XXXVII

18.8K 2.1K 243
                                    

          Thama Foundation, organisasi nirlaba yang diusung Charis Sandyakala Asvathama, sejak belasan tahun lalu rutin mengadakan acara pelelangan setiap tahun. Setiap undangan boleh mengajukan dan membeli sesuatu yang dilelang dan hasil pelelangan akan disumbangkan ke wilayah krisis pangan. 

          Malam ini, Thama Foundation kembali mengadakan pelelangannya. Undangannya terdiri dari ratusan kolega bisnis dan konglomerat Indonesia, termasuk keluarga Asmaralaya. Jadi, tadi sore Rose Asmaralaya dipaksa adiknya, Alyssa, untuk berdandan. Ia terpaksa menuruti semua perkataan adiknya yang begitu penyuruh dan kalau ia menolak, Alyssa akan langsung memelotot.

          "Alyssa, aku sedang dislok seperti ini. Sudah, kamu saja yang datang," kata Rose yang sedang mematut dress berwarna dasar krem di cermin. 

          Alyssa tidak mempedulikan Rose dan berkata, "Cantik! Kamu harus datang, Kak. Please, you can have fun today. Tidak ada Raeden hari ini."

          Rose menghela napas, mengalah. "Ini buatan siapa sih? Potongannya aneh," komentar Rose dan Alyssa langsung membelalak.

          "Temperley London kamu bilang aneh?! It's beyond pretty, Kak Rose. C'mon, aku yang designer. Kalau kamu kan baca buku terus dan cuma tahu popular luxuries."

          "Iya, maaf. Aku terbiasa pakai yang polos," ujar Rose. "Sampai sekarang aku masih bingung kenapa kamu belajar ilmu komunikasi bukan fashion design."

          "You ask our beloved ivy-league-minded Dad," balas Alyssa dan memutar kedua bola matanya. 

          "Aku bukan ivy league kok."

          "Yes, indeed, but Stanford is equivalent. Kalau Parsons? Papa mana setuju," kata Alyssa kemudian mengambil ponsel Rose di meja sehingga kakaknya itu mengernyit. 

          "Kamu perlu ponselku untuk apa, Lys?" Rose bertanya penasaran.

          "Memindahkan pelacak bodoh Raeden di ponselmu, Kak."

          "Kalau ketahuan Raeden bagaimana, Alyssa?"

          Alyssa melirik Rose lalu menjawab, "Tidak akan. Selama dia tidak di Jakarta, pokoknya kamu bebas mau ke mana saja. Teknologi ini sudah dirancang teman IT aku jauh-jauh dari Harvard. Kamu percaya deh sama aku, Kak."

         Rose Asmaralaya menghela napasnya lagi. Ia dengan sangsi memperhatikan Alyssa sibuk mengutak-atik ponselnya dan ponsel yang lainnya. Ada beberapa chip dan kabel-kabel yang Alyssa pegang. Rose tidak paham bagaimana ceritanya Alyssa mengerti itu semua. Bahkan beberapa kali dahi Alyssa mengerut sehingga Rose tahu adiknya begitu serius. 

          "Sudah, Alyssa, tidak usah," kata Rose saat Alyssa meringis karena mendapat setruman kecil.

           Alyssa menatap Rose dengan gemas. "Boleh diam sebentar nggak sih, Kak? Aku susah fokus. Aku akan memindahkan tracker  sialan Raeden dari ponsel kamu. Nanti di monitor Raeden hanya akan kelihatan rutinitas kamu biasanya."

          "Kayak putaran ulang setiap hari? Masa dia tidak akan curiga?"

          "Exactly, auto playback. Dia tidak akan curiga, Kak. Justru harusnya dia senang karena berpikiran kamu tidak ke mana-mana, bukan begitu?"

          "Kalau dia tahu, he will kill us both, Alyssa."

          "Tidak apa-apa," Alyssa mengendikkan bahu dan Rose membelo. "If he murder us, then I will certainly be happy. Aku akan menulis di dalam wasiatku bahwa hukuman mati Raeden harus dieksekusi di kursi listrik, with 32 millions volt—highest voltage ever recorded in this Earth."

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang