Aku mengerang bangun. Kepalaku pusing hingga membuat penglihatanku kabur. Aku menyadari ada sesuatu disumpal ke salah satu lubang hidungku.
"Singkat sekali waktu tidurmu, bocah."
Aku beranjak duduk dan melepas kain yang menyumpal hidungku. Kain itu basah oleh darah. Sepertinya aku pingsan setelah mimisan. Aku ingat kepalaku tiba-tiba diserang rasa sakit dan pusing yang luar biasa.
"Berapa lama aku pingsan?" tanyaku pada Cave yang sedang merakit sesuatu.
"Mungkin sepuluh menit."
Cave berhenti merakit lalu memberikan segelas air padaku.
"Eng ... anu ...."
"Apa? Panggil aku Cave saja."
"Cave, aku penasaran kenapa racun dari bisa ular itu tidak membunuh manusia dalam waktu singkat." Aku meletakkan gelas. "Biasanya bisa ular itu dapat membunuh manusia kurang dari waktu sejam."
"Oh? Jadi ular-ular di Bumi begitu, ya, bocah?" Cave mengambil gelasku lalu kembali merakit. "Sekali gigit, racun ular itu menyebar di dalam tubuh selama satu jam. Baru setelah itu efeknya muncul dan menyiksa manusia selama enam jam sampai mati."
Aku bergidik ngeri.
"Tapi beda cerita jika seseorang kena darah dari orang yang kena gigit. Racunnya menjadi lebih kuat setelah tercampur dengan darah. Oleh sebab itu orang yang kena darah yang sudah tercampur racunnya akan lebih cepat tumbang, walaupun racunnya hanya masuk melalui permukaan kulit.
"Masih untung aku berikan penawar sementara. Jika tidak, kau akan merasakan sakit yang lebih luar biasa."
Aku bergeming, menatap kakiku yang berselonjor. Pandangan yang masih sedikit kabur membuatku hampir tidak bisa melihat ujung jari kakiku dengan jelas.
Sedetik kemudian aku sadar, aku membuat teman-teman kesusahan memburu ular berkepala tiga. Sedangkan aku berbaring santai di sini.
Aku langsung berdiri dan memasang pakaianku yang masih basah serta mengambil pelontar petasan dan bambu runcing milikku. Dengan cepat aku memasang sepatu sebelum Cave mencegahku pergi.
"Hei, bocah alis aneh! Mau kemana kau!?" teriak Cave.
Aku tetap berlari menuju perkebunan karet tanpa menghiraukan teriakan Cave.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk sampai ke perkebunan karet. Helen dan Alec terkapar tak sadarkan diri, sedangkan sisanya masih berusaha membunuh ular itu.
Teman-teman yang lain belum menyadari keberadaanku. Aku mengambil busur dan panah milik Helen, membantu dari jauh untuk membidik kepala ular.
"Sial ...."
Pandanganku masih kabur. Aku tidak bisa melihat jarak jauh. Tangan kiriku pun belum sanggup menahan busur untuk menarik anak panah dengan kencang.
Tidak ada pilihan lain. Aku juga harus bergabung ke sana.
"Evelyn!? Kenapa kamu di sini!?" seru Emily yang kaget melihatku. Karena lengah, kepala tengah ular itu menghantam tubuhnya.
"Emily!"
Aku berlari menghampiri. Sebelum aku sampai, ular itu menyerangku. Segera kuarahkan ujung bambu runcing yang tadi kubawa ke arah mulut kepala kirinya yang ingin menggigitku.
Aku menusukkan bambu ke pangkal tenggorokan mulut kepala kiri ular. Aku sedikit masuk ke dalam mulutnya.
Sial. Mulutnya sangat bau seperti aroma kaos kaki Hugo yang tidak pernah dicuci.
Aku segera keluar dari mulutnya, membiarkan ular itu tersedak bambu yang kutusukkan. Mulutnya terbuka lebar. Aku pun mengambil pelontar petasan dan menembak mulutnya. Namun itu tidak membuat dia menyerah. Dia hanya terkejut sebentar.
Memanfaatkan waktu yang sangat singkat, aku membantu Emily berdiri dan menjauh dari ular.
Teman-teman yang lain sepertinya sudah menyadari keberadaanku. Mereka memancing ular itu menjauh dariku dan Emily.
"Kamu masih bisa berdiri, 'kan?" tanyaku. "Bawa Helen dan Alec ke tempat aman."
Baru saja aku kembali berdiri, Emily menahan tanganku. "Evelyn, jangan ke sana," lirihnya. "Hidungmu berdarah lagi."
Aku segera mengusap hidungku. Sepertinya sedikit lebih parah dari sebelumnya.
"Ini tidak apa-ap—Akh!"
Tiba-tiba jantung dan paru-paruku seakan dihujani ribuan jarum. Aku terduduk menahan sakit. Darah semakin banyak menetes dari hidungku dan kurasakan ada darah yang mengalir keluar dari mulutku.
"Eve! Kondisimu makin parah. Jangan ke sana!"
"Aku masih bisa berdiri!"
Aku meludahkan darah. Mengabaikan Emily, aku mengambil bambu milik Alec dan kembali bergegas menghampiri ular itu. Aku naik ke atas pohon karet. Amarah karena ular itu membuat teman-teman terluka lebih menguasai diriku dibanding dengan rasa sakit.
Tepat saat kepala ular itu berada di bawah pohon karet yang kunaiki, aku melompat turun dengan mengarahkan ujung bambu ke kepala tengahnya. Aku berhasil menancapkannya dan terbaring di atas tubuh bersisiknya.
Wanita berambut coklat panjang tiba-tiba muncul di hadapanku.
"Eh? Apa yang terjadi?"
"Kenapa kamu disini, Eve!? Cepat bangun! Bunuh ular itu!"
"Huh?"
"Abaikan rasa sakitnya! Pertahankan kesadaranmu! Bunuh dia!"
Aku tersentak dan bangun. Sepertinya aku pingsan selama beberapa detik. Aku masih di atas tubuh ular ini. Aku beringsut mengambil bambu yang tertancap. Ular ini sudah semakin lemah.
Rasa pusing kembali menyerangku hingga pandanganku semakin mengabur. Aku mati-matian mempertahankan kesadaran.
Aku mencabut bambu lalu menusuk kepala tengah dan kiri ular itu berulang kali. Aku tidak menusuk kepala kanannya karena aku bisa merusak penawar yang ada di kepalanya.
"Matilah kau!"
Tiba-tiba dia menyentak tubuhnya dan membuatku terlempar beberapa meter. Aku terpelanting ke arah Marcia hingga kami berdua sama-sama terbentur batang pohon karet dengan keras. Marcia memuntahkan darah dan mengenai pakaianku.
"Marcia! Maafkan aku! Karenaku, kamu jadi …."
Mataku menangkap sesuatu yang aneh di jemari tangan Marcia. Ada bercak hijau di sana.
Ck, aku baru menyadarinya. Waktu itu Marcia memeriksa Ega. Dia tidak sengaja terkena darah Ega saat mencubit cuping hidungnya.
"Kenapa kamu tidak bilang!?"
"Maaf ...."
Aku kembali bangun untuk menyerang ular itu kembali. Tapi sebelum sempat aku melangkah, dadaku kembali diserang rasa sakit yang luar biasa.
Kali ini rasa sakitnya melebihi yang sebelumnya. Aku jatuh terbaring memuntahkan darah yang banyak dan mengalami mimisan yang parah.
"Evelyn!"
"Eve! Marcia! Cepat pergi dari sana!"
Aku mendongak. Penglihatanku kabur, tapi aku tahu ular itu sedang mendekat kemari.
Marcia yang masih bisa berdiri segera membawaku menjauh, tapi itu terlambat. Ular itu sudah ada tepat di hadapan kami.
Tiba-tiba tiga buah anak panah yang panjang melesat dan tertancap ke tiga kepala ular itu dengan cepat. Ular itu langsung terkapar tidak bergerak.
"Dasar bocah-bocah. Kalian terlalu semangat ingin membunuhnya. Aku belum selesai merakit senjataku, tahu."
Pandanganku menggelap.
¤¤¤
"Ah! Kau menumpahkannya, Cave!"
"Apa? Bukan salahku, bocah perak. Kau yang meletakkan gelasnya di dekat tanganku."
"Namaku bukan bocah perak! Namaku Hugo!"
"Iya, iya, bocah perak."
