Elegi Dua Hati

By freddysan46

598 164 23

Elegi dua hati. Satu cinta sepasang manusia yang penuh perbedaan. Dunia yang jauh berbeda. Suku, adat, budaya... More

Bab 1 - Dua Hati
Bab 2 - Lain Kali
Bab 3 - Tak Berujung
Bab 4 - Pesisir Kasih
Bab 5 - Pantai Sayang
Bab 6 - My Plan
Bab 7 - Kunjungan
Bab 9 - Bincang-Bincang
Bab 10 - Sebuah Kesepakatan
Bab 11 - Pesonamu
Bab 12 - Perjodohan
Bab 13 - Bulan Purnama
Bab 14 - Mengenal Tuhan
Bab 15 - Perubahan Kecilku
Bab 16 - Denganmu
Bab 17 - Cemburu
Bab 18 Badai Besar
Bab 19 - Tiga Hari Tanpamu
Bab 20 - Malapetaka
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29

Bab 8 - Negosiasi Cinta

17 8 1
By freddysan46

Hatiku ini pernah utuh

Sebelum kau membuatnya rapuh

Tak mungkin kembali sempurna

Tanpa dirimu yang tercinta

*****

"Mi, ambilkan air putih. Kasihan dia keselek," kata Mariyati.

Mia buru-buru ke dapur dan kembali dengan segelas air putih hangat. "Nih, Mas."

Fredy menerima minuman itu dengan perasaan galau. Matanya berkaca-kaca, ya karena tersedak tadi. Bukan dia mau menangis karena sedih.

"Kami tidak masalah, siapapun suami Mia, dari suku apapun, asalkan persyaratan tadi dipenuhi." Harun kembali menegaskan. "Ngomong-ngomong, Nak Fredy sendiri sudah punya pacar? Kalau Mia memang saya ndak ngijini pacaran."

Fredy benar-benar merasa dipojokkan. Dia yang tadinya bungah, merasa diterima dengan baik oleh orang tua Mia, ternyata malah tersudut seperti ini.

"Aku ... ah sudah lah, Pak. Ini percintaan kaum muda, Bapak tak perlu bahas. Ndak penting juga toh. Aku mau fokus cari kerja dulu biar mapan." Fredy berusaha menirukan logat Jawa, berharap bisa menambah nilai plus di mata orang tua Mia.

Maryati beranjak menuju dapur. Dari gelagatnya, Mia tahu sang ibu tidak suka pada Fredy. Beliau selalu banyak bicara kalau bertemu orang yang dia merasa cocok. Dan sebaliknya, diam seribu bahasa kalau nggak sreg.

Tak berapa lama, Maryati kembali ke ruang tengah sambil mengulas sebuah senyuman yang mencurigakan. Mia sudah waspada, jangan-jangan ibunya punya rencana mengejutkan.

Fredy masih berusaha berbincang ringan untuk mencairkan suasana yang mulai membeku seperti es kiko. Jangan sampai patah dan terpisah.

"Assalamu'alaikum." Sebuah suara lembut terdengar dari balik pintu ruang tamu.

"Waalaikum salam ...." beberapa orang yang ada di ruangan menyahut dengan kompak termasuk Fredy. Kalau hanya kata umum seperti itu, dia juga sering mengucapkannya.

"Ini dia yang ditunggu-tunggu sudah datang," sambut Mariyati dengan ceria. "Ayo, Nak Fakhri, silahkan masuk," sambungnya, berjalan menghampiri.

Fakhri mengangguk seraya mengumbar senyum ramah pada semua orang. Pemuda berkemeja navy itu pun masuk menyalami satu-persatu orang yang ada di ruang tamu.

"Apa kabar, Mi?" Fakhri mengatupkan kedua tangan di depan dada, saat berada di depan Mia.

Sejenak Mia tertegun, tidak langsung menjawab pertanyaan lelaki berkulit putih di hadapannya. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu sekarang. Takjub mungkin.

Apa yang ia lihat di foto dua hari yang lalu sedikit berbeda. Bentuk rahang yang tegas, sepasang alis tebal yang menaungi dua bola mata berwarna coklat, hidung yang tidak terlalu mancung, ditambah lagi bentuk bibir yang cukup seksi, ternyata Fakhri lebih tampan aslinya.

Sembilan–dua belas perbandingannya dengan Fredy.

"Ehem ...." Fredy berdehem bertujuan menyadarkan Mia dari lamunan.

Mia mengerjap, kaget. "Eh, i–iya baik," jawabnya kemudian. Ekor mata Mia melirik ke arah Fredy yang sudah memasang tampang masam. Sementara Harun dan Mariyati sekilas beradu pandang lalu tersenyum.

Fakhri pun mengambil posisi duduk di sofa panjang bersebelahan dengan Fredy. Karena hanya di situ tempat yang tersisa. Dengan berjajarnya kedua pemuda itu, membuat kekontrasan di antara mereka semakin terpampang nyata.

"Ayo Nduk, bantu Ibuk masak," ajak Mariyati pada putrinya tersebut, setelah terjadi obrolan singkat antara Mia dan Fakhri. Tak ada topik yang penting, hanya sekedar bertanya kabar dan menanyakan kegiatan masing-masing.

Fredy? Jangan ditanya. Pemuda itu hanya diam dengan perasaan carut marut. Jika tidak sedang berada di tengah-tengah keluarga Mia, bisa dipastikan ia akan membawa pergi kekasihnya itu dari hadapan Fakhri. Kalau perlu membawa gadis itu kembali ke Malang. Sayang itu tidak mungkin untuk dilakukan.

Akhirnya kedua wanita berbeda generasi itu beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan para lelaki di ruang tamu.

"Gimana, Nak Fahkri ngganteng, toh?" Mariyati menyenggol lengan Mia dengan ekspresi menggoda.

"Iya, ngganteng," jawab Mia datar sambil tanganya mengupas bawang.

Meski sempat terkagum akan paras tampan yang dimiliki Fakhri, tapi tak sedikit pun Mia tergoda. Di hatinya tetap Fredy yang paling tampan dengan segala kekurangannya.

Sosok lelaki yang hampir empat tahun setia menemani, tanpa pernah Fredy mengkhianati ataupun menyakiti.

"Nak Fakhri ndak cuma ngganteng luarnya saja, tapi hatinya ndak kalah top," puji Mariyati seraya mengacungkan jempol di depan wajah Mia.

"Ibuk tau dari mana? Lha wong dia lama di luar negeri," sangkal Mia.

"Dari Arman. Kamu lupa kalo Arman kuliah bareng dengan Fakhri?" balas Mariyati mengingatkan. Arman adalah sepupu Mia dari pihak bapak. "Ibuk itu sudah tanya-tanya banyak sama Arman tentang Fakhri. Pokoknya dia itu masuk kriteria mantu idaman ibuk dan bapak," tuturnya panjang lebar dengan senyum semringah.

"Ini, Buk, sudah selesai." Mia berdiri lalu memberikan kupasan bawang pada Mariyati yang sedang merajang sayuran. "Mia mau mandi dulu, badan udah lengket semua ini," putus gadis itu menyudahi obrolan tanpa menanggapi pernyataan sang ibu. Ia tahu kemana arah pembicaraan selanjutnya.

Ketika Mia selesai mandi dan bersolek, rupanya Mariyati juga sudah selesai memasak. Masakan sederhana ala desa, tapi cukup layak kalau untuk sekadar menjamu tamu.

"Bantu Ibuk nata di meja makan."

Mia dengan sigap menyiapkan semua hidangan di meja makan, tak lupa segelas air putih untuk masing-masing orang.

"Pak, diaturi dhahar sama Ibuk," ucap Mia pada Harun.

"Wah, sudah siap, ya? Ayo, kita makan bareng," ajak bapak Mia pada kedua tamunya.

Berlima makan bersama seperti keluarga bahagia plus satu orang tamu dari jauh. Siapa lagi kalau bukan Fredy, yang tampak paling asing dan berbeda dari lainnya.

Tak ada perbincangan sama sekali selama makan. Sesekali saja ibu Mia menyuruh Fakhri untuk menambah lauk atau menawarkan sayuran, seolah sengaja menunjukkan perhatiannya pada calon menantu idaman, dan penegasan pada Fredy soal posisi pemuda itu yang kurang diterima di keluarga mereka.

"Saya ... pamit dulu, Pak dan Tante," pamit Fredy setelah acara makan siang selesai sepuluh menit yang lalu.

"Lho, kok, terburu-buru toh, Nak Fredy?" tanya Harun.

"Iya, Pak. Nanti sore ada janji ketemu kawan," jawab Fredy memberikan Alasan. Sebenarnya ada alasan lain di balik itu.

"Ya sudah kalau begitu. Tapi ini sudah masuk waktu dzuhur, bagaimana kalau kita salat berjamaah dulu? Mumpung masih ada Nak Fakhri juga di sini."

Sesuai dugaan Fredy. Pasti hal seperti ini akan terjadi mengingat orang tua sang kekasih adalah orang yang taat beribadah. Itulah mengapa ia harus segera pergi dari tengah-tengah keluarga Mia.

Fredy memutar bola mata ke arah Mia, meminta bantuan untuk mencari alasan.

Pun dengan Mia, ia tahu apa yang dirasakan Fredy. Harus secepatnya ia memutar otak.

"Ya, biar saja to, Pak, Nak Fredy pulang. Mungkin dia sedang terburu-buru ada urusan. Iya, toh, Nak Fredy?" Mariyati menekankan kata-katanya, menyela Mia yang hendak membuka suara.

Lebih cepat lebih baik pemuda urakan ini pulang, pikirnya.

Bersamaan, Mia dan Fredy menarik napas lega. Meski ucapan Mariyati sedikit tidak enak didengar, bisa dibilang mengusir secara halus, tapi setidaknya sudah membantu Fredy untuk keluar dari situasi sulit.

"Betul itu, Pak. Tak apa biar nanti saya mampir ke masjid." Fredy buru-buru mencium tangan kedua orang tua Mia, takut mereka berubah pikiran. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam," ucap semua orang hampir berbarengan.

"Saya nganter Mas Fredy ke depan dulu ya, Pak," ucap Mia.

"Heh, ndak usah. Sudah sana ambil wudhu, anterin Nak Fakhri sekalian," cegah Mariyati sembari tergesa menutup pintu.

Fredy memandang sekilas ke arah rumah tersebut dengan perasaan sedih.

Bah, sejak dulu beginilah cinta, penderitaannya tiada akhir.

Lo sih, datengin camer nggak bawa oleh-oleh. Bawa kek buah durian satu pick up, atau dua puluh batang pohon jati. Buahahahaha. Jangan lupa vote ya kk. Biar masuk syurga. Amin.

Continue Reading

You'll Also Like

4.4M 260K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
6.1M 260K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

765K 37.2K 51
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...