Belum hilang rasa cemburunya, Valcano mendapatkan telefon dari nomor tidak dikenal lagi, parahnya orang tersebut mengatakan jika kekasihnya disandera olehnya.
“Udah gue bilang, cewek lo cantik. Gue ajak main boleh lah ya, hahaha,” Tawa Giano yang mengejek itu dapat di dengar oleh Valcano, membuat lelaki itu naik pitam.
“Bangsat!” Maki Valcano. “Lo sentuh cewek gue, lo mati!”
“Waw, takut nih hahaha. Ini salah lo, ngapain lo bawa-bawa Vetunus?”
“Oh, jadi lo kalang kabut sama geng bayaran gue,” kali ini Valcano yang tertawa.
“Hosh, lo mau cewek lo mati ditangan gue? Lo tahu, rambutnya halus banget, pipinya juga. Oh iya, air matanya mungkin bisa satu ember kalau lo nggak kesini.”
Tut.
Valcano segera mengambil jaketnya lalu keluar dari apartemennya.
Di lain sisi, Cilla yang disekap hanya mampu menangis sambil menatap Giano dengan melas. Namun rupanya Giano tidak menggubris tatapan itu. Dia sudah terlanjur dikuasai oleh dendamnya.
“Manis..” Giano mendekati Cilla sambil mengusap rambutnya. “Kalau Valcano nggak datang, lo marah nggak?”
“Gimana kalau Valcano malah mesraan sama cewek lain?” Giano kemudian membuka penutup mulut Cilla.
“Lepasin gue.. Please.. Gue nggak kenal lo siapa,” kata Cilla memohon dengan sesegukan. “Kenapa lo ikat gue kayak gini..”
“Karena lo ceweknya Valcano,” jawab Giano singkat.. Terkesan dingin.
Cilla menundukkan kepalanya. “Kenapa..”
“Kenapa?!” Suara Giano yang berat menjadi meninggi. “Valcano udah punya kesalahan besar sama gue! Suka banget dia cari masalah sama gue, itu sebabnya gue balas perbuatan dia.”
“Lo tahu nggak sih, alasan lo itu nggak masuk akal!”
Giano menarik rambut Cilla dengan kencang hingga membuat gadis itu meringis kesakitan sampai menitikkan air matanya. “Lo mau mulut lo gue gunting? Lo nggak pernah ngerasain jadi gue jadi lo nggak usah banyak omong,” katanya penuh penekanan sambil melepaskan rambut Cilla dengan kasar.
Cilla hanya bisa menangis dan pasrah. Entah apa yang terjadi dirinya nanti.
•••
Ruangan gudang kosong itu sunyi, suara hanya di dominasi dengan suara jangkrik. Cilla masih ada disana, diikat, mulutnya dibekap dengan kain. Dia ketakutan.
Seandainya Cilla tidak marah, mungkin sekarang dia berada dirumah dengan tenang. Tidak di gudang lusuh seperti ini. Dia kedinginan karena angin malam yang menerpa, dia juga masih menggunakan seragamnya itu.
Ada suara gaduh yang membuat kepala Cilla yang semula tertunduk kini terangkat. Lalu, ada suara dentuman keras sampai menimbulkan suara bising di tengah sunyinya malam.
Pintu besi terbuka, mata Cilla menatap siapa yang masuk. Tampak dua orang lelaki dengan postur tubuh gemuk dengan membawa kayu dan juga tongkat baseball.
Gadis itu meneguk ludahnya susah payah. Dia takut dengan orang itu. Namun, dia bisa bernafas lega saat melihat Valcano di belakang orang-orang itu.
“Cilla!” Panggilnya.
Lelaki itu kemudian melepaskan ikatan yang ada ditangan, kaki dan juga tubuh Cilla.
“Sekarang, kamu keluar. Di depan ada Avines.”
“Val..”
“Nggak ada waktu lagi, Cil! Cepet keluar!”
