Heartbeat

By ameiranou

143K 6.5K 215

"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang m... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Epilog

Chapter 14

2.2K 114 4
By ameiranou

Hallo👋🏻👋🏻👋🏻👋🏻

Akhirnya bisa up juga
abis bolak-balik benerin gegara eror:(

Sedikit curhat, hehehe.
Niatnya mau up rabu or kamis.
tapi, selasa, wp aku eror gabisa dibuka.
rabu nya mau lanjut nulis malah ilang
800 kata
jadinya sih nulis ulang, tapi gapapa.

Fyi, ini 3000+ kata.
Semoga kalian suka, kalau nemu kesalahan tandain aja, oke?:)

Oke, Happy reading<3

***


Altair memandang rumahnya yang malah cocok dikatakan sebagai bangunan tanpa penghuni. Rumah besar itu seperti tidak ada kehidupan, bahkan pekarangan rumah penuh dengan daun kering berhamburan karena tak terawat.
Altair melangkah masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu kayu, tidak ada sambutan yang menanyakan bagaimana sekolah Altair hari ini. Cowok itupun tidak banyak berharap yang malah membuatnya semakin menyalahkan hidupnya.

Altair memasuki kamarnya, meletakkan tas lalu melepas almamater dan menggantung di gantungan sisi meja belajar. Tidak butuh waktu banyak, Altair sudah keluar kamar dengan setelan santai rumahan. Di undakan tangga terakhir, Altair menampilkan seulas senyum tipisnya.

"Ma?" panggil Altair pada seorang wanita cantik yang sibuk dengan aktifitas merajut. Altair duduk di sofa seberang, mengamati ibunya yang begitu fokus, bahkan sapaan tadi hanya terbalas dengan senyum sekilas. Di usia empat puluh tahunan, paras cantik ibunya bagi Altair tidak pernah hilang. Tak diragukan memang, sebab ibunya pernah menjajah dunia model sebelum akhirnya memilih berhenti karena menikah. "Mama tadi udah makan?"

Anggita mendongak menatap putra semata wayangnya dengan senyum lebar. Altair menatap curiga. "Mama belum makan?"

"Ck, harusnya Mama yang tanya." Anggita berdecak pelan masih terus menatap Altair dengan pandangan lembutnya. "Tadi masak makanan kesukaan kamu. Terus makannya nunggu kamu."

"Oke, Altair udah pulang. Ayo, makan." Tapi ajakan itu mendapat gelengan pelan dari sang mama. "Ma---"

"Stss ... Mama selesain ini dulu. Kalau kamu mau makan ayo Mama siapin." Bukan hal itu yang Altair mau, ia menggeleng. Anggita mencebik. "Kamu mirip anak kecil. Ya udah, ayo makan."

Setelah perdebatan yang lumayan panjang, akhirnya ibu dan anak itu berjalan bersama menuju meja makan. Anggita tak melepas lengkungan bibirnya sembari menyiapkan makanan untuk Altair. Kemudian, mereka berdua makan dengan tenang.
Suasana seperti ini memang tidak terjadi sekali, dua kali. Meja makan yang cukup besar hanya diisi oleh dua orang. Jika saja sang kepala rumah tangga rumah ini ikut makan, maka hanya saat sarapan saja. Itupun terhitung sebulan tidak lebih dari lima kali.

Altair mendongak saat mendengar denting alat makan ibunya, saat ia mendongak, ia mendapati ibunya yang tengah mengelap bibirnya dengan tisu, lalu tersenyum kecil kearah Altair.

"Mama kepikiran buat buka toko roti, deh." Altair memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya, lalu menegak setengah gelas air dan menatap Anggita yang juga tengah menatapnya dengan berpangku tangan. "Gimana menurut, kamu?"

"Kenapa harus buka toko roti?" Bukannya memberi jawaban, Altair malah berbalik memberi pertanyaan. Anggita yang merasa ada nada sedikit tidak setuju dari putranya menghembuskan nafas pelan.

