the Castle

By QueeneyWolfey

128K 20.6K 1.4K

[Fantasy-Siblinghood-(Minor)Romance] ||Follow sebelum membaca ya, guys. Terima kasih^_^|| _____ Vyradelle tid... More

GATE
Prologue
1
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57

2

4.2K 657 20
By QueeneyWolfey

"Tidak ketemu?"

Kuda Eliano menghampiri Alec yang juga berada di atas kudanya. Tubuh keduanya basah oleh air hujan di malam hari. Jubah hitam yang menaungi tubuh keduanya hampir tidak berfungsi karena air tetap merembes menyentuh kulit mereka, membuat sensasi dingin menusuk tulang terasa jelas oleh angin yang berhembus kuat.

Tadi.

Tak lama setelah bergelung di bawah tumpahan air dari langit, Alec dan Eliano kembali ke tempat mereka semula dan hujan berhenti. Atau lebih tepatnya, hujan tidak sampai menyentuh tempat itu karena seperti yang terlihat, rumput di sini kering.

"Tidak," Alec membalas pertanyaan Eliano.

Eliano mengerang. "Ini sudah malam! Dia menghilang sejak sore! Aku tak bisa bayangkan akan semarah apa Ayah nanti!"

Alec menghembus nafasnya kasar. "Hujannya terlalu deras, dan aku tak bisa merasakan auranya."

"Memang siapa yang bisa merasakan aura anak itu?" dengus Eliano. "Ayah yang sehebat itu saja tidak."

"Tapi ayah menanam sihir di tubuhnya," balas Alec.

"Benar," decak Eliano. "Tapi tetap saja. Kalau ketemu aku akan memarahinya sampai dia pingsan."

"Sudahlah." Alec menghela nafas pelan. "Kita pulang saja."

Eliano sontak melotot. "Dan membiarkannya di luar sana? Tidak, terima kasih. Bagaimana jika dia kehujanan? Bagaimana jika dia tersesat? Bagaimana jika dia sedang ketakutan? Lalu sakit. Lalu dia akan kembali seperti..."

"Kita jujur pada Ayah," sela Alec. "Kita minta bantuan Ayah untuk menemukannya. Pasti ketemu."

Eliano menggeleng. "Kalau begitu Eliana yang akan kena marah. Apa lagi yang harus kita beri tahu pada Ayah? Bahwa Eliana masuk ke hutan ini sendirian dan menghilang di balik lubang di dinding sulur-sulur raksasa mati itu? Lalu kita berusaha mencarinya tapi tidak ketemu? Ingat, Ayah bisa membaca pikiran kita!"

"Itu urusan terakhir. Yang terpenting dia ditemukan dahulu," sahut Alec. "Ayah tak akan memberikan hukuman aneh-aneh untuknya. Kondisinya tidak memungkinkan untuk menerima hukuman seperti yang pernah kuterima dulu."

Eliano mendesis, tapi dalam hati ikut membenarkan perkataan Alec.

"Baiklah," dengus Eliano. "Kita pulang saja."

Eliano langsung menjalankan kudanya menuju tembok sulur-sulur raksasa yang sudah mati diikuti oleh Alec, hingga melewati lubang yang di tembok itu yang tadi mereka masuki. Istana Kerajaan Penyihir langsung terlihat di kejauhan begitu mereka melewati lubang itu.

Tiba-tiba kuda yang Alec tumpangi meringkik keras. Kedua kaki depannya naik tak lagi menyentuh tanah, membuat Alec terkejut dan langsung berupaya mengendalikan kudanya.

"Apa itu barusan?" Alec langsung membawa kudanya menghadap ke belakang, ke arah lubang, begitu berhasil menenangkan kudanya.

"Barusan memang kenapa?" heran Eliano. Ia ikut berbalik pada Alec di belakang.

Alec menggeleng ragu. Matanya masih tertuju pada lubang di dinding sulur raksasa di kegelapan malam. Alec mengangkat satu tangannya, lalu seberkas cahaya putih muncul di telapak tangannya. Diarahkannya cahaya itu pada lubang agar penglihatan mereka lebih jelas.

"Tadi Drex seperti tertahan," kata Alec. Drex adalah nama kuda kesayangannya yang tengah ia tumpangi saat ini.

"Mungkin dia tersandung," jawab Eliano menerka-nerka dari belakangnya.

Alec baru hendak membantah saat suara berat lain membuatnya tersentak. "Di sini rupanya kalian!"

Alec sontak berbalik bersama Eliano.

Zack berdiri di sana dengan wajah geram. Jelas sekali ia murka. Namun saat Alec dan Eliano menunggu semburan amarah dari ayahnya itu, Zack justru melengos gusar.

"Ke istana sekarang. Eliana sekarat lagi."

***

"Aku tidak mengerti." Alec menahan langkahnya saat hendak memasuki kamar Eliana. Arabella di dalam sana menemani adiknya itu, sedangkan Alec, Eliano, dan Zack masih berdiri di depan pintu kamar yang tertutup.

"Ugh, sudahlah. Masuk dulu saja." sentak Eliano tidak sabaran. "Urusan itu bisa nanti."

Alec meneleng pada Eliano dan menatapnya datar. "Kau masuk duluan saja. Aku akan menyusul."

Tanpa berbicara apapun lagi, Eliano mendorong buka pintu kamar Eliana dan masuk ke dalam. Pintu tertutup, kini menyisakan Zack dan Alec di luar.

"Apanya yang tidak kau mengerti?" tanya Zack masih dengan suara geramnya.

"Kenapa Eliana bisa ada di sini? Kami tadi sedang mencarinya yang hilang ..."

"Sihirnya meledak lagi," dengus Zack. "Ayah tentu saja bisa merasakannya dan langsung menjemput anak itu."

Alec mengernyit tidak puas. "Bukan itu, tapi---"

"Ayah tahu." Zack menghembuskan nafas dalam. "Nanti kita bicarakan ini. Sekarang kau masuk, Eliana baru saja sadar."

Zack mendorong Alec memasuki kamar. Terlihat Eliana yang berbaring menatap langit-langit kamar dengan sayu. Aliran darah kecil mengalir keluar dari hidungnya dan diseka beberapa kali dengan sebuah kain oleh Arabella. Meski alirannya kecil, namun darahnya tidak berhenti, hanya mampu diseka agar tidak mengotori pakaian dan tempat tidur Eliana.

Eliano terlihat mengomel, tapi wajahnya terlihat seperti merajuk dan tatapan matanya sendu.

"Kenapa kau terus-terusan begini, huh?" omel Eliano. "Apakah kau tidak lelah? Memangnya tidak sakit? Lihat-lihat, kau tidak kunjung berhenti mimisan."

Eliana hanya diam. Tanpa diduga air matanya mengalir.

"Sakit," rintihnya.

Alec yang mendengar itu langsung menegak, kakinya melangkah maju mendekati ranjang Eliana. Eliano mendekat dan duduk di ranjang, sedang Arabella memajukan kursinya lebih dekat.

"Apa yang sakit?" tanya Arabella cemas.

"Sakit semua," keluh Eliana. Ia kemudian terbatuk kecil, serak dan tercekat.

"Kenapa, ya?" gumam Eliana putus asa. Pandangannya kosong dan redup. "Rasanya selalu semakin parah."

Tak ada jawaban. Kamarnya masih hening.

"Aku sebenarnya kenapa?" Air mata Eliana mengalir lagi. "Kalau sudah cacat begini tak mungkin bisa sembuh."

Arabella mengelus rambut Eliana. "Nanti sembuh, Sayang. Tinggal beberapa tahun lagi. Sihirmu akan sempurna di usia 25, ingat?"

"Ibu," Eliana memanggil. Kepalanya perlahan menoleh pada Arabella. "Katakan yang sejujurnya. Aku ... memang tidak bisa sembuh, 'kan?"

"Apa-apaan itu?" sentak Eliano marah. "Kenapa cewek bar-bar sepertimu jadi lembek penuh drama begini?"

"Eliano," Alec menegur pelan.

Eliana malah terisak. "Sebenarnya aku kenapa? Cacat kenapa?"

Sementara Eliano menjadi lebih marah, Arabella bangkit berdiri. Didekatinya Zack lalu menatap raja penyihir itu cemas.

"Zack," panggil Arabella gusar. Tangannya menyentuh lengan atas Zack dan matanya menatap iris kelam penyihir itu sambil sesekali melirik Eliana. 

Zack yang mengerti gestur itu menghela nafas. Dielusnya pundak Arabella berusaha menenangkan istrinya itu.

"Dia kesakitan. Apa tidak ada cara lain?" bisik Arabella lirih.

"Ayo kita bicarakan ini di kamar," balas Zack. Penyihir itu kemudian beralih pada kedua anak laki-lakinya. "Alec, Eliano, jaga adik kalian sebentar. Satu jam dari sekarang temui Ayah di ruang kerja Ayah."

Alec dan Eliano menatap Zack dan Arabella yang menghilang. Sementara Eliana masih diam menatap kosong langit-langit kamar.

"Sepertinya aku akan mati," tukas Eliana pelan.

Eliano melotot. "Jaga mulutmu!"

"Eliano, nanti kalau aku mati jangan cari kembaran baru, ya?" pinta Eliana memelas.

Eliano menjitak kepala Eliana pelan. "Jiwa cewek bar-barmu selalu drama menyebalkan bahkan walau sakit."

"Tapi serius," sungut Eliana. "Bagaimana jika selama ini Ayah dan Ibu berbohong tentang sihirku yang akan sempurna di umur dua puluh lima? Atau bagaimana jika aku mati sebelum sampai umur itu? Besok atau lusa misalnya..."

Alec mengambil duduk di kursi yang tadi ditempati ibunya. Tangannya terangkat mengelus surai Eliana yang sehitam miliknya.

"Apa yang terjadi?" tanya Alec tenang.

Eliano berdecih melihat sikap lembut Alec. "Kau terlihat seperti Ibu."

Alec hanya membalas Eliano dengan lemparan raut malas dan tatapan datarnya. Ia kembali menatap Eliana yang kini menoleh padanya.

"Apanya?" heran Eliana.

"Ke mana kau tadi?" tanya Alec.

"Oh." Kedua alis Eliana terangkat. Seperti teringat sesuatu. "Aku mengejar Drylox karena peliharaan Ayah itu merampok buku sihirku di dekat tembok sulur besar itu ... Kau tahu, yang sulurnya sudah mati."

"Lalu?"

"Ada lubang di sana, agak besar. Jadi saat Drylox masuk ke sana aku ikut."

"Kami mengikutimu, tahu? Kau kemana? Begitu kami melewati tembok itu kau sudah hilang, padahal jelas hukuman dari Ayah yang membuat kita tidak bisa berteleportasi masih berlaku," dengus Eliano.

Eliana mengernyit heran. "Perasaan, aku tidak jauh-jauh dari lubang di tembok itu. Lubang itu selalu dalam jarak pandangku. Paling jauh hanya sekitar lima belas jengkal, karena aku menangkap Drylox masih di dekat lubang."

"Eliana," peringat Alec. Ia menyeka darah yang mengalir lagi dari hidung Eliana. "Coba jangan banyak bicara dulu. Mimisanmu semakin banyak."

"Tapi kau yang bertanya!" sungut Eliana.

"Kalau begitu khusus kau, Eliana, telepati saja," titah Eliano tegas.

Eliana melotot. "Aku tidak mau jadi seperti orang bisu."

"Penjelasan pendek kau bisa bicara. Penjelasan panjang, telepati saja," ucap Alec final. "Tapi kalau kau tidak menjauh dari lubang, kenapa kami tak melihatmu?"

"Jangan-jangan kau menggunakan sihir tak terlihat," tuduh Eliano, menatap Eliana dengan mata memincing.

"Sihirku tidak cukup kuat untuk melakukan itu," desah Eliana. Aku hanya bisa telekinesis, telepati, juga berteleportasi. Dan hukuman sementara dari Ayah membuat kemampuanku tinggal telekinesis dan telepati saja, lanjutnya bertelepati.

"Itu benar," sahut Alec. "Lagi pula ada Drylox di sana. Dan kita sama sekali tidak melihatnya juga."

"Aneh sekali," decak Eliano. "Lalu kapan sihirmu meledak?"

Eliana tampak berpikir. "Tidak sampai dua menit setelah aku menangkap Drylox."

Eliano tersentak. Ia menoleh cemas pada Alec, sedang Alec masih menampilkan raut tenangnya tetapi dengan mata menyorot penuh kejanggalan.

Dua menit. Artinya itu terjadi ketika Alec dan Eliano baru melewati lubang tembok. Jika itu benar, seharusnya mereka bisa melihat Eliana saat itu.

"Lalu?" tanya Eliano was-was.

"Ayah langsung datang satu detik sebelum aku pingsan," jawab Eliana.

Kali ini, Alec ikut pucat, hampir sepucat Eliano. Ayahnya, Zack, datang tadi segera setelah sihir Eliana meledak. Logikanya, saat itu, Alec dan Eliano bertepatan berada di dekat Zack dan Eliana. Waktunya sangat pas, seharusnya Alec dan Eliano bertemu dengan Zack juga Eliana. Dalam jarak sedekat itu juga seharusnya Alec dan Eliano bisa merasakan aura ayah mereka, Sang Raja Penyihir Terkuat.

Ketika Eliana dan Zack berada di dekat mereka, tapi mereka tidak bisa melihat adik dan ayah mereka itu, maupun merasakan aura kuat Zack, apa artinya itu?

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

996K 49.8K 39
Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigrasi ke dalam novel...
1M 92K 45
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ___...
1.5M 136K 74
NOT BL! (Follow biar tahu cerita author yang lain ok!) Update sesuai mood 🙂 Seorang remaja laki-laki spesial yang berpindah tubuh pada tubuh remaja...
133K 317 15
21+++ Tentang Rere yang menjadi budak seks keluarga tirinya