Beberapa orang suruhan Giano kembali datang dengan langkah tertatih. Juga ada Giano yang tatapannya penuh amarah. Valcano dengan siap siaga menarik Cilla ke belakang tubuhnya.
“Ternyata lo datang,” kata Giano. “Gue belum sempet main sama cewek lo padahal.”
“Jaga omongan lo, bangsat!”
Giano memberikan instruksi kepada orang-orang suruhannya untuk menyerang Valcano. Dua orang berbadan besar tadi langsung manghalau mereka. Giano mendekati Valcano, masih dengan tatapan penuh kemarahan.
“Lo musuh bebuyutan gue dari dulu.”
“Emang.”
Satu pukulan mendarat di perut Valcano. Cilla terkejut, syok, sampai mundur beberapa langkah. Valcano mengaduh kesakitan, lalu menatap lawannya. Tidak mau kalah, dia juga membalasnya, memberikan bogem di pipi Giano.
“Anjing!” Umpat Giano sambil berdiri.
Di tengah paniknya Cilla, tiba-tiba tubuhnya direngkuh oleh seseorang hingga membuat dirinya memberontak.
“Lepasin!” Teriak Cilla panik.
Siapa pelakunya? Dia adalah Anxer. Cilla agak trauma dengan lelaki ini, dia memberontak namun Anxer masih bersikeras untuk menarik Cilla.
“Lepasin!”
“Ikut gue!”
“Nggak mau,” jawabnya.
Mata Cilla menangkap Valcano yang terkapar. Astaga! Di tangan Giano ada belati. Valcano benar-benar kalah telak dengan Giano.
Gadis itu menendang tulang kering Anxer lalu menghampiri Valcano yang hendak ditusuk oleh belati oleh Giano. Anxer langsung menarik Cilla, karena tidak seimbang, tubuh Anxer jatuh di perut Valcano hingga belati itu menusuk punggung Anxer.
Giano terkejut, terlihat jelas saat Matanya melebar karena melihat siapa yang ditusuknya.
“An!” Cilla terkejut.
Valcano mengubah posisinya hinggan kepala Anxer ada di kakinya saat ini.
Sakit. Anxer merasakan kesakitan dipunggungnya. Darah mengalir deras dari sana saat Valcano dengan hati-hati mencabut belati itu dengan sapu tangannya. Sempat dia melihat Giano yang kabur.
“Panggil ambulance,” suruh Valcano kepada Cilla.
Cilla mengangguk lalu menghubungi ambulance, tak lupa juga dia menghubungi polisi. Avines datang dengan kepanikan yang sama, apalagi saat melihat Anxer.
“Astaga!” Avines segera menghampiri mereka.
“Dia ditusuk Giano, Vin,” kata Valcano.
“An.. Bertahan. Jangan tutup mata lo,” kata Cilla setelah menghubungi nomor polisi dan ambulance. “Mereka segera datang.”
“Sakit.” Hanya itu yang keluar dari mulut Anxer. Matanya masih tetap terbuka, sesekali dia meringis kesakitan.
“Jangan disentuh, Vin!” Valcano memperingatkan Avines yang hendak menyentuh belati itu. “Bahaya! Itu bisa jadi bukti kejahatan Giano.”
Avines memandang Anxer dengan ngeri. “Kita nggak bisa diam aja, dia kasihan.”
“Kita nggak bisa asal angkat dia, Vin,” kata Valcano.
“Tapi lihat dia.”
“Tahan punggungnya.”
Namun, Anxer menggelengkan kepalanya. “Sakit..”
Bersamaan dengan itu, suara sirine polisi menggema. Para petugas membopong tubuh Anxer dengan hati-hati sementara Cilla, Valcano dan Avines dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
•••
R : Kak, aku lupa alurnya.
M : Sama anjir.
°°
R : Kak, kapan update lagi?
M : Menunggu otak diajak kompromi, hwhw.
°°
R : Kak, kapan ceritanya tamat?
M : Gatau kapan, anjrit 😭