XXVI

10.8K 1.4K 110
                                    

          Rose Asmaralaya tidak pernah berpikir bahwa ia akan datang ke rumah orang tuanya dengan tangan kiri yang cedera. Ayah dan ibunya baru pulang dari Connecticut beberapa hari yang lalu dan meminta dirinya serta Raeden makan malam bersama-sama. Mau tidak mau, kepala Rose mengarang cerita bohong untuk menjaga nama baik tunangannya. 

         Hari ini juga hari pertama Rose melihat Raeden lagi sejak ia keluar dari rumah sakit. Rose tahu Raeden tidak bisa menjenguknya selama ia dirawat dan ia cukup takut ketika mendapati pria itu duduk di seberang Alyssa di meja makan. 

         "Hi, astaga, aku pikir aku sudah terlambat. Dokumen yang membutuhkan tanda tanganku cukup banyak hari ini," ujar Rose lalu dengan santai menduduki tempat di sebelah Raeden. 

         "Aku juga baru sampai. I miss you, by the way," kata Raeden sebelum mengecup pipi Rose. "Maaf aku tidak bisa menemani kamu di rumah sakit karena adik Alyssa melarangku. I'm sorry."

         "Tidak apa-apa, Rae. Aku sudah baik-baik saja." Rose tersenyum membalas Raeden.

         Sementara itu, Alyssa memutar kedua bola matanya sebal. Kakaknya yang naif dan Raeden, si Iblis. Ingin sekali Alyssa berkata, "Terima kasih Tuhan, kamu baik-baik saja karena ada Michael Leclair menjaga kamu dari monster bernama Raeden." Namun ia tahu ia akan Rose bisa berakhir di rumah sakit lagi setelah ini, sehingga ia berusaha tutup mulut.

         "Tangan kamu bagaimana?" tanya Raeden kemudian menyentuh penyangga tangan Rose. 

         Belum sempat Rose menjawab, Alyssa terlebih dahulu menyela dengan sinis, "Elbow dislocation with two weeks recovery time. Shout out to you."

         Rose menghela nafas dan memanggil adiknya, "Alyssa—"

         Alyssa memajukan tubuhnya sampai wajahnya tepat di depan Raeden lalu berkata dengan lambat, "Idiot."

          "Terima kasih informasinya, Adik," jawab Raeden lalu menyeringai, meremehkan Alyssa. "Seharusnya kamu bersyukur, Lys. Aku seperti itu karena aku menyayangi kakakmu dan aku tidak ingin sesuatu terjadi padanya."

           "Kamu memang gila, Raeden," Alyssa menggelengkan kepala dan melanjutkan, "Gila dan buta, tepatnya. Kalau saja otakmu tidak hilang dan tanganmu tidak mahir melempar barang, Rose tidak perlu memakai penyangga tangan sekarang."

           "Alyssa, sudah—" Rose mencoba menghentikan Alyssa lagi tetapi Alyssa tidak mempedulikannya. 

          "Kamu tidak sadar, ya, Raeden? Isi kepala dan ucapan kamu yang katanya menyayangi Rose itu berbeda. Kamu tidak ada laki-lakinya sama sekali. Kamu menjambak, melempar, mendorong Rose seperti kakak kelas yang iri dengan kecantikan adik kelasnya. Seharusnya kamu pakai rok mini because it suits you so well!"

           "Alyssa!" seru Rose sehingga Alyssa menggeram dan kembali duduk di kursinya. 

          Raeden yang sama sekali tidak membalas itu mengangkat sebelah alisnya dan tertawa begitu menyebalkan. Bagi Raeden, seberapa marah Alyssa dan sebenci apapun wanita itu kepadanya, hal itu tidak akan mampu merubah kenyataan bahwa ia akan menikahi Rose Asmaralaya. Alyssa hanya kerikil yang akan terus menganggunya dan ia sudah terbiasa untuk itu. Lagi pula, Raeden tidak pernah menganggap Alyssa penting karena di matanya Alyssa sangat kekanak-kanakan dan hanya untuk ditertawakan.

         "Mana Papa dan Mama, Lys?" tanya Rose dengan sengaja mengalihkan permbicaraan. 

         "Mama masih di dapur, " Alyssa menyeringai sebelum menjawab lagi, "Dan Papa—Oh, tonight will be fun."

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang