Heartbeat

By ameiranou

159K 6.9K 265

"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang m... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Epilog
Axelardo; (Not) Bad Papa

Chapter 22

1.7K 82 0
By ameiranou

Terimakasih buat yang selalu ada.
Terimakasih buat yang selalu setia.

Jangan lupa vote, komen ya ...

Happy reading!!

***

"Nara?"

Nara menahan langkahnya saat seseorang di belakangnya memanggil namanya. Nara menoleh, ada Nevan disana yang memberi senyuman tipis.

"Gue tadi udah bilang pengen bicara sama lo," ucap Nevan mengingatkan membuat Nara langsung membuka mulut kaget. Ah, iya Nara sampai lupa dengan permintaan Nevan tadi pagi. Sebisanya Nara mengatur ekspresi agar terlihat baik-baik saja. Tapi, menyerah dan memilih menghindari mata Nevan yang tertuju ke arahnya.

"Mau bicara apa?" tanya Nara hati-hati seraya menggigit bibir bawahnya. Nevan yang menyadari akan hal itu hanya tertawa kecil, baginya Nara sangat menggemaskan.

"Nara?" Yang dipanggil mendongak dengan kerutan di kening, menunggu kalimat yang akan dikatakan setelahnya, tapi Nara malah mendapati genggaman tangan hangat yang menyelimuti tangan kecilnya.

"Sambil jalan ke parkiran, boleh? Kalau diizinin, sampai depan rumah, juga boleh?" Nevan menarik tangan Nara membawanya berjalan melewati koridor menuju tempat parkir. Nara masih bergeming menatap genggaman tangan, tak ayal jika beberapa kali langkah kaki Nara menabrak langkah kaki Nevan. "Lo kenapa?" tanya Nevan geli.

"Ng-nggak, cuma ... bisa lepasin pegangan ini?" pinta Nara seraya melirik kiri-kanan takut terlihat oleh siswa-siswi yang belum pulang.

Nevan melirik genggaman itu, sebelum akhirnya ia menatap wajah Nara yang tampak gelisah dan tidak tenang dengan beberapa kali melirik untuk memastikan sesuatu.

"Lo nggak lagi takut ketahuan pacar lo, kan?" tanya Nevan langsung membuat Nara menghentikan langkahnya dan membatu. Niat Nevan hanyalah untuk bercanda, tapi melihat ekspresi Nara membuat Nevan curiga. "Lo ... beneran udah punya pacar?"

Nara menangkap suara bergetar, raut muka Nevan juga berubah datar serta tergambar ketidakpercayaan. Cowok itu masih diam menunggu jawaban Nara yang sebenarnya enggan menjawab, Nevan juga sama sekali tidak berniat melepas genggamannya. Nara menunduk, hubungannya dengan Daniel bukanlah hubungan selayaknya orang berpacaran. Sampai saat ini Nara tidak tahu alasan mereka berpacaran. Kalau ia nekat memberi tahu, maka sudah bisa dipastikan Nevan akan terus mengorek hingga ia puas dengan jawaban Nara nantinya.

"Aku nggak punya banyak waktu, kamu mau ngomongin apa?" Nara memilih mengubah topik, mengingatkan Nevan pada tujuan awal mereka. Nara menatap Nevan serius berharap cowok itu segera berbicara.

"Na, lo belum jawab---"

"Aku baru inget, setelah ini aku ada perlu. Jadi, aku mohon kamu segera bicara." Nara tidak sepenuhnya berbohong. Ia baru ingat jika kemarin malam Trisha sempat bilang ingin menjemput Nara sekalian mengajak makan siang. Nara tidak ingin membuat Trisha yang sudah baik padanya harus menunggu terlalu lama.

"Kalau gitu nggak jadi," ucap Nevan pelan membuat Nara menautkan kedua alisnya, ia menghela nafas panjang. "Ini bakalan agak panjang, gue nggak mau lo malah kepikiran. So, next time aja. Bye, Na."

Nevan pergi setelah mengusung senyuman perpisahan. Nara terpaku di tempat. Menerka kira-kira apa yang akan dikatakan oleh Nevan.

Suara notifikasi pesan masuk membuat Nara melupakan sejenak Nevan, lantas beralih pada handphone dalam tasnya. Nara mengusung senyuman tipis saat mengetahui siapa pengirimnya.

Altair:

Weekend lo free?

Nara tak langsung membalas, ia lebih dulu mengingat jadwal yang sudah ia susun untuk minggu ini. Selanjutnya baru mengetikkan balasan.