"Mama nggak ada kerjaan di rumah, nggak ada temen juga," ucap ibunya itu membuat Altair terdiam. "Oh iya, Mama juga punya ide buat tanam bunga di pekarangan depan. Masa keliatan serem," lanjutnya bergidik ngeri.

"Oke, nanti Altair bantuin," tambah Altair yang sebenarnya sedikit tidak setuju.

"Gampang itu. Nanti biar Mama ngomong dulu sama Papa---"

"Kenapa harus ngomong sama Papa dulu?" Kali ini nada Altair terdengar jelas tidak suka. Wajah putranya itu juga terlihat jelas menahan kekesalan. Anggita dengan kaku menampilkan senyum, lalu mengambil duduk bersebelahan dengan Altair.

"Kamu tuh kenapa sih, berantem mulu sama Papa, hm?" Anggita mengelus surai hitam anak lelakinya. Dulu sewaktu kecil, Altair tidak akan bisa tidur jika belum dipeluk dan dielus sang ibu. Bahkan, bisa dibilang Altair dulu adalah anak yang manja. "Tiap malem Mama denger juga sering debat."

"Mama denger?" Altair terkesiap, menatap mamanya yang diam menatapnya, karena jujur, Altair tidak pernah menyangka jika ungkapan kekesalannya ternyata di dengar oleh mamanya diam-diam.

"Kalian baikan, ya?" pinta Anggita yang tidak mendapat jawaban anggukan atau gelengan dari Altair. Menit berlalu dalam keheningan, Altair memilih bangkit, lantas memandang ibunya yang tersenyum.

"Lusa, kita ke rumah sakit, Ma." Anggita memudarkan senyumnya, tatapannya mengikuti kepergian Altair yang perlahan menghilang di ujung tangga.

Ketika gelapnya malam sudah benar-benar menguasai bumi, di lain tempat, di sebuah ruangan dengan pencahayaan redup, sosok lelaki dengan seragam sekolah yang tidak lagi rapi duduk bersandar menatap cahaya bulan lewat jendela kaca. Rambut hitamnya berantakan, dua kakinya terangkat lurus di atas meja di depannya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Wajahnya terbias cahaya bulan, kalau saja ada orang di tempat itu, terutama seorang perempuan, mungkin akan terpesona sebab selain memperlihatkan rahang tegas cowok itu, ketampanannya kian bertambah karena cahaya.
Setelah beberapa saat terjadi keheningan, cowok itu mendesah, merasakan kembali pikiran berat yang berkecamuk memenuhi kepalanya. Ia pun membungkuk mengambil bungkus rokok, setelah mendapatkan satu batang, ia mendekatkan ujungnya dengan api. Hembusan nafas bersamaan kepulan asap membumbung di hadapan wajahnya.

Dengan begitu saja, Daniel bisa merasakan masalah yang ikut keluar bersama asap rokok.

Dering suara ponsel mengalihkan atensinya dari sebatang rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan tengahnya menuju layar yang menampilkan panggilan telepon dari orang rumah. Sejak jarum jam menunjukan angka delapan, orang rumah tidak berhenti menghubungi, tidak lain untuk meminta Daniel pulang. Awalnya dari Dania---adik perempuannya itu, yang hanya Daniel balas lewat pesan singkat jika ia baik-baik saja. Padahal Daniel tahu jika jawaban itu bukan jawaban yang diinginkan sang adik. Dan kali ini, panggilan langsung ia dapat dari papanya---Tama. Daniel belum sempat menggeser tombol hijau tapi keburu mati. Disusul masuknya sebuah pesan singkat yang lebih seperti sebuah ancaman.

Yang Mulia Tama:

Pulang sekarang
atau nggak sama sekali!!!

