Heartbeat

By ameiranou

143K 6.5K 215

"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang m... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Epilog

Chapter 8

3.4K 163 16
By ameiranou

Hallo, ada yang nunggu
Heartbeat update?

Aku tahu ini lama, tapi aku mencoba fokus dulu buat ending part di lapak Arjuna xixixi.

Dan yeay! Aku udah bisa fokus ke heartbeat😂

Maaf buat kalian nungguin, tapi ini part hampir 3000 kata wih✊🏻

Oh, jangan lupa vote komen ya!
Biar makin semangat gitu.
Oke happy reading guys!

***

Gelapnya langit malam sedikitpun tidak mengurangi suasana ramainya ibukota. Dilihat dari rooftop gedung yang saat ini cowok itu pijaki, kendaraan sudah seperti semut yang berjalan runtut mengeluarkan cahaya. Udara dingin malam menerpa kulit wajahnya, namun sedikitpun ia tak terusik dan tetap lebih memilih untuk melanjutkan kegiatan memandangi jalanan kota.

Altair---cowok dengan hoodie army itu duduk memeluk lututnya. Dengan tudung yang ia kenakan untuk menutupi kepala, Altair memilih menghabiskan malamnya dengan menikmati sendiri pesona ibukota dari atas rooftop yang memang sudah biasa ia datangi.

Keadaan tenang jauh dari keramaian adalah tempat paling nyaman bagi Altair. Karakter Altair memang selalu merasa risih dengan keramaian, mungkin itulah yang membuat ia dianggap aneh oleh anak Cakrawala. Keramaian membuat jiwa tenang Altair terusik, dan pada akhirnya Altair akan kelepasan untuk menatap tidak suka orang yang berbuat keramaian.

Kepalanya menengadah saat menerima tetesan air dari langit, sisa hujan deras yang tadi sore mengguyur bumi. Ia mendesah, lalu beralih meluruskan kaki dengan kedua tangan kebelakang menyangga tubuh. Langit malam ini sepi, tidak ada butiran bersinar sebagai hiasan dan juga tidak ada satelit bumi yang menemani.

Seperti hidupnya.

Matanya terpejam, menikmati kembali semilir angin malam yang menerpa wajah tampannya. Altair tahu, jika angin malam tidak pernah baik untuk kesehatan. Ibunya selalu berkata seperti itu.

Dering ponsel berbunyi, tidak ada alasan untuk Altair menolak. Kontaknya hanya dimiliki oleh orang terdekat, bahkan teman satu kelasnya tidak semua yang memiliki kontak Altair. Lagi-lagi karena rasa takut jika harus menyimpan nomor cowok aneh seperti Altair, lain dengan Belinda, hanya cewek itu yang menyimpan kontak Altair.

Nama orang yang telah berhasil berjuang membantunya melihat dunia terpampang di layar handphone; ibunya. Altair segera menekan tombol bewarna hijau lalu mendekatkannya pada telinga.

"Altair disini, Ma."

Terdengar suara penuh kekhawatiran disana. Altair tersenyum kaku, sedikit lega jika ibunya hanya menelpon untuk memintanya segera pulang.

"Iya, Altair pulang. Mama tunggu, ya?"

Setelah mendapat jawaban setuju, Altair segera mematikan sambungan telpon dan beranjak untuk turun dari rooftop. Altair menaiki taksi untuk cepat sampai di rumah. Beberapa menit kemudian, taksi berhenti di sebuah rumah megah yang ada di kompleks perumahan elit. Altair membayar ongkos taksinya, lalu memasuki rumah bewarna putih itu.

"Kamu kemana aja, sayang?" Kedatangan Altair disambut oleh pelukan hangat dari sang ibu. Altair tersenyum samar, lantas membalas pelukan Anggita---ibunya.

"Kamu udah makan?" Anggita bertanya setelah melepas pelukannya pada anak sematawayangnya. Altair membalas dengan gelengan. "Mama udah masak banyak buat kamu. Makan sama Mama, ya?"

Altair hanya mengangguk tidak berniat menolak. Baginya, apapun yang membuat mamanya bahagia maka Altair juga ikut bahagia.

Makan malam yang berisi dua orang dengan keheningan itu akhirnya berakhir. Anggita lebih dulu naik menuju lantai dua letak kamarnya berada. Sedangkan Altair lagi-lagi termenung di sofa ruang tengah. Beberapa jam berlalu hanya terjadi keheningan di ruang tengah tempat Altair berada. Sesaat kemudian, suara pintu terbuka memecah keheningan, disusul suara derap langkah kaki menuju ruang tengah.

"Kamu belum tidur?" Pertanyaan itu entah harus Altair respon bagaimana.

Altair menghela nafas, bangkit berdiri lalu memandang seorang lelaki yang tampak gagah dengan jas yang ia kenakan.
"Papa juga baru pulang?" tanya balik Altair lebih pada nada sindiran.

Pria itu melirik jam dinding, pukul sepuluh malam. Menghela nafas pelan, ia memilih menjawab, "Kamu tahu Papa kerja!"

"Kerja cari sesuatu?" Altair menyeringai saat melihat rahang ayahnya yang mengetat tanda tersinggung sebab ucapan Altair barusan. Tanpa menunggu respon yang akan ayahnya berikan, Altair lebih dulu memilih meninggalkan ruang tengah.

***

Bel istirahat berbunyi sebagai pertanda berakhirnya jam pelajaran dan berganti menjadi jam istirahat. Sejak kepergian guru beberapa menit yang lalu, Safira memulai aksinya dengan menarik tangan Nara untuk mengikutinya ke kantin. Nara beberapa kali menolak dengan alasan ingin melengkapi tugas yang belum selesai. Namun, rayuan Safira memang tidak bisa dielakkan hingga sekarang dua cewek itu berjalan beriringan menuju kantin.

"Lo kemarin nggak diapa-apain sama Altair, kan?" Pertanyaan dari Safira memecah keheningan suasana perjalanan mereka. Nara menoleh mengeryitkan alisnya.

"Emang Altair bakalan ngapain?"

Safira menghela nafas pelan.
"Ya ... siapa tau dia berbuat hal nggak baik. Lo udah tahu, kan, kalau Altair bukan orang yang mudah ditebak pikirannya?"

Gantian Nara yang menghela nafas ketika mendengar pernyataan Safira. "Fira, pikiran tiap orang itu privasi mereka."

"Tapi ada beberapa yang harus kita tebak buat waspada, ya, kan?" Safira berargumen mencoba tak mau kalah. Menarik nafas, Nara memilih mengangguk saja. Toh, yang diucapkan Safira sepenuhnya ada benarnya juga.

Mereka sampai di kantin, Safira memilih tempat duduk, sedangkan Nara membeli pesanan mereka berdua. Setelah mendapat pesanannya, Nara berbalik berniat menuju mejanya dan Safira. Namun, tidak disangka ketika hal itu bersamaan dengan Altair yang juga berbalik dari antrian di samping Nara.

Keduanya terlibat adegan saling tatap selang beberapa detik, sebelum akhirnya Nara menunduk membuat tatapan mereka terputus. "Makasih, buat yang kemarin."

Nara berniat pergi setelah mengucapkan kata itu sebagai balasan tumpangan taksi Altair kemarin. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar jawaban Altair yang bukan Nara harapkan.

"Gue bukan orang yang nerima ucapan dari orang yang nggak gue kenal." Nara berbalik menatap Altair dengan kening mengeryit. Altair maju sedikit mendekat. "Lo siapa?"

Mulut Nara bergetar gagap, bingung ingin menjawab apa pertanyaan Altair barusan.

"Bu-bukannya kita udah kenal?"

"Lebih tepatnya lo, bukan gue!" Saat Altair hendak berbalik, Nara reflek menarik baju cowok itu dengan sedikit susah karena memang saat ini Nara tengah membawa nampan.

"Nara," ucap Nara memberitahu namanya. Altair terlihat diam, lalu menggerakkan tubuhnya hingga tarikan Nara terlepas. Setelah itu, Altair memilih pergi.

Sudut kantin, tempat empat orang cowok berkumpul itu mendadak sepi. Semuanya memfokuskan mata pada adegan yang jelas mengundang tatapan seluruh isi kantin. Dimana disana, Altair---si cowok aneh, tengah terlibat percakapan dengan seorang cewek.

"Si cupu tumben ke kantin," celetuk Theo tepat setelah Altair meninggalkan tempat kejadian. Terlihat, Nara yang juga berjalan menuju mejanya. Celetukan Theo belum mendapat respon, masih terjadi keheningan diantara mereka. "Anjing diem!"

