Better Than Almost Anything

By nyonyatua

43K 4.6K 257

Bagaimana kalau mimpi buruk yang selama ini kamu alami bukan hanya sekadar mimpi? Elliot, pemilik hotel terbe... More

Fortune Cookies
Macaron (1)
Macaron (2)
Dip Stick Chocolate
Pumpkin Muffins
Banana Chocolate (1)
Banana Chocolate (2)
Iced Chocolate (1)
Shortbread Cookies (1)
Shortbread Cookies (2)
GingerBread
Chocolate House
Ptichie Moloko
Death By Chocolate
Snickerdoodles
S'More Bark
Orange Dream (1)
Orange Dream (2)
Streusel
Marble Cheseecake (1)
Marble Cheesecake (2)
Pita Tree
Gummy Bears
Trail Mix
Berry Cute
KARACHI
Rainbow Cake (1)
Rainbow Cake (2)
Black Forest (1)
Black Forest (2)
Black Forest (3)
Chocolate Blitzen
Angel Food
Chocolate Brownie
Chipotle Cheese Steak
Tiramisu Truffles
Twist Potato (1)
Twist Potato (2)
Splatter Paint
Meatloaf Cake
Devil Cake (1)
Devil Cake (2)
Bittersweet Hot Chocolate (1)
BitterSweet Hot Chocolate (2)
Better Than Almost Anything (1)
Better Than Almost Anything (2)
Sparkling Strawberry (1)
Sparkling Strawberry (2)
Red Velvet
Better Than Anything
Better Than Almost Anything English Version
Better Than Almost Anything di Amazon

Iced Chocolate (2)

405 45 2
By nyonyatua


Apanya yang tidak buruk?

Angel menggeleng dan berusaha membuang semua gagasan liar yang bermunculan di dalam benaknya. Pikirannya memang selalu riuh dan dia harus membungkam semua gagasan liar itu setiap kali mereka bermunculan.

"Soal saya yang harus menyukai cokelat itu stu juga salah satu alasan di balik servis untuk pelanggan itu? Semacam tujuan yang Anda capai dari misi promosi?"

Mr. Evans menggeleng. "Bukan kok, ini hanya alasan pribadi. Kamu selalu menuntut alasan untuk semua hal jadi aku mencoba mencari cara untuk berkelit."

"Maksud Anda?"

"Itu alasanku untukmu." Senyum kembali terulas di bibir pria itu. "Alasan personal, Angel. Bukan promosi atau apa pun yang kamu pikirkan."

"Oh."

Angel hanya mengedikkan bahu lalu menggeleng. Jemarinya meraih gelas di meja dan mulai menyesap isinya. Iced chocolate, minuman cokelat yang tidak terlalu manis. Ada pahit-pahit di dalamnya. Entah kenapa, tiba-tiba dia menyukai minuman itu. Akhir-akhir ini dia memang jadi menyukai makanan tanpa alasan dan membenci makan yang lain juga padahal biasanya menyukainya. Selain rasa lapar dan mual yang terus-terusan menyerang secara bergantian.

"Kamu suka?"

Mendengar kata-kata Mr. Evans barusan, Angel tersentak. Dia buru-buru melepaskan ujung sedotan dari dua belah bibirnya. "Maaf."

"Bukan masalah, Angel. Enggak perlu minta maaf."

Angel menarik napas berat. "Saya bukan berpura-pura, saya hanya tidak tahu alasan minuman ini mendadak terasa enak, padahal cuaca sudah mulai dingin harusnya saya tidak suka."

Mendengar jawabannya, Mr. Evans tertawa pelan. Rasanya dia ingin menampar bibirnya sendiri karena kelewat jujur. Dia juga bicara cukup panjang untuk mengelak. Sikap seperti ini sama sekali bukan dirinya. Apalagi fakta kalau dia menyedot minuman itu terlalu banyak. Mengingat penolakannya tadi, ini jelas menampar harga dirinya. Dia begitu tidak tahu malu. Mengatakan kalau membenci cokelat, tetapi segelas minuman dingin hampir ditandaskan dalam hitungan menit.

"Aku tahu, kan sudah kubilang aku percaya padamu, Angel."

Angel mengangguk pelan. "Terima kasih."

"Kamu tahu kalau cokelat itu seperti hidup yang kita jalani."

"Apa ini sejenis promosi lagi?"

"Kamu bisa bilang begitu," sahut Mr. Evans sambil terkekeh pelan.

"Apa saya harus menyimak?"

"Kalau kamu mau."

"Kalau saya menolak maka Anda akan bicara sendiri?" tanya Angel lagi.

Pria itu mengerutkan kening sejenak dan terlihat berpikir keras. "Ya, kalau kamu bilang begitu, ya bisa saja begitu."

