Saat ini, sepasang kekasih itu tengah berada di sebuah kafe yang terletak di dalam mall. Mereka berdua duduk berhadapan, bermain ask and answer.
"Kalau misal orang masa lalu itu datang, reaksi kamu gimana?"
Valcano menggedikan bahunya. "Aku orangnya gak terlalu ngurusin masa lalu sih, palingan ya biasa aja. Buat apa ngurusin masa lalu kalau kita selalu dihadangkan sama masa depan."
Cilla mengangguk, setuju. "Oke."
"Aku nih ya.. Kenapa masih betah sama cowok yang duduk di hadapan kamu saat ini?"
Cilla berfikir sejenak lalu menjawab, "Takdir aja sih," katanya acuh.
"Agak nyesek tapi tetep sayang," balas Valcano. "Apa pertanyaan buat aku?"
"Kalau dihadapkan sama dua pilihan, antara menunggu atau melepaskan.. Kamu pilih yang mana?" Tanyanya. "Oh iya, sama alasannya," lanjut Cilla.
"Gampang." Kata Valcano. "Aku pilih melepaskan. Karena, menunggu itu buang-buang waktu and.. yeah, menyakitkan saat menunggu suatu hal yang tidak pasti."
Cilla berfikir sejenak, meresapi ucapan Valcano.
"Kok diem? something wrong, honey?"
"No. That's your thought, Valcano," jawab Cilla dengan gelengan kepala. "Sekarang giliran kamu."
"Kalau aku mati, siapa aja yang nangis?"
Seketika mata Cilla melebar. "Lo ngomong gitu kayak mau minggat aja dari muka bumi, Val," katanya sinis.
Valcano tertawa. "Duh, gemes."
"Yang jelas kalau kasih pertanyaan."
"Gantengan King apa Aku?"
"Apa dong." Cilla tersenyum jahil.
"Ck!" Decak Valcano. "Yang serius. Gantengan siapa?"
"Ganteng sih, ganteng semua. Kan, kalian cowok, masa mau cantik gitu? Lagian, ganteng tuh nggak penting."
Valcano meminum coffe yang dipesannya, lalu setelahnya fokusnya kembali pada Cilla. "Ganteng cantik sekarang sih penting."
"Bodo ah, yang penting Val milik Cia."
"Setuju banget!" Valcano mengusap tangan Cilla.
"La! Illa!"
Valcano memincingkan matanya melihat seorang cowok yang tak jauh dari tempat duduknya. Cilla menoleh lalu terkejut saat melihat An.
"An? Kok lo disini?" Tanya Cilla.
"Mau janjian sama temen gue," jawabnya. Nadanya masih terkesan jutek. "Siapa lo?" Tanya An sambil menunjuk Valcano.
"Cowok gue, Valcano."
"Oh, pemimpin Reonus." An manggut-manggut. "Ya udah, gue mau balik."
Cilla bingung. "Lah? Emang temen lo udah dateng?"
"Mau pindah tempat," jawab An enteng.
•••
Setelah mengantarkan Cilla pulang, Valcano membelah jalanan dengan pikiran yang berkecamuk. Salah satunya lelaki yang bernama An itu.
"An.. An siapa sih? Anjing?" Gumamnya, sambil memegang kepalanya yang terasa pening. "Mungkin namanya Anjing kali yak? Makanya dipanggil An biar keren. Bukan main otaknya kalau punya ide."
Valcano ingin bertama kepada Cilla, namun takut jika nanti gadis itu marah.
Berbeda lagi dengan Cilla. Dia sedang duduk di dekat jendela kamarnya dengan kertas-kertas tulisan Valcano. Senyum gadis itu itu terus terukir saat mengingat kejadian yang dialami seharian ini dengan kekasihnya itu.
"Cia!"
Cilla tersadar. "Iya? Kenapa, Si?"
Silla mendekati Cilla. "Di panggil sama Mama, lo kan belum makan malam."
"Nggak.." Cilla menggeleng sambil bangkit dari duduknya. "Gue mau istirahat aja.. Capek."
"Cie.. Gue liatin senyum-senyum sendiri nih, ada apa?"
"Sia, gue lagi bucin nih."
"Ketebak sih, keliatan banget emang." Silla mengangguk. "Jadi, bunga yang di dekat kasur lo tuh dari dia?
"Iya.."
"Cabut ah," gumam Silla.
"Jangan! Rusuh lo."
•••
Lagi-lagi Cilla bertemu dengan An di halte dekat sekolahnya. Langkah Cilla membawanya kepada An yang tampak sedang duduk santai disana.
"An, kok lo disini?" Tanya Cilla.
An melirik Cilla, lalu pandangannya kembali lurus. "Masalah buat lo?"
Cilla menggeleng cepat. "Nggak, kan gue tanya. Jutek amat, huh?"
An tidak merespon.
"Lo nggak sekolah, An?"
"Ck!" Decak An. "Banyak omong lo."
Cilla menyilangkan tangannya di dada, dagunya dinaikkan sedikit agar terlihat arogan, membuat An menaikkan satu alisnya.
"Ngapain lo?" Tanya An.
"Bernafas sama lihat lo."
Senyum kecil terbit di bibir An. "Freak," batinnya. Dia langsunh berdiri, memberikan dua permen yupi kepada Cilla.
"Apa nih?"
"Buta lo? Jelas ini permen," katanya. Lalu, An meraih tangan Cilla dan memberikan permen itu dengan paksa. "Buat lo."
"Thanks."
"Ya udah, gue mau cabut," pamit An.
"An," cegah Cilla. "Lo nggak sekolah?"
"Sekolah."
"Dimana?"
"Pluto."
"Sialan."
•••
Tidak ada yang dilakukan oleh Valcano begitu Axel sudah mengatakan apa yang telah dilakukannya. Bingung, itu yang menggambarkan Valcano saat ini.
"Gimana?"
Valcano menggeleng. "Enggak. Nggak perlu. Gue bakal pake cara gue sendiri. Lo buat Giano kalang kabut udah seneng gue."
"Bagus lah," kata Axel dengan bangga.
"Lo kenal An?"
"An? Baru tau dari lo."
"Anak itu aneh banget," cibir Valcano. "Udah lah, gue mau balik. Thanks, bro."
Axel hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
Valcano kemudian keluar dari tempat itu dan melajukan motornya ke arah basecamp. Sudah lama dia tidak nongkrong dengan para temannya.
"Dari mana aja lo?" Tanya Seno saat Valcano baru saja datang.
"Rumah. Geser. Pantat lo besar sat."
"Allahu.."
Valcano bernafas lega karena temannya itu tidak curiga sama sekali. Namun, dugaannya itu salah karena Avines menariknya dan membawanya ke luar.
"Masalah lo sama Giano cepet selesaikan!"
•••
Cilla begitu terkejut saat melihat An berdiri di depan pagar rumahnya. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya. "Lo ngapain?" Tanya Cilla.
"Ngikutin lo," kata An.
"Eh?" Kaget Cilla.
"Gue sebenarnya pengen ajak lo keluar," kata An tiba-tiba yang mampu membuat Cilla kaget lagi. "Tapi ini udah malam, maybe next time."
"Besok?"
An mengangguk sekilas. "Maaf karena ngikutin lo tadi," katanya.
"Iya."
"Gue suka mata lo, La."
•••
Double up?
Beberapa part menuju ending🙆🏻♀️