Daniel mendengus lalu bersandar pada tembok kantin. Jangan tanyakan bagaimana posisi duduknya saat ini, kedua kaki telah terangkat ke atas meja, tangan bersedekap di dada dan matanya terpejam, namun sial, otaknya terus bekerja mengulang rekaan adegan antara si cupu---Altair dan Nara.

"Btw, ceweknya kayak pernah tau." Ares bertanya, tapi Daniel tidak berniat menjawab jika cewek itu sama dengan cewek yang dihukum bersama mereka kala itu.

"Masa lupa? Itu cewek yang dipukul Daniel, kan?" jawab Erick langsung membuat Daniel membuka mata dan menatap Erick dengan pandangan aneh. "Lo kenapa?"

Daniel melirik Nara yang terlihat berdiri dari duduknya dan keluar kantin. Tanpa sepengetahuan ketiga temannya, Daniel langsung bangkit.

"Niel, lo mau kemana?" tanya Theo setelah menyadari kepergian Daniel. Tidak ada jawaban yang Daniel berikan, cowok itu seolah menulikan pendengarannya. Daniel mengikuti langkah Nara hingga sampai di lorong laboratorium. Cewek itu tadi terlihat pergi sendiri meninggalkan temannya yang duduk sendirian di kantin. Daniel menoleh ke sana kemari, diikuti gerakan tubuhnya yang berbalik mencari keberadaan Nara.

"Kemana sih tuh cewek," gumam Daniel saat untuk kesekian kalinya matanya tidak berhasil mendapati keberadaan Nara. Mata hitamnya terpejam disusul tangannya yang terkepal, mencari keberadaan Nara kenapa bisa semenyusahkan ini?

"Da-niel?" Ucapan pelan yang tersirat nada ketakutan itu membuat Daniel membalikan tubuhnya kearah asal suara. Ketika matanya menjumpai apa yang sejak tadi ia cari, bibir tebal itu langsung menyeringai tak lupa kedua tangan terangkat berkacak pinggang.

Nara. Gadis itu langsung menegang tidak berani bergerak. Seharusnya ia tidak usah terkejut dengan keberadaan Daniel hingga membuat ia reflek memanggil nama cowok itu, atau opsi terbaik adalah Nara menunda keluar lebih dulu dari kamar mandi.

Daniel terlihat menghela nafas kasar lalu membuang muka kearah yang berlawanan dengan arah menuju kantin. Ini kesempatan untuk Nara pergi tanpa harus berurusan dengan Daniel.
Dengan langkah tanpa suara, Nara berjalan.
Namun, baru saja beberapa langkah, satu tangannya lebih dulu ditarik oleh Daniel. Hal itu membuat Nara berbalik badan dan berakhir menabrak dada bidang Daniel. Astaga, posisi macam apa ini?

"Lo mau kemana?" Suara berat Daniel menyapa indera pendengaran Nara membuat Nara merinding. Dua tangannya bergerak untuk mendorong dada Daniel, namun yang ia lakukan sepertinya hanya hantaman angin untuk Daniel. Bahkan satu tangan Daniel tanpa diminta telah menahan punggung Nara.

"Tolong, lepas!" pinta Nara masih mencoba mendorong dada Daniel. Nara mendongak, menatap manik hitam mata Daniel yang juga tengah menatapnya.

"Apa yang gue lakuin kemarin belum cukup buat kasih peringatan kalau menghindari Daniel itu sebuah kesalahan?" ucap Daniel dengan suara geraman diakhir kalimat karena Nara yang terus memberontak meminta lepas.

"Kita bisa bicara baik-baik," ucap Nara telah lelah dengan usahanya sendiri.

Daniel menaikan satu alisnya, lantas membalas, "Dengan cara lo kabur?"

"Tolong lepas, ini sekolah!" Nara kembali meminta, kali ini ia menyadarkan Daniel dimana keberadaan mereka. Berharap Daniel akan segera melepaskan.

Daniel menyeringai.
"Bahkan gue nggak keberatan buat seret lo ke kamar mandi sekarang!"

"Tolong lepas, aku janji nggak bakal kabur. Dan apa yang harus aku---"

"DANIEL!"

Detik itu juga Nara melebarkan mata sekaligus menghela nafas saat lengannya ditarik oleh seseorang hingga posisinya dengan Daniel menjauh beberapa meter.
Nara menatap tangan yang mencengkram lengannya. Ketika ia mendongak, wajah datar memerah milik Altair menjadi pemandangan yang mengharuskan Nara mengerjapkan mata beberapa kali.

"Cupu," celetuk Daniel mengejek, ia beralih bersedekap lantas menatap Altair dengan seringai sinis.

"Lo yang cupu! Apa kayak gitu sikap lo sama perempuan?" Nara menoleh mendengar suara perempuan lain diantara mereka. Belinda, cewek itu berdiri disisi lain Altair.

"Kalian berdua cocok buat menghakimi gue, sumpah!" Daniel berucap dengan tawa yang kentara dipaksa, tangannya terangkat untuk menyugar rambutnya yang sedikit panjang. Saat itu juga, mimik wajah Daniel berubah. Wajahnya datar dan sorot matanya tajam menatap ketiga orang dihadapannya. "Jadi, berhenti ngurusin apa yang gue lakuin!"

Ucapan datar Daniel disusul gerakan tangan yang hendak menarik tangan Nara. Namun, berhasil digagalkan sebab Altair lebih dulu menjauhkan Nara.

"Bangsat lo, Altair!" umpat Daniel menatap tajam Altair. Sedangkan yang diumpat diam tidak menanggapi. "Lepasin, dan lo pergi!"

Altair belum juga merespon. Nara yang ada dibelakang tubuh Altair bisa melihat raut amarah pada diri Daniel. Dan jujur, ia juga takut ada diposisi ini. Nara melirik Belinda yang juga tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit Nara artikan. Namun, tak lama setelah itu Belinda kembali menatap Daniel seperti hal nya Altair.

"Sebaiknya kita pergi," ajak Belinda yang beberapa menit kemudian dijawab gerakan kepala naik turun oleh Altair pertanda ia setuju. Dan hal tidak terduga nya adalah Altair yang menarik tangan Nara untuk mengikutinya pergi.

Belinda bergeming, memandang dua orang lawan jenis yang semakin lama semakin tak terlihat itu dengan tatapan kosong. Sadar perubahan raut wajah Belinda, cowok yang paling ditakuti se-Cakrawala itu terkekeh.

"Cemburu?" sinis Daniel lalu melangkah pergi dari hadapan Belinda.
Menghela nafas pelan, Belinda melangkah menyusul Altair.

***

"Makasih buat bantuan kamu, bilangin juga sama pacar kamu tadi. Aku permisi." Tidak ada drama dimana Altair akan menahan tangan Nara yang saat ini tersenyum lantas melepaskan genggaman tangan Altair dan berjalan pergi.
Dalam perjalanannya untuk kembali menuju kantin, Nara jelas merasa jika Altair masih menatap kepergiannya. Namun, Nara rasa ia tidak perlu berbalik hanya untuk menanyakan maksud cowok itu menatap dirinya. Ia sudah berterimakasih, dan mungkin ini harus menjadi kali terakhir ia berinteraksi dengan Altair. Bagaimanapun, Safira telah mengingatkan untuk menjauhi segala hal tentang dua cowok yang paling menjadi sorotan di Cakrawala ini.

"Woi!" Teriakan dibarengi tepukan bahu itu mengejutkan Nara yang celingukan di pintu masuk kantin. Ketika ia berbalik, Safira berdiri disana dengan senyuman lebar. "Bentar lagi bel masuk, mending kita ganti baju olahraga. Keburu nanti antri."

Nara mengangguk, tangannya langsung ditarik Safira untuk ke kelas mengambil baju olahraga, setelah itu mereka menuju kamar mandi. Kurang dari lima belas menit, mereka keluar dengan seragam olahraga. Hal itu bertepatan dengan bel masuk.

"Ayo ke tempat renang," ajak Safira menarik tangan Nara. Namun, Nara menahan seraya mengeryitkan kening.

"Aku nggak bawa baju ganti, minggu lalu juga nggak dikasih tau suruh bawa," ucap Nara lalu menggigit bibir bawahnya. Takut, jika sebenarnya minggu lalu ada informasi tapi dia yang lupa membawa.

Safira tertawa pelan.
"Emang nggak disuruh bawa."

"Terus?" Nara melipat kening semakin dalam.

"Kalau jamnya gini, palingan cuma dikasih teori sama tekniknya. Kalau praktek mah, kita bisa kapan aja ke sekolah, asal nggak malem." Safira terkekeh kecil diakhir kalimatnya membuat Nara mengangguk mengerti. "Ya udah, sekarang ayo!"

Mereka berdua berjalan menuju tempat renang. Setibanya disana, siswa-siswi ramai berlalu lalang. Jika Nara amati, ini jelas bukan teman satu kelasnya.