Free kok,
ada apa, ya?

Altair:

Bisa ke cafe book?
Gue perlu buku fiksi.
Lo bisa rekomendasiin buku
yang menurut lo bagus ke gue.

Nara menggigit bibir bawahnya, namun tak kuasa ia menahan senyum. Padahal, Altair hanya meminta Nara menemani mencari buku fiksi yang memang sudah keahlian Nara---karena Altair tidak terlalu suka buku seperti itu. Namun, respon Nara seolah sedang diajak bertemu menikmati matcha latte favorit mereka berdua.

Iya, bisa kok:)

Altair:

Oke, gue tunggu di halte
deket rumah lo.

Nara diam, halte dekat rumah yang Altair maksud itu ... halte dekat panti. Sedangkan Nara sudah tidak tinggal di sana lagi.

Kita ketemuan di halte
dekat cafe book aja.

Altair:

Ya.

Nara membacanya dengan senyuman tipis, lalu memasukkan handphonenya ke dalam saku almamater dan segera melangkah ke gerbang sekolah.

Di sisi lain, Altair ikut tersenyum tipis saat mendapat jawaban Nara yang bersedia menemaninya ke cafe book akhir pekan. Usai memberesi buku-bukunya, Altair beranjak seraya mengenakan tasnya. Namun---langkahnya terhenti saat Belinda datang dengan senyuman manis.

Perlahan tapi pasti, Belinda bisa melihat senyum tipis Altair yang luntur. Belinda tersenyum masam, namun tidak membuat ia mundur untum mengutarakan niatnya. Hari ini, ia harus segera bertanya hal yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya.

"Em ... Altair," panggil Belinda pelan lalu mengalihkan pandangannya sejenak. Ia bisa melihat satu alis Altair yang menukik tanda bahwa ia penasaran dengan apa yang akan diucapkan oleh Belinda. "Ada satu hal yang pengen gue omongin."

"Apa?"

Belinda tampak menghela nafas beberapa kali, sebelum akhirnya ia mengucapkan apa yang setelahnya membuat Altair memasang wajah datar.

"Jadi, bener kalau lo ngejauhin gue?" tanya Belinda lagi saat Altair sama sekali tidak memberi respon. Sepersekian menit, Altair tetap saja diam. Membuat Belinda semakin yakin dengan spekulasi yang ia buat karena akhir-akhir ini Altair tampak dingin pada dirinya.

"Apa karena omongan Daniel waktu itu, lo ngejauhin gue?"

"Nggak!" tukas Altair cepat.

Belinda mengeryit.
"Terus?"

Altair menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menatap Belinda serius. "Gue lagi banyak masalah," jawab Altair---tidak sepenuhnya berbohong karena memang saat ini ia fokus pada kondisi ibunya yang perlu perhatian lebih sejak kejadian malam itu.

"Oh," balas Belinda singkat lalu menunduk. Sedikit tidak puas dengan jawaban Altair, karena ia yakin ada salah satu alasan lagi yang membuat Altair terlihat menjauhinya. Dan alasan itu adalah karena ucapan Daniel yang membeberkan tentang ungkapan rasa Belinda pada Altair selama ini.

Setelah mengangguk mencoba sepenuhnya percaya, Belinda pamit pergi. Tapi sebelum itu, pertanyaan dari Altair datang lebih dulu memborbardir hingga ia kaku di tempat.

"Lo beneran suka sama gue?"

Belinda tidak menjawab dan berbalik. Demi Tuhan, ia sungguh berharap ada seseorang yang datang merusak suasana ini sehingga dia bisa keluar dengan mudah. Tanpa sadar Altair sudah berdiri di sampingnya. Tatap matanya tenang ke arah Belinda seolah mengatakan, tidak apa-apa kalau lo emang suka sama gue. Namun, itu lebih membuat Belinda gugup di tempat.

"Bel---"

"Ya? Lo percaya sama Daniel?" Belinda membalas dengan tawa renyah di akhir kalimat. Memberi persepsi jika itu hanya lelucon Daniel---alias tidak benar. Altair menghela nafas lega.

"Perasaan bukan kuasa manusia, dia datang karena hati. Gue nggak pernah nyalahin lo, kalau lo emang beneran suka sama gue. Tapi---" Altair tampak menjeda ucapannya. Ia memegang kedua bahu Belinda erat membuat Belinda menegak gemetar. Belum lagi Altair yang memandangnya dalam, membuat Belinda tenggelam pada netra hitam itu.