Daniel berdecak malas, sebenarnya ia tahu ini hanya sekedar ancaman yang tidak akan terjadi betulan karena Daniel berlindung di balik punggung bundanya. Percayalah, ia akan selalu berada di posisi aman jika Rita sudah berdiri didepannya. Hanya saja, yang menjadi pemberat adalah, jika Daniel tidak pulang, maka siap-siap ia akan mendapat semburan Dania yang tidak terima bunda mendapat kemarahan papa karena Daniel. Sebenarnya, Daniel juga kasihan jika bunda mendapat bentakan pelampiasan amarah papa karena ulah dirinya, tapi ...

"Oke, gue pulang!" Daniel mematikan puntung rokok yang tinggal separuh, lalu bangkit menyambar tas dan almamater sebelum keluar dari tempat itu. Daniel menghampiri motornya, belum sempat menarik gas, Daniel mengumpat karena mendapati robekan cukup besar di ban belakangnya. "Bangsat, ini Ares bawanya gimana, sih?"

Daniel turun, mengamati ban motornya yang robek sepanjang hampir sepuluh sentimeter. Merogoh saku celana, Daniel langsung menghubungi Ares. Namun, ia malah mendapat umpatan.

"Anjing lo! Tengah malam ganggu orang tidur aja!"

"Baru jam sebelas, bego!”

"Serah lo! Cepetan lo mau bilang apa, ganggu orang pacaran sama Bae Suzy aja."

Daniel berdecak kesal. Tidak juga ingin lama-lama, Daniel langsung memberitahu alasan ia menelepon Ares.

"Eh, anjir, Niel. Gue bawa motor lo dalam keadaan sehat aman sentosa, ya. Kok, bisa sih?"

"Gue tanya lo karena gue juga nggak tau."

"Ya terus gimana?"

Daniel terdiam sejenak.
"Jemput gue, lah."

"Njir, mana bisa, Niel?"

"Ck, kenapa nggak bisa?"

"Guling gue nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk, bye!"

"Eh, anj---"

Ares lebih dulu memutus sambungan telepon sebelum Daniel menyelesaikan umpatannya. Daniel lagi-lagi berdecak. Jika begini, ia tidak tahu harus pulang dengan cara apa. Memesan taksi, tapi uang saku Daniel sudah habis untuk taksi siang tadi.

Daniel kembali membuka handphone, mencari peruntungan dengan menelpon adiknya, walaupun presentase telepon akan diangkat tidak menyentuh angka lima puluh persen. Sebab di jam segini, Dania biasanya sudah tidur.

"Dek?" Daniel menahan geli dengan sapaan yang ia berikan. Andai kalian tahu, sejak Daniel masuk sekolah menengah pertama, panggilan seperti ini tidak lagi Daniel berikan---kecuali kalau Daniel mempunyai niat terselubung seperti saat ini. Jujur, Daniel tidak menyangka jika Dania masih belum tidur.

"Minta sopir buat jemput Kakak, dong, Dek! Di tempat latihan, Kakak." Hampir lima menit, tidak ada jawaban. Daniel melirik layar handphonenya, masih terhubung.

"Dek?" Daniel mendesah kesal. Ia menduga kebiasaan Dania, yaitu mengangkat telepon setengah sadar lalu melanjutkan tidurnya. Dan itu artinya, sejak tadi Daniel berbicara sendiri. Mengumpat, Daniel mematikannya dengan kesal, kemudian kembali masuk ke dalam. Tak ada pilihan lain, mungkin Daniel akan bermalam disini dan meminta salah satu dari ketiga temannya untuk mengantar pulang besok pagi.

Baru juga Daniel memejamkan mata di sofa, suara deru mesin mobil di luar membuat keningnya mengeryit.

Siapa yang malam-malam datang kesini?

Daniel memilih bangkit lalu melihat siapa yang datang dari jendela. Senyumnya terbit kala mendapati mobil yang familiar. Tanpa membuang waktu, ia segera mengambil tas dan almamater lalu segera berlalu keluar.

"Jalan, Pak!" titah Daniel usai masuk lantas membanting tubuh lelahnya di jok belakang mobil. Daniel membenamkan wajahnya di lipatan kursi, memejamkan mata dan niat sepenuh hati ingin menjelajah alam mimpi. Namun, belum ada lima belas detik dari itu semua, sebuah suara lebih dulu menusuk indera pendengarannya membuat Daniel langsung mengangkat kepala dan menatap horor spion tengah mobil.