"Kayaknya bakalan ada turnamen renang, deh. Dan ini tuh, semacam tahap seleksi gitu." Safira seakan mengerti apa yang tengah menjadi pertanyaan dipikiran Nara. Setelah menjelaskan secara singkat, Safira menarik tangan Nara untuk mengikutinya ke sebuah tempat yang cukup luas disisi kolam renang. Nara tebak, sepertinya ini adalah tempat yang sering digunakan untuk pembelajaran teori renang atau outdoor. Maklum, Nara masih tergolong baru untuk bisa mengetahui fungsi diberbagai tempat yang ada di Cakrawala. Belum lagi, luasnya wilayah sekolah membuat Nara tidak bisa mengunjungi satu-persatu tempat.

"Anjir, gue demen nih. Bisa sekalian cuci mata, Ra." Safira bergelayut di lengan Nara dengan kedua mata yang tak lepas menatap segerombolan anak cowok shirtless yang terlihat tengah melakukan pemanasan di tepi kolam renang. "Bikin ileran, Ra."

"Ih, nggak boleh gitu, Fira." Nara menggoda dengan menutup mata Safira menggunakan tangan, sengaja ingin membuat Safira kesal. Dan yang dilakukan Nara membuat Safira berdecak pelan, lalu menepis tangan Nara.

"Jarang-jarang bisa masuk sini, Ra. Kalau lo masuk cuma buat liat mereka, siap-siap dapet tatapan sinis dari mereka. Gue aja yang tiga tahun di Cakrawala nggak ada sepuluh kali kesini," jelas Safira menggebu.

"Berarti kamu punya maksud terselubung belajar disini?" tanya Nara saat menyadari gerak-gerik Safira yang memang sejak tadi terlihat bersemangat. Dan ternyata, Safira menjadikan belajar sebagai alasan bisa ke tempat ini.

"Iyalah," jawab Safira enteng. Setelah itu, tidak yang membuka suara. Beberapa menit kemudian, satu-persatu teman satu kelas mereka mulai berdatangan. Disusul guru olahraga yang memimpin pemanasan lalu menjelaskan teori dan teknik melakukan salah satu gaya renang.

"Baik, saya sudah menjelaskan teori renang dan teknik melakukan berbagai gaya. Untuk memperagakannya, kalian bisa melakukan di kolam renang rumah kalian, atau bisa di kolam renang sekolah diluar jam belajar. Sekian untuk pembelajaran hari ini."

Pria dengan pakaian olahraga itu pamit pergi dengan sesekali menyapa rekan guru yang sibuk memberi arahan pada calon perwakilan sekolah. Nara menghela nafas pelan, lalu melirik kearah teman-temannya yang pergi kembali ke kelas. Namun, sama seperti yang Safira katakan, seolah mencari kesempatan beberapa gadis memilih tinggal dan duduk di kursi panjang yang tersedia.

"Safira ayo balik," ajak Nara. Safira melirik jam tangannya.

"Masih ada setengah jam lagi ke pelajaran selanjutnya, Ra." Safira menolak membuat Nara membuang nafas. Kakinya bergerak berniat menghampiri Safira yang duduk, namun sebelum itu lengannya lebih dulu dicengkeram dan dipaksa berbalik.

"Well, lo nggak bisa pergi sebelum urusan kita selesai, Nara."

Nara tertegun di tempat, tubuhnya kaku tidak bisa bergerak. Sudah dapat dipastikan, jika Safira dan teman sekelasnya akan langsung diam mengamati keduanya.

"Daniel?" gumam Nara hampir tidak ada suara. Ya, cowok yang tanpa rasa kasihan mencengkeram lengannya dan memaksa berbalik itu adalah Daniel. Tubuhnya persis seperti tubuh kebanyakan cowok yang berada di tempat ini---shirtless.

"Kenapa lo?" tanya Daniel mendapati Nara yang seolah kaku menjadi patung. Daniel menunduk, lalu menyeringai ketika sadar apa yang menjadi fokus Nara. "Ternyata lo sama kayak cewek lain. Bedanya muka lo sok polos."

Nara mendongak menatap Daniel kemudian menggeleng tegas, menyangkal. Jelas-jelas ia diam karena masih tidak percaya akan bertemu lagi dengan Daniel. Secara tidak langsung, masalah kembali mendatanginya.

"Terus apa, Nara? Lo liat gue kayak pengen terkam gue aja." Daniel menyeringai sinis.