"Kau tidak mendengarkan! Ck, aku harus mengganti airnya. Cave, kau yang menumpahkannya tadi, sana ambil air!"
"Kau bicara seperti itu dengan orang yang menyelamatkan kekasihmu, he?"
"Ap--! Dia bukan …."
"Mengaku saja, bocah perak."
"Sudahlah, kalian berdua. Jangan membuat keributan di depan orang sakit."
Mataku perlahan terbuka. Tidak ada rasa pusing. Tidak ada rasa sakit di dadaku. Benar-benar tidak ada rasa sakit di mana pun. Tetapi tubuhku terasa lemas.
"Eve, bagaimana perasaanmu? Sudah mendingan?"
Uly duduk di sampingku. Selain itu, ada Hugo dan Cave. Sepertinya mereka menungguku siuman.
"Aku ... baik-baik saja ...."
Tersadar akan sesuatu, aku langsung duduk. "Bagaimana dengan teman-teman yang lain!?"
"Mereka baik-baik saja, kok," jawab Uly. "Duh, jangan tiba-tiba bangun begitu, dong."
"Kau ini bodoh atau apa, bocah? Kondisimu sangat parah tapi masih nekat," sahut Cave. Hugo menyikutnya hingga dia mengaduh.
Aku menunduk. "Maaf ...."
Cave mengangguk-angguk dan melipat kedua tangannya di dada. "Sudah seharusnya kau meminta maaf—Ouch!"
Hugo menyikut perut Cave.
"Kau tidak sopan sekali, bocah perak!"
"Sudah kubilang namaku Hugo!"
"Oh iya." Aku memotong pertengkaran kecil mereka. "Bagaimana dengan Ega?"
"Dia baik-baik saja, sudah diantar ke rumahnya," jawab Uly.
Aku menghela napas lega. Seandainya terjadi hal yang lebih buruk pada Ega, aku tidak yakin akan dimaafkan oleh tetua, meskipun aku termasuk orang yang disanjung-sanjungkannya.
"Cave, terima kasih sudah menyelamatkan kami."
Cave mendengus. "Heh, tidak perlu berterima kasih. Berkat kalian yang menyibukkan ular itu, akhirnya aku bisa membunuhnya dengan mudah dan mengambil penawar yang ada di kepalanya. Aku akan menjual penawar itu dan dapat bahan makanan yang banyak dari warga. HAHAHA!"
Hei, sepertinya orang ini sudah gila.
"Omong-omong, bocah, senjata kalian terlalu buruk. Apa kalian tidak bisa membuat senjata yang lebih hebat, he? Bagaimana caranya kalian menaklukkan hutan pulau ini di musim panas?"
"Hanya itu senjata terbaik yang bisa kami buat sampai sekarang. Peralatan kami tidak banyak walau pengetahuan kami terbilang cukup," jawabku. "Bisa dibilang kami memiliki keterampilan yang kurang."
"Ck, bocah, jangan membuat aku mengatakannya." Cave berdiri, mengambil gelas dari tangan Hugo dan berjalan menuju pintu kamar.
"Mengatakan apa?"
Cave menghentikan langkah, lalu berbalik ke arah kami bertiga. "Ajari aku membuat benda yang meletus-letus dan asap berwarna itu. Aku akan membantu kalian membuat senjata yang lebih hebat."
*
50 Days to Escape
.
.
**Eavesdrop**
"Di mana kau sekarang?"
"Kenapa di pulau ini tidak ada matahari?"
"Racun?"
~ Istirahat ~
TBC
.
IsoPedia!
Ketika digigit ular, pertolongan pertama yang dapat dilakukan yaitu tetap tenang, membebaskan area bekas gigitan dari benda-benda seperti perhiasan atau sepatu, mengikat bagian atas luka gigitan dengan sobekan kain atau tali (namun cara ini kurang membantu, lakukan ketika darurat saja), diusahakan untuk tidak menggerak-gerakkan bagian tubuh yang kena gigit, serta memposisikan area tubuh yang kena gigit agar tetap berada di bawah jantung. Jangan lupa untuk segera memanggil bantuan dan pergi ke pelayanan kesehatan terdekat.
(Sumber: berbagai web di google. Kata kunci: Pertolongan pertama ketika digigit ular)
Jangan lupa tinggalkan jejak! >_<
22 Juli 2021
Izask