"Kamu kira Papa sopir?" Demi apa, Daniel membenturkan kepalanya beberapa kali ke kursi mobil saat ia dihadiahi tatapan tajam ayahnya.

"Aku bilang kan, dijemput sopir. Jadi ... ya, nggak tau!" elak Daniel. Ayolah, kalian tahu sendiri, kalau Daniel tadi meminta dijemput sopir, bukan dijemput Tama.

"Kamu pikir Dania mau bangun cuma buat nurutin apa mau kamu? Papa yang angkat!" Daniel mengacak rambutnya kasar, tak ada artinya menelepon Dania. Padahal, Daniel menelpon Dania untuk menghindari Tama.

Sebenarnya hubungan Daniel dan ayahnya tidak seburuk itu. Bagaimana mau buruk kalau bertemu saja jarang sekali. Ayahnya sering menghabiskan waktu untuk bekerja.
Dulu, sewaktu kecil Daniel sering merengek saat ayahnya terlibat pertemuan bisnis di luar kota hingga sampai berminggu-minggu lamanya, dan pertanyaan yang ia tanyakan tidak jauh dari kapan ayahnya akan pulang. Pastinya, ada maksud terselubung, seperti menanti mainan yang sempat ia pesan sebelum ayahnya berangkat.

Baiklah, untuk masalah kali ini ia anggap saja Dania benar, ia sendiri yang salah sebab meminta tolong. "Motornya kenapa?"

Daniel mendengus, tidak bisakah Tama menyimpan pertanyaan dulu untuk nanti?

"Bannya cuma robek."

"Kok bisa? Ban motor kamu mahal, Niel!" Tama sampai menoleh ke belakang melihat putranya yang berbaring dengan posisi tengkurap.

"Pa ... marahnya ditahan besok, ya? Daniel capek banget, nih." Daniel mendengar helaan nafas kasar dari Tama. Ia jelas tahu, kalau papanya itu sedang menahan marah sekaligus kesal. Tapi ... ya mau bagaimana lagi, Daniel sedang tidak ingin berdebat. Ia rindu akut untuk meraup kasur empuk nan wanginya. Bahkan ia tidak berniat mandi dulu nanti.

Lagian, untuk apa uang yang papanya cari selama ini kalau tidak dipakai?

"Motor kamu gimana?" tanya Tama sambil menghidupkan mesin mobil.

"Disini aman, kok, ga ada yang nyuri."

"Besok biar orang Papa yang ambil." Daniel hanya menjawab gumaman, kemudian ia merasakan mobil yang berjalan. Akhirnya sesi ini berakhir juga.

***

Dokter itu tersenyum setelah menempelkan plester kecil bewarna coklat di dagu kiri Nara. Setelah membereskan peralatan yang digunakan ia kembali menfokuskan tatapan ke arah Nara.

"Apa masih ada bagian yang sakit?" tanya dokter wanita itu yang dijawab gelengan pelan Nara. Dokter itu menghela nafasnya lega sembari menarik senyum. "Syukurlah, tinggal menunggu luka luar kering."

"Terimakasih, Dok." Dokter itu menoleh kearah wanita yang berdiri tak jauh dari ranjang.

"Sudah tugas saya, Bu," balas dokter dengan ramah. "Kalau ada keluhan nantinya, bisa menemui saya. Semoga lekas sembuh, saya permisi."

Setelah mendapat balasan berupa senyum tipis, dokter itu keluar meninggalkan Nara dan Trisha---wanita yang dua hari lalu tak sengaja menabraknya. Trisha berjalan lebih dekat, membantu Nara mengepak barang yang akan dibawa pulang karena setelah beberapa hari Nara dirawat, akhirnya Nara boleh pulang hari ini juga.

"Ibu panti tidak bisa ikut jemput, ada rapat di sekolah adik kamu. Jadi, pulangnya sama saya, ya?" Trisha berucap sembari sibuk mengaitkan resleting tas. Nara yang melihat itu meringis pelan, tidak enak membiarkan Trisha yang notabene-nya publik figur yang harusnya duduk tenang, tapi malah bekerja membereskan keperluan Nara.

"Bu Trisha, biar saya saja." Nara hendak mengambil alih kantong kresek tempat Trisha mengumpulkan wadah bekas makanan dan minuman, namun wanita itu menahan Nara dan menggeleng.

"Kamu duduk saja, ya!" ucap Trisha.

"Tapi Bu---"

"Anggap saja ini bagian dari permintaan maaf saya, ya?" Nara terdiam tidak lagi membantah. Setelah selesai, bertepatan dengan sopir Trisha yang datang, Trisha meminta tolong membawa tas ke mobil.

"Terimakasih, ya, Bu."

Trisha tersenyum lebar.
"Saya yang terimakasih karena sudah memaafkan saya. Sekarang kita tebus obat dulu, yuk."

Trisha dengan semangat membantu Nara turun dari ranjang lalu menggandengnya saat berjalan---seolah Nara anak kecil yang akan hilang jika tidak digandeng. Padahal, Nara pikir ia sudah baik-baik saja sekedar untuk berjalan.

"Saya minta suster ambilkan kursi roda aja, kali ya?" tanya Trisha yang sebenarnya ke dirinya sendiri. Namun, Nara yang tidak sengaja mendengar langsung menahan dan menggeleng pelan.

"Saya sudah baik-baik saja, Bu. Lagian kaki saya nggak ada luka," ucap Nara menjawab. Rasanya tidak enak jika terus-terusan Nara membebani Trisha. Memang benar, Trisha yang menabraknya, tapi wanita itu sudah menanggung biaya perawatan Nara, bahkan Trisha sampai izin hanya untuk menemani Nara---sebab Astrid mengurus anak panti lainnya.

"Kamu tunggu disini, saya mau tebus obat dulu." Nara mengangguk setelah duduk di kursi tunggu di depan apotek, lalu Trisha berjalan pergi.

Nara menghela nafasnya pelan. Akhirnya, ia bisa terbebas juga dari ruang rawat yang penuh dengan bau obat. Saat pulang nanti, Nara ingin melihat wajah satu-persatu adik pantinya. Sungguh, ia rindu.

Ketika mata Nara mengedar, ia tak sengaja mendapati Trisha yang berhenti di tengah jalan saat akan menuju ke arahnya. Gadis itu mengeryit penasaran, lantas mengikuti arah pandang Trisha yang tertuju ke arah seorang wanita yang duduk di kursi tunggu, sedikit lebih jauh dari tempat Nara. Wanita yang Nara tebak kalau umurnya tidak jauh beda dari Trisha itu hanya diam menatap kosong sampai tak menyadari jika Trisha menatapnya.

Hal itu terjadi beberapa menit, sebelum akhirnya Trisha membuang muka dan berjalan menghampiri Nara.

"Kamu nunggu lama, ya?" tanya Trisha yang dijawab gelengan oleh Nara. Setelah itu, Trisha membantu Nara berdiri, dan keduanya berjalan bersama-sama keluar rumah sakit. "Nanti kita mampir beli makanan dulu nggak papa kali, ya? Sekalian beliin anak panti lainnya."

Nara mengangguk seraya tersenyum tipis. "Terimakasih banyak, Bu."

"Iya, sama-sama," jawab Trisha yang tanpa diduga tangannya terangkat mengelus dahi Nara membuat Nara menatapnya dengan pandangan bingung. "Ngomong-ngomong, saya berniat pengen jadi donatur di panti."

Nara mengerjapkan matanya. "Ibu serius?"

"Masa iya saya bohong, sih?" sahut Trisha lalu terkekeh pelan. "Sekalian nanti saya ngomong sama ibu panti."

Nara tersenyum dan mengangguk, lantas mereka masuk ke dalam mobil, melaju meninggalkan rumah sakit.

"Ngh ... yang tadi temen Bu Trisha, ya?" tanya Nara memecah keheningan di dalam mobil. Trisha tampak mengerutkan kening, bingung tentang apa yang dimaksud. Saat mulai mengerti, Trisha hanya mengangguk dengan gerakan kaku, lalu diam cukup lama sebelum menjawab.

"Dia dulu model," jawab Trisha membuat Nara mengangguk tanda mengerti. Pantas, diusia yang tidak lagi muda masih terlihat cantik.

Setelah mendapat jawaban, Nara tak lagi membuka suara, keheningan terjadi lagi. Sampai mereka berhenti di tempat tujuan.

***

Sehari adalah waktu yang sudah cukup bagi Nara untuk beristirahat pasca keluar dari rumah sakit. Dan ketika hari ini bertepatan weekend, Nara berniat ke cafe book untuk mengembalikan buku yang beberapa hari lagi akan habis masa peminjaman. Setelah mengurus pengembalian ke petugas, Nara menyempatkan diri untuk melihat buku di rak buku. Namun, sudah ada belasan buku yang ia baca sekilas, tak ada yang menarik baginya.

"Nggak ada yang menarik kalau cara baca lo gitu."

Nara tersentak kaget, ia memutar badannya dan mendapati sosok cowok yang menatap lurus jajaran buku dengan kedua tangannya yang terselip dibalik saku celana.

Cowok itu yang tidak lain adalah Altair, berjalan maju hingga posisinya berada tepat di samping Nara. Tanpa menatap, cowok itu meraih satu buku lalu memberikannya pada Nara.

"Gue yakin lo bakal suka," ucap Altair lalu menoleh kearah Nara yang menunduk, mengamati buku yang barusan ia beri.

"Oke, makasih." Nara menjawab seraya mendongak, memberi senyuman pada Altair, tapi cowok itu malah mengerutkan keningnya.
Tangan Altair terangkat menyentuh dagu kiri Nara yang menarik perhatiannya. Sejenak, hal itu menciptakan dingin yang menerpa permukaan kulit Nara.

"Lo ... kenapa?" Altair menatap manik mata Nara yang hanya memandangnya tanpa arti kemudian beralih menatap tangan Nara yang menjauhkan tangannya dari dagu cewek itu. "Apa ini ada hubungannya sama lo yang waktu itu dibawa Daniel?"

"Nggak kok."

"Tapi waktu itu lo sama Daniel."

"I-iya, tapi ini karena aku nggak hati-hati nyebrang," sanggah Nara.

Altair diam, cowok itu tanpa membalas kembali memilah buku dan membacanya. Sedangkan Nara sendiri malah mengamati gerak bibir Altair yang sesekali bergumam tanpa suara, lalu beralih memandang wajah serius cowok itu. Tidak salah jika persepsi orang-orang---terutama anak Cakrawala mengatakan kalau Altair itu sosok yang tak tersentuh. Dilihat dari sini, Altair adalah tipe orang yang asik dengan dunia yang ia buat sendiri. Tidak membiarkan orang yang tanpa seizinnya masuk dan merusak dunia yang sudah susah-susah ia bangun.

"Ra?"

Panggilan itu membuat dahi Nara mengerut dan seketika tersentak. Nara mengerjapkan matanya berkali-kali hingga ia bisa melihat dengan jelas Altair yang menghadap pada dirinya.

"Y-ya?"

"Lo kenapa liatin gue?" tanya Altair yang membuat Nara salah tingkah. Cewek itu menggaruk belakang telinga, merutuki apa yang barusan ia pikirkan, dan akhirnya ia hanya bisa membalas dengan gelengan kaku. "Jadi gimana?"

"Hah?" Nara bingung, tidak  paham yang dimaksud Altair barusan. "A-apanya?"

Altair menarik bibirnya tipis, namun sayangnya hal itu disadari Nara. Astaga, bahkan ini kali kedua Nara mendapati Altair---cowok yang terkenal pendiam dan tak banyak tingkah serta ekspresi, tersenyum tipis dihadapannya.

"Matcha?"

Nara mengangguk, lalu berjalan mengikuti Altair yang lebih dulu berjalan mencari meja kosong.

"Besok lo masuk?"

"Iya, lagian udah hampir seminggu nggak masuk." Nara menampilkan senyum bersamaan dengan dua gelas minuman yang datang. Seketika aroma matcha menguar diantara mereka.

"Lo nggak keberatan?" Nara mengerutkan kening bingung, lalu Altair melanjutkan ucapannya. "Kalau gue pesen matcha?"

"Oh." Nara mengangguk paham, kemudian tersenyum. "Nggak papa, kok."

Keduanya sama-sama diam, menikmati suasana tenang ditemani wangi matcha yang menenangkan. Entah dari Altair yang bingung membuat topik obrolan, atau Nara yang masih segan untuk bersikap santai dengan Altair. Intinya, kedua orang itu memilih sibuk dengan buku di tangan masing-masing.

"Kayaknya mau hujan," celetuk Nara melihat keadaan luar dari jendela kaca yang lumayan lebar. Altair ikut menoleh, lalu mengiyakan tanpa suara. "Aku harus pulang, deh."

Altair mendongak menatap Nara yang bangkit dari duduknya. "Arah pulang lo kemana?"

Nara terdiam sejenak, lalu menjawab. "Jalan Gelora."

"Rumah gue lewat situ. Kita bisa naik taksi bareng." Altair bangkit membawa buku dan berlalu keluar seraya mengotak-atik ponsel di genggamannya. Nara mengekor dari belakang, hingga sampailah mereka di halte yang letaknya tidak jauh dari cafe book.

Setelah menunggu beberapa menit, sebuah taksi yang Altair pesan tadi berhenti tepat didepan keduanya. Altair memerintahkan Nara untuk masuk terlebih dahulu. Disusul oleh dirinya yang memposisikan duduk di samping Nara.

"Altair."

"Hm?" Altair menoleh seraya memandang Nara dengan satu alis terangkat, yang tanpa Altair sadari mampu membuat sosok Nara menahan nafas dan berakhir mengalihkan pandangan ke depan.

"Makasih." Nara tersenyum diakhir ucapan, Altair mengangguk sekali sebagai jawaban.

Taksi melaju meninggalkan halte, di tengah jalan yang taksi lalui, tak ada suara selain suara deru mesin taksi dan tetesan air yang mulai menghiasi jalanan ibu kota siang menjelang sore hari ini. Lagi-lagi mereka berdua terjebak dalam pikiran sendiri.

Altair yang tidak terlatih untuk membuat obrolan, dan Nara yang masih segan untuk membuka obrolan. Ia takut, Altair akan merasa tidak nyaman dengan obrolan yang ia buat nantinya.

TBC

Jangan lupa klik vote kawan:)

Menurut kalian setelah baca dari part awal sampe part ini, cerita ini tuh kecepatan apa malah kelamaan?

Oke deh, see you:)

Continue Reading

You'll Also Like

368K 27.6K 38
||BOOK 2|| "Hello, Dear. How are you?" *** COVER : CANVA PICT : PINTEREST [BOOK 2 | KETUA] [2020, Mei] [AIVIRDAALIA, STORY]
716K 48.8K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
3.7M 295K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
139K 24.2K 51
[FAN FICTION] -ˋˏ𝐂𝐎𝐌𝐏𝐋𝐄𝐓𝐄𝐃ˎˊ- ❝[𝕹𝖆𝖒𝖊] 𝕷𝖎𝖑𝖎𝖆𝖓𝖓𝖊 𝕯𝖎𝖌𝖌𝖔𝖗𝖞, 𝖘𝖊𝖔𝖗𝖆𝖓𝖌 𝖘𝖎𝖘𝖜𝖎 𝖘𝖑𝖞𝖙𝖍𝖊𝖗𝖎𝖓 𝖞𝖆𝖓𝖌 𝖒...