Nara menggeleng.
"Daniel tolong lepas, aku mohon. Ini sakit."

"Lepas, Nara?" Nara memberi jawaban anggukan saat Daniel menawari. Belum lagi senyuman manis Daniel yang baru pertama kali Nara lihat; seolah memberikan harapan. Nara pikir, Daniel benar-benar akan melepaskan. Sayangnya, Daniel tidak pernah melepas lawannya dengan begitu mudah. Ditariknya lengan Nara menuju tepi kolam renang, hingga posisi mereka saat ini adalah Daniel berdiri santai dengan Nara yang menegang hebat. Pasalnya, bergerak sedikit saja, ia bisa terpeleset ke dalam air.

"Daniel." Nara berucap pelan dengan mata melirik kearah sekitar. Tidak ada guru yang hanya bisa dimintai tolong untuk saat ini. Semua orang menatap mereka berdua juga sama tengah merasa khawatir dengan nasib Nara. Dalam hati, Nara berdoa semoga saja salah satu dari mereka ada yang tergerak mencari guru.

"Lo minta dilepas, kan, Nara? Dan pilihan lo cuma dilepas disini---"

"NARA!"

Nara memejamkan mata seiring dengan Daniel yang mendorong tubuhnya. Suara teriakan Safira seolah menjadi penanda bahwa Daniel memang mulai bertindak. Tapi tunggu dulu, Nara tidak merasakan punggungnya yang berhantaman dengan air. Pelan tapi pasti ia membuka matanya, dan detik itu juga mata bulat itu melebar kaget. Posisi sudut empat puluh lima derajat antara dirinya dengan permukaan air. Sedangkan tangan kanannya ditahan oleh Daniel yang berdiri tegak tanpa raut bersalah.

"Gue lepas tangan lo, lo jatuh."

"A-aku ada salah apa sama kamu? Aku rasa masalah seragam itu udah selesai." Nara berani membuka suara. Walaupun kecil kemungkinan, Nara tetap berharap Daniel akan menarik ketimbang melepas tangan kanannya. "Kalau aku salah, bisa aku izin memperbaiki?"

Daniel terlihat menunduk sekilas lalu kembali menatap Nara. Kali ini tajam.

"Gue pengen tau seberharga apa lo, Nara." Belum sempat Nara mencerna maksud ucapan Daniel, cowok itu lebih dulu melonggarkan genggaman tangan hingga yang terjadi selanjutnya adalah ...

BYUR

Nara merasakan tekanan kuat air yang menerjang tubuhnya hingga membuatnya mencapai dasar kolam renang, lalu kembali terpental dan melayang di tengah air.

Sayup-sayup, ia bisa mendengar teriakan minta tolong dan beberapa derap langkah kaki yang mendekati kolam renang. Namun, sebelum itu, suara cipratan air lebih dulu Nara dengar menandakan ada orang yang masuk ke dalam air. Saat sisa kesadarannya mulai menipis, Nara buram untuk melihat, yang bisa Nara rasakan hanyalah sebuah tangan yang melingkari pinggangnya dan membawanya ke permukaan.

TBC

Sampai sini, gimana menurut kalian dari masing-masing karakter xixixi.

Oh, bisa tebak siapa yang selametin Nara?😂

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 117K 62
[SEGERA TERBIT] "Valcano, aku kehujanan boleh minta tolong jemput aku?" "Jangan ganggu gue." ••• "Valcano, boleh minta tolong jemput aku?" "Gue lagi...
139K 24.2K 51
[FAN FICTION] -ˋˏ𝐂𝐎𝐌𝐏𝐋𝐄𝐓𝐄𝐃ˎˊ- ❝[𝕹𝖆𝖒𝖊] 𝕷𝖎𝖑𝖎𝖆𝖓𝖓𝖊 𝕯𝖎𝖌𝖌𝖔𝖗𝖞, 𝖘𝖊𝖔𝖗𝖆𝖓𝖌 𝖘𝖎𝖘𝖜𝖎 𝖘𝖑𝖞𝖙𝖍𝖊𝖗𝖎𝖓 𝖞𝖆𝖓𝖌 𝖒...
3.7M 296K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
150K 7.8K 45
SUDAH LENGKAP, SEDANG TAHAP REVISI ♥ BEBERAPA PART DI PRIVATE ACAK! Bagas Reka, siapa yang tidak tau lelaki ini di STM Bung Tomo. Lelaki dingin yang...