"Apa Anda tidak keberatan kalau saya enggak mendengarkan?" Kali ini Angel ingin menampar bibirnya yang tidak sopan sekali lagi.

Tawanya pecah, suaranya yang nyaring memenuhi ruangan. Pria itu bahkan sambil memegangi perut karena tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa?"

"Karena kamu mirip robot, Angel," katanya di sela tawa.

Robot katanya. Artinya dirinya kaku dan tidak menyenangkan. Apakah semua ini karena pertanyaannya tadi?

Angel mendengkus lalu melipat tangan di depan dada. Dia menatap pria itu lekat-lekat. "Kalau begitu silakan cerita, saya akan dengarkan."

Mr. Evans hanya mengangguk dan melambaikan tangan saja karena tawanya belum mereda. Tawa itu baru berhenti setelah beberapa menit terlewat. Sepertinya benar-benar puas menertawakannnya.

"Sampai mana tadi?" tanyanya.

"Soal cokelat dan hidup."

"Ah, iya. Hidup yang sama seperti cokelat." Mr. Evans seperti berbicara sendiri. "Ada manis yang terselip di antara pahit. Kadang kita tidak pernah menyadarinya, bukan?"

"Anda benar," sahut Angel sembari berdeham pelan. "Saya menanggapi, bukan jadi robot."

"Aku tahu, santai saja."

"Lalu?"

"Aku cuma mau bilang kalau, jangan terlalu negatif menyikapi hidup, Angel. Banyak hal manis yang mungkin tidak kamu sadari bahwa mereka ada di sekitarmu." Mr. Evans menyodorkan potongan kue cokelat pada Angel.

Tawaran yang ragu untuk diterima. Angel meneguk ludah, dia benar-benar tidak suka cokelat tetapi air liurnya hampir menetes ketika menatap potongan cokelat di tangan pria itu. Lagi-lagi, ini alasannya yang tidak dipahaminya. Dia membenci cokelat. Tapi, akhir-akhir ini dia tidak pernah bisa menahan keinginan untuk memakan sesuatu. Meski begitu, dia menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menerima pemberian pria itu.

"Ngomong-ngomong, aku juga tidak suka cokelat. Hanya mencoba untuk menyukainya, jadi kamu mau coba juga?"

Angel akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Dia mengulurkan tangan dan menerima potongan kue cokelat pemberian Mr. Evans dan langsung menggigit ujungnya. Oh, sial, rasanya enak.

"Kenapa? Ini alasan untuk promosi atau hal personal?" tanyanya di sela kunyahan.

Mr. Evans menarik napas panjang. Matanya menatap kue cokelat yang kini hanya tinggal separuh. "Personal. Ini alasanku, aku ingin merengkuh kebahagiaan meski hanya sekali dan sebentar saja."

Angel menatap pria itu lekat-lekat. Anehnya, jantungnya mulai berdegup kencang. Mr. Evans terlihat kesepian, sangat kesepian. Lebih kesepian darinya. "Anda bisa mencari kebahagiaan lain selain hanya memakan cokelat."

"Kamu lagi menghiburku?"

"Anda tidak suka?" tukas Angel cepat.

Mr. Evans menggeleng lalu tersenyum. "Aku menyukainya. Terima kasih, Angel. Aku hanya tidak tahu di mana letak kebahagiaan itu. Hanya sepotong coklat yang aku tahu. Aku lebih suka mengejar yang sudah jelas daripada hanya meraba-raba. Aku orang yang egois dan sayangnya hanya punya sedikit waktu."

Tidak banyak waktu. Bukankah pria ini masih muda? Dari kelihatannya, Mr. Evans baru berusia awal tiga puluhan. Tapi kenapa? Apa karena sibuk bekerja hanya memiliki sedikit waktu luang?

Angel mengerjap, berusaha untuk menghapuskan rasa ingin tahu berlebihan yang kini mulai bersarang di dalam pikirannya.

"Apa Anda bahagia?" Angel mengigit bibir. Kedua alis Mr. Evans terangkat sedikit. "Sekarang?"

"Aku harap."

"Kebahagiaan itu tidak selalu manis, Sir."

"Begitukah?"

"Bukaknah Anda bilang kalau hidup itu mirip cokelat. Artinya, tidak pernah ada kebahagiaan yang semanis cokelat, mungkin saja ada rasa pahit layaknya Iced chocolate. Karena ada rasa pahitnya maka sensasi manisnya lebih terasa."

"Ini filosofimu untuk segelas Iced chocolate ini?"

"Bisa dibilang begitu."

"Menarik!" pujinya. "Kalau begitu, aku akan menyanggah teorimu, Angel. Dunia ini juga menawarkan kebahagiaan yang manis kok."

"Kita membahas dunia yang sebenarnya, bukan dunia mimpi para putri di negeri dongeng," sanggahnya cepat.

"Kalau kita mau membahas dunia dongeng dan seperti katamu di dunia itu memang hanya ada kebahagiaan. Maka untuk mendapatkannya pasti banyak cobaan yang dilalui oleh putri-putri itu. Pembelajaran untuk anak-anak bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan maka setidaknya manusia harus berusaha, bukan begitu?" Mr. Evans mengulum senyuman.

"Itulah doktrin yang ditanam dalam pikiran anak-anak kalau semua seindah kehidupan para putri ini." Angel menarik napas pelan, menyesali setiap kata yang bergulir dari bibir. Bibirnya tidak terkontrol kalau membahas masalah seperti ini.

"Bukankah itu memperkaya imajinasi anak-anak, Angel?"

"Tapi, dongeng juga pisau bermata dua. Setidaknya itu menurutku," katanya lagi. Ujung jari telunjuknya mengusap bekas luka di dagunya.

"Maksudmu?"

"Apa saya harus menjelaskannya?"

"Kalau kamu ingin kenapa tidak? Toh, aku mendengarkan."

"Dongeng hanya simbol ketidakberdayaan kaum wanita." Angel meremas kemeja yang menutupi tubuhnya. Seperti ketidakbedayaannya malam itu.

Malam itu, Angel mendesah pelan. Kalau mengingatnya dia hanya bisa menggigit lidahnya kuat-kuat. Dia tidak mampu menceritakannya pada orang lain. Toh, dirinya tidak akan mendapatkan simpati meski membuka mulutnya. Orang-orang di kota ini mungkin akan berpendapat kalau dirinya hanya mengada-ada. Anak perempuan seorang pelacur tidak mungkin sepolos pengakuannya.

"Begitukah? Itu menarik. Bagaimana bisa kamu berpikiran seperti itu?"

Angel menunduk menatap gelas di tangannya yang isinya tinggal separuh. Menghela napas berat sebelum bicara. "Dongeng menghancurkan fakta bahwa hidup ini keras. Meracuni pikiran anak gadis kalau dengan tidur saja maka pangeran akan datang dan membawa kebahagiaan untuknya. Hanya perlu satu ciuman lalu bahagia selamanya."

"Hidup juga keras di negeri dongeng. Untuk mendapatkan ciuman, putri salju harus dibuang dulu ke hutan oleh ibu tirinya. Bahkan salah satu sumber menyebutkan jika bukan ciuman yang menyelamatkan putri salju. Putri Salju berhasil hidup setelah memuntahkan apel beracun dari mulutnya."

Angel menatap pria itu. "Kalau benar dia selamat dengan memuntahkan apel, kenapa dia perlu dicium?"

"Untuk memaniskan cerita mungkin." Mr. Evans mengangkat bahu. "Demi keperluan romansa."

"Itulah yang membuat kaum hawa tergantung pada kaum adam layaknya Cinderela yang hanya bisa menyelamatkan diri saat pangeran datang."

Pria itu tersenyum tipis. "Kenapa kamu berpikir seperti itu. Mungkin saja Cinderela sudah pernah mencoba menyelamatkan diri. Tapi, usahanya tidak berhasil dan ditangkap. Ibu tiri dan saudarinya pasti tidak ingin kehilangan pembantu, kan?"

"Well, itu mungkin saja." Angel menaikkan alis kirinya.

"Apa kamu tidak tahu setiap dongeng selalu menjadikan wanita sebagai tokoh utama?"

Angel terdiam. Kata-kata Mr. Evans ada benarnya. "Oke, terus?"

"Kaum pria hanya menjadi pangeran yang muncul di saat terakhir. Sementara sejak awal kisah berputar hanya tentang tokoh utama wanita. Kami hanya peran pembantu, Angel."

Angel menelan ludah. Mr. Evans selalu menemukan celah. "Tapi, akhirnya putri hanya bergantung pada pangeran."

"Bukan." Pria itu menggeleng. "Pangeran muncul di saat terakhir untuk menyelamatkan sang putri, bukan karena sang putri tidak mampu berjuang sendiri. Si Pendongeng ingin menunjukkan itu, bahwa kalian kaum wanita pantas untuk dicintai dan diperjuangkan. Aku rasa itu esensi setiap dongeng, bukan keajaiban cinta tapi perjuangan."

Angel terdiam. Pipinya memanas. Tangannya meremas gelas. Jantungnya mulai berdenyut lebih kencang. Mengirimkan sugesti agar dia tertawa riang atau minimal tersenyum. Mr. Evans lagi-lagi tampak meyakinkan saat melontarkan pendapat.

"Putri duyung—" Angel menelan ludah, menata napas sebelum berbicara. "Dia mati, pangeran juga tidak mengulurkan tangan padanya."

"Itu karena dia tidak berusaha."

"Dia berusaha mengorbankan suaranya untuk sepasang kaki agar bisa bertemu pangeran."

Mr. Evans tersenyum. "Dia bisu. Kita terima itu, tapi apa dia berusaha? Tidak, kan? Cerita dalam dongeng itu tidak menyebutkan kalau putri duyung buta huruf. Dia bisa memberi tanda pada sang pangeran kalau dialah yang menyelamatkan nyawanya. Pangeran menemukan kebenaran dan dia tidak menjadi buih. Sederhana, bukan?"

"Tapi ada putri lain yang mengaku sudah menyelamatkan pangeran," sanggahnya.

"Benar. Tapi, apa Putri Duyung sudah coba mengatakan sejujurnya. Tidak, kan?"

Mr. Evans memang benar. Selalu ada cara untuk menyelamatkan diri jika seseorang mencoba.

"Tapi, masa pangeran tidak sadar adanya kejanggalan atau setidaknya memahami perasaan Putri Duyung?" gerutu Angel masih tidak terima. "Pria bukan peramal, Angel. Kami akan berjuang demi wanita yang kami cintai. Hanya saja, kami juga tidak tahu apa yang kalian pikirkan. Itu juga berlaku untuk kalian, kurasa kalian juga tidak bisa menebak isi kepala kami?"

"Memang."

"Meski begitu, kalaupun kamu tidak mengucapkan apa-apa. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi buih layaknya pangeran dungu itu, Angel." Suara lembut Mr. Evans membelah kesunyian yang terbentuk sedetik lalu. "Ini kalimat personal, khusus untukmu. Bukan untuk pelanggan, bukan pula filosofi kue cokelat."

Angel menelan ludah. Manik matanya bertemu dengan mata biru Mr. Evans yang kini menatapnya. Ada keseriusan dalam mutiara biru pekat itu. Kepalanya kembali tertunduk.

"Saya—"

"Ya?" Pria itu kini menatap Angel yang masih ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Iced chocolate tidak akan selalu manis atau pahit, akan ada rasa hambar di dalamnya seiring dengan es yang mulai mencair. Dari ketiga rasa itu, saya termasuk yang hambar." Suara Angel lirih. Mengalihkan perhatian saat percakapan ini mulai keluar dari jalur.

"Kenapa? Apa ini sejenis penolakan halus?" Mr. Evans erkekeh pelan.

Angel memandangi wajah pria itu. "Saya tidak sebaik yang Anda pikirkan, Sir."

"Aku tidak pernah berpikir kamu baik kok, jadi tenang saja!"

Angel benar-benar mencoba melemparkan banyak tanda tanya melalui tatapannya. Jadi, Mr. Evans ini sedang menghina atau mengujinya?

"Aku bersyukur dengan keburukan dalam dirimu, Angel."

"Apa?" Angel membeo, menggigit bibir. Pria ini mulai ngaco.

"Kamu tahu kenapa?"

"Tidak."

"Karena lelaki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Aku pria yang buruk, Angel. Kalau kamu seburuk yang kamu katakan maka setidaknya aku ada kesempatan untuk memilikimu."

"Maksudnya Anda suka sama saya?"

"Iya, Aku suka sama kamu, Angel. Secara personal, bukan untuk servis pelanggan."

Oke, ini mengejutkan. Rasanya seperti terbang tinggi lalu meluncur turun ke laut. Angel langsung menunduk. Entah kenapa kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu membuatnya perutnya berdesir seolah-olah ada kupu-kupu yang dipaksa bangun dan terbang. Bukankah pria ini yang membuatnya sebal sampai beberapa menit lalu, tetapi kenapa jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya? Dia tidak sedang terjebak rayuan gombal, kan?

Saat Angel menatap mata biru Mr. Evans, mata itu terkesan dalam. Ada kesungguhan di sana. Tidak sedikit saja kabut kebohongan. Sungguh dia ingin percaya pada sorot mata itu. Bisakah?

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 231K 54
PART MASIH LENGKAP NOVEL TERSEDIA DI MARKET PLACE SHOPEE JAKSAMEDIA Ini adalah kisah seorang gadis bernama Adhara Zefanya Claire. Gadis dengan traum...
146K 17.5K 40
#Romance-comedy #Make-up series #Food series Bagi Cinnamon, skincare dan make up adalah dua hal yang sangat penting untuk menunjang penampilannya seb...
6M 704K 53
FIKSI YA DIK! Davero Kalla Ardiaz, watak dinginnya seketika luluh saat melihat balita malang dan perempuan yang merawatnya. Reina Berish Daisy, perem...