa.

"Semua ini hanya manipulasi takdir, kan?" Elliot tertawa miris. "Seperti ucapanmu, sama seperti manipulasi takdir yang membawamu kemari untuk memperkenalkannya pada kedua orang tuaku?"

Dia menatap kakinya yang gemetar. Mengernyit sebelum akhirnya jemarinya meremas celana jins yang membalut kakinya. Menahan dorongan untuk berteriak. Dia tidak ingin Angel kembali dan melihatnya seperti ini. Meskipun, dia tahu gadis itu tidak akan pernah menganggapnya ada.

~*~

Di sisi lain area pemakaman, payung hitam itu masih menangkis titik-titik hujan yang berjatuhan. Kakinya melangkah berlahan. Dia berhenti sejenak saat menarik payungnya. Matanya melirik ke belakang. Pria itu tengah terduduk di atas batu nisan dengan kepala tertunduk. Membiarkan tempias hujan membasahi rambut pirangnya. Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada seseorang yang duduk di atas makam dengan tubuh yang basah.

"Tadi mau mengantarku pulang, tapi nyatanya kamu pilih kehujanan sendirian," gumamnya pelan.

Mungkin kata-katanya benar, pria tidak punya tempat untuk pulang. Elliot terlihat kesepian. Hanya saja, kesepian macam apa yang membuat seseorang hanya memiliki makam untuk pulang?

Namun, Angel mengerti perasaan sunyi itu. Meski dia mengelak, tapi dirinya juga kesepian. Menggelikan betapa kesepian tidak pandang bulu kala memilih mangsa. Angel menarik napas pelan. Hari ini mungkin dia terlalu banyak bicara. Terkadang dia ingin mengucapkan kalimat panjang lebar agar pria itu berhenti mengucapkan hal-hal aneh. Orang yang terlalu terbuka terkadang menyebalkan. Akan tetapi, siapa sangka akhirnya dia terpancing juga. Mengucapkan hal-hal filosofis, manis bahkan paling konyol dan tidak nyambung hanya untuk menentang argumentasi pria itu.

Semua kata-kata yang bergulir dari bibirnya beberapa saat lalu hanya untuk menghancurkan pendapat seorang pria melankolis yang terlalu percaya keajaiban. Akibatnya, dia malah membuka perihal dirinya sendiri. Sebuah ironi atau hukum sebab akibat, entahlah. Hukum mana yang berlaku. Mungkin benar kata pepatah, orang yang berbuat maka dia yang memakai perbuatannya sendiri.

Hal yang selalu berusaha ditutupnya rapat-rapat dari orang lain malah terbuka dengan mudh di hadapan pria itu. Entah apa yang terjadi pada dirinya hari ini. Pasti ada sesuatu yang salah. Salah saat dia tiba-tiba ingin berbicara dengan orang asing. Dia jelas tidak terpengaruh rayuan bukan? Angel menyentuh pipinya yang tiba-tiba memanas. Mungkin hanya perasaan merasa senasib. Tidak lebih dari itu.

"Pulang ke makam, huh?" gumamnya nyaris tak terdengar. "Aku baru pertama kali dengar hal yang seperti itu."

Angel menyentuh jantungnya yang kini belum berdebar pelan. Pria yang buruk untuk wanita yang buruk katanya kemarin pagi. Apakah wanita kesepian juga berjodoh dengan pria yang memeluk erat kesunyian?

Angel menggeleng beberapa kali, benar-benar menahan dorongan untuk kembali ke sisi pria itu. Bagus sekarang dia malah mulai percaya kebetulan yang sesaat lalu dicemoohnya saat pria itu mengatakannya. Jemarinya mempererat genggamannya pada gagang payung. lalu bergerak menjauh tanpa menoleh lagi. Mungkin pria itu perlu waktu untuk pulang dan menikmati kesendirian. Area kematian untuk orang yang tak pernah punya tempat kembali. Dia pria yang menyedihkan. Angel menutup pikirannya berkecamuk dengan senyuman tipis sebelum kakinya berjalan keluar dari gerbang.

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

453K 41.8K 22
"To the point saja." Haru menutup buku menunya, menatap Adira intens. "Aku setuju dengan perjodohan ini, tapi aku tidak bisa janji dengan satu hal, y...
27.4M 2.4M 70
Heaven Higher Favian. Namanya berartikan surga, tampangnya juga sangat surgawi. Tapi sial, kelakuannya tak mencerminkan sebagai penghuni surga. Cowo...
16M 1.6M 72
Galak, posesif, dominan tapi bucin? SEQUEL MY CHILDISH GIRL (Bisa dibaca terpisah) Urutan baca kisah Gala Riri : My Childish Girl, Bucinable, Gala...
1.8M 153K 33
She fell first, but he fell harder. Tentang Chitra yang menghabiskan masa mudanya dengan mengejar-ngejar Angan. Cowok populer di sekolahnya yang menj...