Elegi Dua Hati

By freddysan46

598 164 23

Elegi dua hati. Satu cinta sepasang manusia yang penuh perbedaan. Dunia yang jauh berbeda. Suku, adat, budaya... More

Bab 1 - Dua Hati
Bab 2 - Lain Kali
Bab 3 - Tak Berujung
Bab 4 - Pesisir Kasih
Bab 5 - Pantai Sayang
Bab 6 - My Plan
Bab 7 - Kunjungan
Bab 8 - Negosiasi Cinta
Bab 9 - Bincang-Bincang
Bab 10 - Sebuah Kesepakatan
Bab 12 - Perjodohan
Bab 13 - Bulan Purnama
Bab 14 - Mengenal Tuhan
Bab 15 - Perubahan Kecilku
Bab 16 - Denganmu
Bab 17 - Cemburu
Bab 18 Badai Besar
Bab 19 - Tiga Hari Tanpamu
Bab 20 - Malapetaka
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29

Bab 11 - Pesonamu

18 5 2
By freddysan46

Kepastian siapa aku bagimu

Bukan memaksa jadi kekasihmu

Hanya agar aku tahu

Bagaimana caraku menyikapimu

*****

Kini hati Mia sudah merasa plong dan sangat lega. Tidak percuma ia mengungkapkan semuanya pada Fakhri.

Setelah tidak ada lagi yang perlu dibahas, keduanya pun kembali ke mobil. Fakhri memutar kemudi lalu melajukan kembali kendaraannya membelah keramaian jalan raya.

Suasana tidak canggung lagi seperti tadi. Fakhri dan Mia sudah terlihat lebih akrab. Tampak mereka saling berbalas gurauan diiringi tawa renyah mengingat masa kecil keduanya yang memiliki karakter saling bertolak belakang. Mia yang tomboy serta Fakhri yang pemalu dan cengeng.

Suasana kembali hening setelah satu menit yang lalu Fakhri menerima telepon dari ayahnya. Selama pemuda itu menerima panggilan, terlihat Mia merubah posisi, memiringkan kepala ke sebelah kiri, bersandar pada kaca mobil, tanganya bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tas.

Kosong, tidak ada pesan atau panggilan masuk. Dilihatnya jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang, itu artinya Fredy masih berada di dalam pesawat. Baru setengah jam yang lalu pesawat Fredy lepas landas.

Perlahan Mia memejamkan mata, merasakan nyeri di perut yang sejak tadi pagi mendera. Sudah biasa di hari pertama jika sang tamu bulanan datang berkunjung.

Sepintas Fakhri melirik ke arah Mia, tanpa disadari bibir seksinya mengukir senyum. "Cantik." lirihnya.

"Astagfirullohaladzim." Fakhri menggeleng cepat, menyadari kekhilafannya, kemudian kembali fokus ke arah jalanan, mengalihkan perhatian.

Aku ingin dirimu ....

Yang menjadi milikku ....

Bersamaku mulai hari ini ....

Hilang ruang untuk cinta yang lain ....

Lupakan dia ....

Pergi denganku ....

Lupakan lah–

"Egois banget lagunya."

"Eh–" Fakhri tersentak, seketika menghentikan senandung lagu favoritnya.

"Sorry, Mi. Suaraku ganggu tidur kamu," ucap Fakhri salah tingkah. Tidak ada maksud apa-apa ia menyanyikan lagu itu, hanya ingin menghalau rasa kantuk yang datang tiba-tiba.

Mia mengulum senyum, masih dengan mata terpejam. "Aku nggak tidur, kok, Mas," sahutnya. "Suara kamu bagus juga."

"Makasih," ucap Fakhri malu-malu.

"Tapi lebih bagus lagi kalo nggak nyanyi." gurau Mia. Seketika tawa gadis itu pecah, walau yang ia katakan benar adanya, suara Fakhri memang merdu.

Pun demikian dengan Fakhri yang ikut tertawa. Teman masa kecilnya itu tidak pernah berubah, masih saja suka usil dan jahil seperti dulu.

Derai tawa keduanya terhenti saat terdengar suara adzan berkumandang. Fakhri menyapu pandangan sekeliling mencari asal suara berada.

Ketemu.

Dari jarak seratus meter ke depan, di sebelah kiri jalan Fakhri melihat sebuah kubah besar menjulang. Tidak butuh waktu lama mobilnya mendekat. Perlahan kendaraan berwarna hitam metalik itu berbelok memasuki area parkir masjid.

"Yuk, kita Salat Dzuhur dulu," ajak Fakhri sembari melepas sabuk pengaman.

"Aku lagi halangan, Mas," tolak Mia halus.

"Oh." Fakhri ber-oh ria, mengerti. Setelah itu ia turun meninggalkan Mia sendiri di dalam mobil kemudian melenggang masuk menuju tempat wudhu khusus laki-laki.

Lima belas menit kemudian Mia melihat Fakhri menuruni anak tangga, keluar dari masjid.

"Subhanallah ... ganteng banget," gumam Mia memuji pemuda yang berjalan mendekat ke arahnya. Wajah yang berseri-seri dengan rambut sedikit basah di puncak kepala menambah aura ketampanan Fakhri.

Hening ... mobil kembali melaju.

"Lho, kok kita ke sini, Mas?" tanya Mia saat mobil Fakhri terparkir di depan sebuah toko.

"Tadi bukannya kamu bilang mau beli buku?" jawab Fakhri mengingatkan.

Mia nyengir, mengingat tujuan awal ia mengajak pemuda itu pergi. "Cuma alasanku aja sih, sebenernya ...."

Fakhri menggeleng, ingin sekali ia mencubit hidung gadis itu, gemas. Namun, apalah daya kata 'bukan mahram' membuat pemuda itu senantiasa menjaga batasannya.

"Udah nanggung ini ... ya udah, yuk, masuk aja. Kita lihat-lihat dulu siapa tahu ada yang cocok."

"oke, lah." Mia mengangguk setuju. Nggak ada salahnya juga, pikirnya.

Keduanya pun masuk beriringan dengan tetap memberi jarak. Langkah mereka berpencar ketika sudah berada di dalam. Dengan cepat Mia berjalan menuju ke rak area khusus novel, sementara Fakhri melipir ke bagian sejarah islam.

Hampir setengah jam sibuk sendiri-sendiri, Fakhri mengedarkan pandangan mencari keberadaan Mia. Tidak butuh waktu lama, dengan cepat Fakhri menangkap sosok gadis berhijab warna nude itu masih berdiri di tempatnya semula.

Pemuda itu segera berjalan mengitari beberapa rak yang menyekat. Saat jarak semakin dekat ia menangkap pemandangan yang tak biasa. Sejenak Fakhri celingukan memperhatikan keadaan sekitar, cukup ramai. Segera ia mempercepat langkah menghampiri gadis yang berdiri di ujung sana dengan posisi membelakangi.

"Mi, aku minta kamu balik badan."

Mia terkejut saat suara bariton itu berada tepat di belakangnya.

"Eh, ada apa, Mas?" Mia berbalik badan dengan mimik wajah kebingungan.

"Di baju kamu ada noda. Jangan kemana-mana, tetap di sini ... tunggu sebentar."

Dengan wajah terpelongo, Mia penasaran dengan apa yang dikatakan pemuda yang baru saja meninggalkannya menuju pintu keluar.

Sekilas Mia menengok ke samping bawah sembari tangan kanannya menarik ujung baju bagian belakang. Betapa kaget bercampur malu, ia melihat noda berwarna merah sebesar bola pingpong tergambar jelas di baju tunik berwarna pink dusty miliknya.

Seketika Mia menutup wajahnya dengan buku yang ia pegang, malu. Bukan hanya dengan Fakhri, tapi juga dengan pengunjung lain yang bisa jadi juga melihatnya. Tak hentinya mulut Mia meracau lirih merutuki kebodohannya.

"Miaaaa ... o'on banget sih! Kenapa tadi gak pake yang panjang ada sayapnya," sesal Mia.

"Tutupi pake ini," titah Fakhri ketika kembali, mengulurkan sweater warna hitam yang ia bawa.

Mia membuka wajahnya yang kini sudah memerah seperti tomat, menahan rasa malu, kemudian menuruti perintah Fakhri.

"Ayo, Mas, kita pulang sekarang," ajaknya setelah mengikat kedua lengan sweater itu melingkari pinggangnya.

"Siniin bukunya biar aku bayar dulu."

"Udah, nggak usah." Dengan cepat Mia menarik lengan Fakhri agar segera pergi dari tempat itu.

"Maafin aku, Mas ... udah ngerepotin. Gara-gara aku baju kamu jadi kotor," ucap Mia, menahan malu.

"Udah, nggak papa. Kan, nanti bisa dicuci," ujar Fakhri sembari tersenyum.

Baru lima menit kendaraan Fakhri melesat, kembali pemuda itu membelokkan mobilnya menuju ke area parkir sebuah pusat perbelanjaan.

"Kok, kita ke sini, Mas? Anterin aku pulang dulu, yuk?" tanya Mia yang diakhiri rengekan.

"Iya, habis ini aku antar pulang, tapi tunggu sebentar ... ada yang harus aku beli." Tanpa menunggu persetujuan dari Mia, Fakhri bergegas turun dari mobil. Dengan langkah tergesa-gesa pemuda itu masuk menuju bangunan besar tersebut.

Setengah jam berlalu, Fakhri kembali sambil membawa paper bag. "Maaf, kalo tidak sesuai dengan selera kamu. Ukuranya pun hanya mengira-ngira, tapi insha Allah cukup," ujarnya, memberikan paper bag berukuran sedang tersebut pada Mia.

Tanpa menjawab, Mia langsung memeriksa isi dari benda yang kini sudah berpindah ke tangannya.

"Makasih, Mas," ucapnya melihat sebuah gamis teronggok di dalam sana.

"Kamu nggak malu beli barang seperti ini?" tanyanya lagi, mengernyitkan kening. Ada rasa tidak percaya sekaligus sedikit tergelitik dengan dua benda berikutnya, sekotak pembalut dan sekotak celana dalam.

"Buat apa malu? Toh, aku nggak kenal juga dengan mereka." Fakhri mengedikkan bahunya tak acuh.

Mia membuang muka, menyembunyikan senyum, terpesona. Selain Fakhri sosok lelaki yang menyenangkan dan sangat menghormati lawan jenis, ternyata pemuda itu juga bisa bersikap demikian manis dan perhatian.

Sekelabat Mia teringat akan ucapan Fredy saat sedang mengobrol bersama Christian dan Merry. "Aku rela melakukan apa saja untuk bidadariku ini, asal tidak disuruh beli roti khusus itu, bisa jatuh harga diriku sebagai pejantan tangguh," seloroh Fredy waktu itu. Jauh berbeda ... untung sayang, batin Mia.

"Ya sudah. Kita cari pom bensin dulu, nanti kamu bisa ganti di sana. Setelah itu kita makan, baru pulang," pungkas Fakhri sejurus kakinya menginjak pedal gas.

Uhui. Mia mulai terseponah nih, ye. Wkwkwkwk.... Jangan lupa vote ya kk. Biar jempolnya masuk surga nanti. Amin.

Continue Reading

You'll Also Like

15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...
1.3M 35.4K 8
Di balik dunia yang serba normal, ada hal-hal yang tidak bisa disangkut pautkan dengan kelogisan. Tak selamanya dunia ini masuk akal. Pasti, ada saat...
4.4M 261K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...