Kapan elegi akan berganti
Beralih pada sebuah romansa
Jangan menunggu hati ini mati
Hadirnya cinta menjadi sia-sia
*****
Sementara di kediaman Mia, keluarganya kini sedang disibukkan dengan menyambut kedatangan keluarga Fakhri.
"Wah, akhirnya kita bisa kumpul bareng kayak gini ya, Mbakyu? Seneng banget," ucap Mariyati dengan mata berbinar membuka obrolan sambil menepuk pelan paha wanita di sebelahnya.
"Iyo. Aku juga ndak nyangka sebentar lagi kita bakal jadi besan," imbuh Zubaedah, ibu Fakhri, diiringi tawa cekikikan khas ibu-ibu.
Mia memutar kedua bola mata, malas melihat dua emak-emak yang sepertinya sudah tidak tahan untuk segera menjadi besan.
"Jadi gimana ini baiknya?" sela Darmaji angkat bicara. "Apa langsung saja kita tentukan hari baik untuk pernikahan mereka?" lanjutnya pada inti acara.
Mia mulai resah dengan usulan ayah Fakhri. Dengan ekor matanya, gadis itu memberikan isyarat pada pemuda yang kini juga tengah melirik ke arah dia.
"Jangan dulu, Pak," cegah Fakhri cepat.
Sontak semua mata tertuju pada pemuda yang duduk di ujung sofa, menatapnya penuh tanda tanya, kecuali Mia.
Orang tua Fakhri pun menunjukkan ekspresi terkejut. Tidak biasanya anak itu memotong pembicaraan. Terlebih dia dikenal sebagai anak yang penurut dan santun.
"Tadi kami berdua sudah sepakat untuk menunda pernikahan sambil mempersiapkan diri terlebih dahulu. Biar Mia menyelesaikan pendidikannya. Saya selaku calon kepala rumah tangga juga harus mempersiapkan segala sesuatunya, baik mental maupun finansial," tutur Fakhri memberi alasan.
"Untuk sementara bertunangan saja dulu. Izinkan kami untuk mengenal lebih jauh tentang karakter masing-masing," imbuhnya lagi.
Seulas senyum tipis menghias di bibir Mia, menyiratkan ada kelegaan di sana. Fakhri memang bisa diandalkan.
"Tapi, pacaran setelah menikah bukannya jauh lebih bagus," sanggah Mariyati. Ia adalah orang yang paling berambisi dalam perjodohan ini. "Bukannya apa, saya sebagai orang tua hanya mengantisipasi datangnya setan lewat. Takutnya nanti mentang-mentang sudah tunangan, kalian malah kebablasan. Ya, ndak, Mbakyu?" sambungnya mencari dukungan.
"Iya, Le. Bener itu," sambut Zubaedah setuju dengan ucapan sang calon besan.
Sementara Harun dan Darmaji sejauh ini masih menyimak argumen para istri, sesekali keduanya memberi anggukan setuju.
Mia semakin gelisah, ia takut Fakhri terdesak dan akhirnya pasrah.
"Insha Allah ... Fakhri jamin itu ndak akan terjadi. Toh, nantinya Fakhri dan Mia juga akan jarang bertemu," jawab Fakhri dengan tenang. Namun, cukup meyakinkan.
"Iya, Mia setuju dengan apa yang dikatakan Mas Fakhri." Mia ikut menimpali memberi dukungan.
"Ya sudah, biarkan mereka yang mengambil keputusan, toh mereka yang menjalani. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan mengawasi," tegas Harun mengambil keputusan. Cukup sulit memang, karena yang diutarakan Fakhri dan istrinya sama-sama benar dan beralasan.
"Ndak cuman itu, Mas Harun. Menurutku, kalau mereka sudah tunangan, pikiran mereka juga akan lebih serius, lebih matang, dan lebih dewasa soal masa depan. Mikirnya jadi panjang. Kan enak, mulai menata rencana bersama-sama." Ayah Fakhri menambahkan ucapan sahabatnya itu.
"Ya wis, nanti Mas Harun saja yang cari hari baik untuk pernikahan mereka. Sekarang kita tentukan tanggal pertunangannya saja," seru ibu Fakhri.
"Lebih cepat lebih baik," sambung Mariyati.
"Ndak usah acara gede-gedean. Kita tasyakuran saja, manggil orang-orang untuk doa bersama di sini. Hari jumat minggu depan, bagaimana?" Harun menawarkan pendapatnya.
"Ya wis. Saya setuju. Dibatasi saja, Mas. Dari kami paling cuman 30 orang tamu, sudah termasuk keluarga." Darmaji tampak semringah.
Akhirnya dua keluarga besar tersebut merencanakan dengan detail acara pertunangan Mia dan Fakhri. Kedua pasang orang tua mereka tampak sangat bersemangat.
Mia hanya bisa diam memperhatikan keseruan para orang tua. Meski keputusan sesuai dengan apa yang ia inginkan, tetapi tetap saja hatinya tidak karuan. Sekelebat wajah Fredy terbayang di benaknya. Ada rasa nyeri di sudut hati, merasa telah mengkhianati cinta pemuda itu untuknya.
Ternyata Fakhri cukup peka dengan apa yang dirasakan Mia. Tatapannya terus memperhatikan mimik wajah gadis yang kini terlihat gusar dan tidak nyaman.
"Permisi, sebentar. Mohon izin untuk mengajak Mia ngobrol di depan rumah. Kami ikut saja dengan rencana para orang tua," sela Fakhri di tengah obrolan orang tua yang kini tengah membahas soal hari kelahiran. Sudah jadi kebiasaan orang Jawa pada umumnya untuk menghitung hari baik berdasarkan weton, saat menentukan acara penting.
"Yo wis, sana ngobrol sama Mia," seru Mariyati penuh semangat.
Fakhri dan Mia hampir bersamaan berdiri dan melangkah ke teras.
"Mas, makasih yo, wis mau bantu," ucap Mia setelah duduk di kursi teras.
"Iya, sama-sama." Fakhri tersenyum memandang gadis yang terlihat lebih cantik dari siang tadi. Mungkin cahaya rembulan, menambah level kecantikannya.
"Mas, boleh bantu sekali lagi, nggak?" Mia menatap ragu ke arah Fakhri.
Pemuda itu menjulurkan tangan kanan sekilas, tanda mempersilakan gadis itu menyampaikan maksudnya.
"Bantu aku memperdalam ilmu agama. Aku ingin menunjukkan pada Fredy, bagaimana seorang muslim sejati."
"Insya Allah, dengan senang hati, Mi. Kita belajar bareng-bareng. Wong aku ini juga masih belajaran," ucap Fakhri merendah.
Mia memandang ke atas. Langit malam ini terlihat lebih cerah karena munculnya bulan purnama. Tidak selaras dengan hati gadis tersebut yang sedang kelam.
"Aku percaya bahwa Tuhan itu ada. Aku juga yakin dengan Islam sebagai agamaku, tapi ...." Mia berucap lirih.
Fakhri menatap gadis tersebut dan menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Tapi apa, Mi? Kok ndak dilanjutin?" tanya Fakhri.
"Aku tidak merasakan kedekatanku dengan Tuhan. Aku hanya tahu Dia ada, tapi ndak kenal, apalagi dekat," sambung Mia.
Mia belum pernah menyatakan tentang hal ini pada siapapun. Sedari kecil, ia sudah sangat akrab dengan semua kegiatan keagamaan. Secara tidak langsung, gadis ini mengenal agama dan Tuhan sebagai buah dari 'paksaan' keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Permasalahan pelik yang banyak dialami oleh remaja jaman sekarang. Mereka beragama dan bertuhan, hanya karena faktor kelahiran dan kebiasaan. Kenakalan serta pelanggaran tetap dilakukan, mengingat mereka memang belum mengenal Tuhan, hanya sebatas tahu bahwa Dia itu ada.
"Bagaimana kamu merasa dekat, kalau belum mengenal. Sama seperti berteman, Mi. Kamu harus kenalan, baru menjalin hubungan yang lebih dekat untuk bisa akrab. Syahadat yang sudah kamu ucapkan, itu hanya sebuah ikrar untuk menyatakan hubunganmu dengan Allah, tapi tidak serta merta kamu langsung dekat. Kamu harus upaya untuk lebih mengenal dan dekat dengan-Nya."
"Caranya?" Mia sedikit menggeser duduknya menghadap ke arah Fakhri.
"Ibadah. Ibadah itu cara kita berkomunikasi dengan Allah, Mi. Kalau malas sholat dan ibadah-ibadah yang lain, ya gimana mau dekat sama Tuhan?"
"Aku sudah sholat ... sesekali," jawab Mia sedikit malu mengakui perilakunya.
"Ya sama seperti kamu berteman, Mi. Jarang ketemu ya ndak mungkin akrab, toh? Makin sering kita berkomunikasi, menghabiskan waktu bersama, tentu akan semakin dekat, dan rindu."
Seperti aku padamu, batin Fakhri.
Ulala, Bang Fakhri ternyata diem-diem romantis, ye. Wkwkwkwk....
Maaf neh, bbrp hari authornya masih galau kehilangan Embun. Jadi mengendapkan diri dulu. Ahai!!!Jangan lupa cote ya kk. Lope lope all.