LXXVII

6.1K 923 60
                                    

      The Fall of Raeden Agratama: Power, Love, and Vileness.

       Berita terbesar tahun ini muncul dari Time Magazine. Headline itu baru saja dirilis satu jam yang lalu dan hampir seluruh dunia membicarakannya di sosial media serta berita. Ronald Agrata membanting tablet di tangannya setelah membaca artikel yang berisi seluruh kekejian Raeden, mulai dari penggelapan yang ia lakukan di Gara Land hingga bukti-bukti kekerasannya terhadap Rose Asmaralaya, semuanya diungkapkan oleh Times. Tentu saja Ronald tahu siapa dalang di balik ini semua. Arsen Leclair dan Edwin Asmaralaya.

       Ronald berkali-kali menelepon Raeden, tetapi tidak ada jawaban dari anaknya itu. Ia mencoba menghubungi Theron dan tetap tidak diangkat. Sampai akhirnya sebuah panggilan muncul di layar teleponnya dan panggilan itu bukanlah panggilan yang Ronald tunggu.

       "Kalau kamu ingin menanyakan di mana Raeden, aku tidak tahu, Arsen," kata Ronald saat panggilan terhubung.

       "Benar. Sekalipun kamu tahu, you won't tell that to me anyway, Ron," balas Arsen dan Ronald mendengus.

       "Why did you do this? We had a deal. Raeden tidak berdaya lagi secara finansial dan tidak jadi menikahi Rose lalu kamu sudahi ini semua."

       "Well, ternyata anakmu lebih gila dari yang aku kira. He's basically a psychopath, Ron. Apakah kamu menyadari itu?"

       "Arsen, apa maumu?"

       "Mauku? Aku mau cucuku tidak jadi meninggal dan menantuku tidak jadi diperkosa oleh anak keduamu. Namun, aku tidak gila seperti Raeden sehingga aku sadar bahwa kemauanku itu tidak bisa terwujud karena aku tidak bisa memutar waktu, Ronald Agrata."

       Ronald Agrata menahan napasnya.

       "Anak Rose meninggal? Raeden memerkosa Rose? Arsen, apa kamu bercanda?"

       "Kapan aku bercanda dengan kamu? Tidak pernah," jawab Arsen tajam.

        Sialan, umpat Ronald.

        "Lebih baik kamu lakukan apa yang aku mau, Ronald. Kamu cari anak bejatmu itu dan bawa ke hadapanku paling lambat besok. Kalau kamu gagal memenuhi kemauanku ini, you goddamn know what else I'm going to do."

        "That's impossible, Arsen!"

        "Tidak ada yang mustahil di dunia ini untuk nama belakang Leclair, Agrata. Sama seperti tidak mustahil bagiku untuk mengungkap kejahatanmu terhadap Tatianna dan melenyapkan semua keluargamu serta seluruh bisnismu. Aku akan menghancurkan kamu, Ronald. So, I suggest you to do what I tell you to do."

***

       Semuanya telah mencoba.

        Setiap orang yang masuk ke dalam ruang rawat Rose Asmaralaya sudah mencoba untuk mengajak wanita itu berbicara, tetapi mereka semua gagal. 

        Tidak ada satu katapun yang diucapkan oleh Rose setelah ia sadar dan menerima kabar bahwa kedua anaknya sudah tiada. Memangnya apa yang seharusnya ia ucapkan? Apakah ia harus menjelaskan betapa ia kotor dan tidak berharga dirinya? Haruskah ia mengumumkan kehancurannya karena ia telah membunuh anaknya sendiri?

       Atap ruangan itu hanyalah satu-satunya yang mampu ia pandang. Air mata terus mengalir dari kedua matanya dan Rose sudah lelah menahannya. Dadanya terasa begitu sesak, ia merasa kamar inap besar itu mulai menghimpitnya. Rasa sakit di sekujur tubuh dan jahitan di perutnya tidak bisa menandingi perih yang ia rasakan di hatinya.

      Rose Asmaralaya sudah rusak. 

      Kenyataannya Rose tidak tahu apakah ia akan kembali utuh lagi atau tidak karena saat ini ia sadar bahwa ia luluh lantak dan berserakan di mana-mana. Ia tidak tahu cara menghilangkan jejak Raeden di seluruh tubuhnya yang sampai sekarang masih bisa ia rasakan dan membayar kesalahannya kepada anak-anaknya selain dengan membunuh dirinya sendiri. Tidak adil rasanya. Tidak adil jika kedua anaknya meninggal akibat kebodohannya, sedangkan ia yang rusak itu ternyata tetap hidup. 

      Isakan Rose membuat wanita itu tersedak dan tangannya mencoba untuk meraih gelas di meja sebelah kasurnya. Namun, jaraknya terlalu jauh sehingga Rose kesulitan menggapainya dan justru menjatuhkan gelas itu. Suara pecahan gelas mengejutkan ruangan dan Rose yang menangis pun berteriak frustrasi. 

      Tidak lama, pintu kamar terbuka. Iris Asmaralaya dan Tatianna Leclair yang seharian menunggu di depan kamar rawat berlari menghampiri Rose, tetapi Rose berteriak lagi, "Just leave!"

      "Rose, stop pushing people away!" seru Iris pelan dengan air mata di wajahnya. 

      Iris tidak peduli ketika Rose mencoba mendorongnya. Wanita paruh baya itu tetap memaksa untuk memeluk anaknya yang sekarang memberontak sekuat tenaga. Teriakan Rose memekakan telinga dan suster di sana menghampiri kamar Rose, namun Tatianna meyakinkan suster itu bahwa Rose tidak apa-apa dan hanya meminta petugas untuk membersihkan pecahan kaca. 

      "Ma, leave..." pinta Rose dalam tangisnya.

       Iris menggeleng. "Mama tidak akan meninggalkan kamu, Kak. Semuanya bukan salah kamu..."

       "Aku salah, Ma. Aku yang membunuh anak-anakku. Aku yang gagal menjaga mereka. Aku membiarkan Raeden menghancurkan aku. Aku sudah kotor dan aku yakin Mikael tidak akan bisa menatap aku dengan cara yang sama seperti sebelumnya dia menatap aku. Berhenti bilang bahwa semua ini bukan salah aku."

       Tatianna bergerak mendekat dan ikut memeluk Rose. "Tidak, Rose. Jangan salahkan dirimu sendiri. Satu-satunya yang salah di sini hanyalah Raeden. Bukan kamu, Sayang."

       "Kami tidak akan meninggalkan kamu, Rose. Kamu tidak akan sendirian. Semuanya membela kamu, semua sedang berusaha untuk menjaga kamu. Kami semua ada di sini," ucap Iris.

      Tangisan Rose semakin terdengar pilu. Wanita itu melirik pintu kamarnya. Dia tidak ada. Satu-satunya orang yang Rose tunggu untuk masuk ke dalam ruangan itu tidak juga datang. Bahkan ketika matahari kembali terbit pun, dia tetap tidak datang. 

      Rose Asmaralaya mati dan Michael Leclair tidak ada di sana.

***

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang