Mia tergelak, tetapi tak sanggup menutupi rona merah di wajahnya. Ada yang berbeda di dalam hati ini terhadap Fakhri. Tidak seperti dulu lagi. Namun, rasa itu masih samar seperti bayangan.
"Dih, ndak kreatif ... lagunya itu terus." Mia pura-pura mengejek.
"Ya sudah. Gimana kalau yang ini, tujhe dekha to ye jana sanam ... aku seng polah, tonggo seng nyangkem ...."
Mia semakin tergelak hingga berlinang air mata.
"Udah, ih, guyon terus," ucapnya sembari meredam tawa. Boleh juga selera humor pemuda di samping ini, pikirnya.
"Habisnya kamu diseriusin ndak mau. Ya diguyonin," jawab Fakhri.
"Makan aja dulu. Mia ndak bisa mikir serius kalau lagi laper. Lagian ini dedeknya udah nendang-nendang, pengen main bola sama gurami bakar."
Baru saja ingin menanggapi celetukan gadis berkerudung merah ini, suara Mia kembali terdengar, mengingatkan.
"Awas kebablasan. Tuh ... tuh, di situ ...," tunjuk Mia ke arah sebuah ruko sebelah kanan jalan. Terlihat asap hitam mengepul keluar.
Fakhri mengangguk, lalu memutar kemudi, berbelok sesuai arahan Mia.
Berdua keluar dari mobil, masuk ke dalam ruko. Mia sengaja memilih meja yang agak jauh dari pembakaran di depan. Lebih nyaman untuk berbincang tanpa terganggu oleh asap tebal.
Mia memesan gurami bakar kecap dan segelas es jeruk. Fakhri dengan tenang hanya berucap, sama.
"Ndak kreatif." Mia terkekeh menggoda.
"Bukan ndak kreatif, tapi biar bisa kompakan sama kamu. Aku pengen sejalan terus sama kamu, Mi." Fakhri semakin berani melontarkan keinginan terkait rasa cintanya.
"Aku ... terpikir untuk memaafkan Mas Fredy," lirih Mia hati-hati, takut menyakiti perasaan Fakhri.
Hening. Kerenyahan suasana tiba-tiba hilang, menguar bersama pernyataan yang baru saja disampaikan oleh Mia.
"Jadi, mau balikan sama dia?"
Mia menganggukkan kepala, lalu pura-pura sibuk dengan gawainya. Fakhri tersenyum kecut.
"Mas Fredy hanya khilaf. Selain itu, aku masih cinta sama dia. Bukankah cinta itu anugerah dari Tuhan?"
"Cinta itu memang anugerah dari Tuhan. Tapi manusia juga dibekali dengan akal serta pikiran. Jadi, jangan sampai menabrak semua aturan hanya dengan mengatasnamakan cinta. Itu salah besar, Mi," tutur Fakhri lembut walau hatinya tergores.
Cinta tidak lantas menghalalkan kita untuk berzinah, apalagi memperkosa. Kasih tak secara otomatis mengizinkan kita untuk mengikis habis semua norma yang ada. Cinta kasih bukan dewa penghalal segala cara.
Mia menegaskan lagi bahwa ia ingin memberikan satu kesempatan lagi untuk Fredy, asalkan pemuda itu bersedia untuk masuk Islam.
"Ya sudah, kamu coba aja. Aku tetap berdoa yang terbaik untukmu, Mi." Fakhri pasrah. "Tapi ... selama belum menikah dengan Fredy, aku akan tetap menunggu."
Mia tercenung sesaat. Ia terharu pada kesungguhan hati Fakhri.
Untung saja makanan serta minuman yang dipesan segera datang. Mereka jadi punya waktu untuk menetralkan suasana sembari menikmati hidangan.
Tekad Mia untuk mendalami agama memang semakin besar. Secara perlahan, ia mulai merasakan kedekatan dengan Tuhan. Fakhri membawa pengaruh besar, selain niat menaklukkan Fredy tentunya. Kadang kala, pasangan bisa menjadi pemicu semangat untuk kita mempelajari sebuah agama, bukan orang tua atau keluarga. Itu juga yang diharapkan Mia dari Fredy.
"Yang penting, jangan sampai kamu yang pindah ke agama Fredy. Itu aja pesanku." Fakhri berucap di sela makan.
Mia diam saja. Ia tidak mau berspekulasi. Masih harus bertemu dengan Fredy, membahas lebih dalam tentang kepastian hubungan mereka. Ia yakin, pemuda itu masih sangat mencintainya. Salah satu harus mengalah jika tak ingin menyerah.
"Kok diem, Mi?"
"Aku semakin cinta dengan agamaku. Tapi ... ndak tahu wis, Mas." Raut wajah Mia menampakkan kebimbangan, membuat Fakhri semakin cemas.
Semoga Allah menguatkanmu, batin Fakhri.
Fakhri memberi kesempatan pada Mia untuk menaklukkan diri sendiri, juga menguji seberapa tebal kadar keimanan gadis tersebut. Jika kalah terhadap nafsu, maka Mia memang bukan gadis yang tepat untuknya. Fakhri berserah pada Illahi, yang ia yakini akan selalu memberikan perempuan terbaik bagi dirinya. Ia memang berharap, perempuan itu adalah Mia.
Sementara Mia dan Fakhri menghabiskan waktu bersama, Fredy dan sahabat-sahabatnya terlibat diskusi yang cukup serius.
"Bah! Kalian tak ada yang mendukung aku. Sahabat macam mana pula kalian ini," rutuk Fredy seraya menyendokkan nasi Padang ke dalam mulutnya sedikit kasar, kesal.
"Bukan nggak mendukung, tapi lihat aja. Mereka memang cocok. Serasi. Agama sama, suku sama, chemistry juga dapet. Kurang apa coba?" Merry penuh semangat menanggapi keluhan Fredy.
"Nyerah aja, Bro. Cari yang lain. Seorang Fredy Siahaan, gagah mempesona, pasti nggak sulit buat ngedapetin cewek." Christ berusaha membesarkan hati sahabatnya.
"Memang tak sulit lah untuk dapat cewek dengan tampang seganteng aku, juga tubuh segagah aku ini," jawabnya jemawa, mengangkat ujung kerah kemaja yang dipakai.
"Tapi, masalahnya ... cintaku itu cuma buat Mia seorang. Cuma dia yang ada di sini," imbuh Fredy menepuk dada pelan, memasang wajah melas.
Memang susah bicara dengan orang yang sedang dimabuk cinta. Namanya saja lagi mabuk, mana bisa berpikir normal. Apa pun yang kita ucapkan hanya akan sepintas lalu didengarkan. Orang bilang, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Percuma.
"Kira-kira, mereka sedang apa sekarang?" Fredy bertanya pada dirinya sendiri. Percuma juga bertanya pada sepasang kekasih di seberang meja sana.
"Ye mene ketehek," sahut Merry, sesuai perkiraan Fredy.
"Dari pada lo mati penasaran, mending langsung aja tanya sama yang bersangkutan." Christ memberi komentar.
Tanpa menjawab, Fredy langsung menyambar ponselnya yang tergeletak merana di atas meja. Jawaban pemuda bermata sipit tersebut memberinya inspirasi untuk mengganggu acara Mia dan Fakhri.
Baru mengetik beberapa kata, Fredy menghapusnya kembali. Tercetus sebuah ide gila. Ia berinisiatif meminjam ponsel Merry. Alasannya, biar lebih meyakinkan.
Tanpa curiga, Merry menyerahkan ponselnya. Sempat juga melontarkan pertanyaan, untuk apa. Fredy menjawab singkat, penting. Lain hal dengan Christ, merasa curiga. Ia mengerti kebiasaan sahabatnya saat sedang dilanda cemburu.
Pasti sesuatu yang gak beres, terka Christ dalam hati.
Memasang tampang serius, Fredy mulai mengetikkan kata menjadi kalimat. Tidak lama setelah mengirimkan pesan, langsung menerima balasan. Setelah membaca sebentar, pemuda itu langsung beranjak berdiri seraya memberikan kembali ponsel tersebut pada empunya.
"Aku pergi dulu," pamit Fredy, meraih ransel di atas meja.
"Ke mana?" Christ mengangkat dagu sekilas.
"Tak usah kau banyak tanya!" Fredy mengibaskan sebelah tangan, lalu pergi.
Selepas Fredy pergi, ponsel Merry berbunyi.
Mia.
"Tolong tahan Fredy. Aku balik ke situ sekarang," ujar Mia setelah Merry mengucap halo.
Belum sempat Merry bertanya maksud Mia, panggilan sudah lebih dulu diputus secara sepihak.
Merry mengernyitkan kening, tidak mengerti maksud Mia. Merasa penasaran, ia melihat riwayat pesan. Sontak kekasih Christ tersebut terbelalak setelah membaca pesan yang dikirimkan Fredy tadi.
"Kenapa, Beb?"
"Gawat!"
Penasaran kelanjutannya? Sudah naik cetak loh. Silakan inbox untuk yang ingin membeli.