Altair adalah versi tampan yang menurut Belinda tidak semua orang memilikinya. Wajahnya selalu tenang, memang jarang sekali mengusung senyuman, namun Altair bukan orang yang pelit senyum. Kalau ada yang menurutnya lucu, cowok itu sebenarnya tersenyum. Hanya saja orang yang memperhatikannya begitu lekat lah yang bisa menemukan lengkungan bibir tipis milik Altair.

Dia tampan yang bisa membawa ketampanannya ke arah berwibawa. Dalam keadaan marah pun, ia bisa mengontrol raut muka agar tetap tenang. Wajahnya selalu datar, dingin, dan pucat---tapi bukan karena sakit. Padahal Altair memiliki kulit kuning langsat khas Indonesia. Mungkinkah wibawanya diturunkan dari gen ayahnya, lalu wajah rupawan adalah turunan dari ibunya yang dulu merupakan model papan atas?

"Tapi, sebelum lo punya perasaan sama gue. Perlu gue ingetin, kalau lo nantinya jangan terlalu berharap banyak sama gue," lanjut Altair langsung membuat Belinda tersentak dari lamunannya dan syok. Altair tampak beberapa kali memejamkan mata. Seakan ia sulit mengatakannya. "Karena---"

"Karena Nara? Lo suka, kan, sama dia?" Percayalah, meski Belinda menebaknya dengan sebuah senyum manis, tapi ia merasa ada dua tembok besar yang sekarang tengah menghimpit dirinya; sesak.

"Atau ada cewek lain? Siapa, nih?" Belinda terus mengoceh menebak siapa kira-kira yang membuat Altair tidak memberinya harapan. Bahkan, saat dirinya sudah diberi peringatan penolakan sebelum ia memiliki kesempatan mengutarakan rasa sukanya.

Altair melepaskan pegangannya dari bahu Belinda, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

"Gue punya masalah yang bikin hancur hubungan gue. Dan gue nggak mau itu terjadi buat yang kedua kalinya," jawab Altair setelahnya memilih pergi.

"Kayak yang Altair bilang, perasaan bukan kuasa manusia. Gue nggak bisa mengontrol buat nggak suka sama dia. Sorry, apa yang lo titipin ke gue, malah gue sukai." Belinda tersenyum masam menatap luar jendela. Cuaca hari ini cerah, sangat kontras dengan kondisi hatinya saat ini.

***

"Setelah ini, rencana mau lanjut ke mana?" Trisha membuka topik pembicaraan usai pelayan menyajikan hidangan pesanan mereka.

Nara tampak berpikir sejenak, lalu meringis pelan. "Belum tau, Bu."

"Loh, kamu nggak pengen kuliah, gitu?" tanya Trisha setelah menelan makanannya. Ia belum menyentuh lagi karena menunggu jawaban Nara yang selera makannya sudah hilang sejak Trisha membahas soal kuliah.

"Pengen," jawab Nara pelan. Ia sama sekali belum menyentuh makanannya, seleranya hilang begitu saja. Ia hanya mengaduk, dan memilih mencecap minumannya terlebih dahulu.

Trisha diam, ia seolah dipaksa paham oleh situasi ini. Perlahan, ia menampilkan seulas senyum manis dan berniat mengganti topik pembicaraan.

"Oh, iya! Kamu dapet beasiswa, ya? Cerdas banget dong." Trisha memujinya seraya tersenyum lebih lebar. Nara tersipu, tidak ada pilihan lain untuk menyembunyikan pipi merahnya selain menunduk dan mulai memakan makanannya.

Baru dua kali suapan ia telan, ia merasakan ketidaknyamanan di perut. Rasanya seperti sedang diaduk sangat kuat. Tidak berhenti sampai di situ, makanan barusan seolah naik lagi ke tenggorokan dan meminta Nara mengeluarkannya. Nara membungkam mulutnya, mengundang perhatian Trisha yang mulai khawatir.

"Nara, kamu kenapa?" Trisha berpindah duduk ke samping Nara, memperhatikan raut wajah gadis itu yang memerah dan terus membungkam serta memegang perutnya. Dari sini, Trisha langsung paham dan membantu Nara ke kamar mandi.

Trisha mendengar Nara yang memuntahkan semua makanannya, bahkan bisa jadi makanan sebelumnya ikut keluar. Ia jadi khawatir, takut anak itu kenapa-napa nantinya. "Nara ... gimana, Nak?"

Belum sampai dua menit Trisha bertanya, pintu kamar mandi terbuka menampilkan sosok Nara yang lemas dengan mata yang dipaksa terbuka. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada dinding, tangannya begitu erat memegang ganggang pintu.

"Ya ampun ... saya telpon sopir dulu. Kita ke rumah sakit!" Jujur, Nara masih sempatnya ingin menolak, beruntung Trisha bergerak lebih dulu menyambungkan telpon ke sopir yang menunggu di depan rumah makan.

Tidak lama kemudian, sopir datang membopong tubuh Nara yang hampir hilang kesadarannya menuju mobil untuk dibawa ke rumah sakit.

Sesampainya di sana, Nara langsung ditangani oleh dokter. Sedangkan Trisha menunggu dengan perasaan cemas. Entah kenapa, mungkin ini hanya bagian dari rasa bersalah---padahal belum jelas ia membuat kesalahan.

Hampir lima belas menit Trisha menunduk sembari memijat pelipisnya, dokter keluar diikuti satu orang perawat yang memberi senyuman dan pamit pergi. Meninggalkan Trisha dan dokter itu di depan ruang rawat Nara.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Trisha tanpa basa-basi. Tidak perlu memberikan rasa sopan karena dokter yang berdiri di depannya ini adalah sahabatnya sendiri.

"Keadaannya mulai membaik, dia lemas usai muntah karena alergi," jelas dokter.

Trisha tertegun. "A-alergi?" tanyanya lagi memastikan.

"Sepertinya dia baru saja memakan salah satu jenis ikan yang memicu alergi," ucap dokter tersebut tanpa mengalihkan fokus dari Trisha yang mendadak kaku di tempat. Kakinya seolah tidak lagi bisa menahan bobot tubuhnya hingga membuat wanita itu terduduk di kursi rumah sakit. Ia kembali memijat pelipisnya.

"Kamu bisa melihatnya. Kalau ada apa-apa beri tahu aku." Usai memberi pesan, dokter itu beranjak pergi. Sedangkan Trisha masih diam menatap kosong ke arah high heels yang ia kenakan.

"Alergi itu lagi," gumam Trisha. Ini adalah kali kedua Trisha dibuat keringat dingin oleh alergi. Belasan tahun yang lalu, ia juga berada di situasi seperti ini. Dan sengaja atau tidak, penyebab alergi itu bisa sama.

Putrinya, yang dulu baru berusia dua tahun, harus dirawat karena alergi. Dan sekarang, kejadian itu berulang lagi. Dengan alergi yang sama tapi dengan orang yang berbeda.

Nara membuatnya teringat pada sang putri. Saat itu, ia sudah tidak tahu lagi berbuat apa selain berdoa dan meminta pada dokter untuk melakukan yang terbaik. Sayang, belum genap setahun usai kejadian itu, saat keluarga kecilnya akan menetap di Belanda. Pesawat itu lebih dulu merenggut nyawa dua orang tercintanya.

Trisha pernah menyesal, mengapa ia tidak ikut sekalian, karena dengan begitu, ia bisa ikut menjadi korban bersama suami dan anaknya. Beruntung, ketika Trisha memiliki pemikiran seperti itu, ibunya menyadarkan bahwa itu bukanlah hal yang bisa membuat suami serta anaknya bahagia di sana. Mulai dari situ, Trisha mencoba tegar. Dua orang tercintanya pasti bahagia saat ia di sini juga bahagia.

"Arabella, Mama rindu kamu sama Papa."

TBC

Bagaiman buat part ini?
Ayo kita dikit-dikit masuk konflik

Lagi banyak pikiran gegara pelajaran nih:v
Gurunya suka becanda, masa baru dua minggu bab baru langsung ulangan harian lagi😩😩
Padahal tugasnya aja belum aku kerjain:)

Yasudahlahhh, doain aja mingdep aku masih lancar up...

Makasih guys, jangan lupa vote komen xixixi

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 98.6K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
235K 15K 53
Menutup mata dan telinga, memaksakan diri untuk mengembara, pada akhirnya jawabannya adalah dia dan cinta. Zenon Almeer Faith, Cowok beretra cokelat...
418K 23.4K 56
-Rasa sayang dan cinta itu gak bisa di ganggu gugat, Mau sekuat apa untuk ngelak perasaan itu. Perasaan itu akan terus tertanam di hati dan akan sema...
136K 15.2K 47
Seorang pria yang bertransmigrasi di dalam novel yang terakhir ia baca. Dunia dimana sihir adalah hal normal di sana. Terlahir kembali menjadi orang...