LXIX

17.6K 2.1K 304
                                    

        Asbak berukuran besar itu sudah penuh. Terlalu penuh bahkan. Namun, Raeden Agratama tidak berhenti membuang puntung rokok yang disesapnya di sana. Setiap habis satu batang, ia akan mengambil batang yang baru dan mematik api di ujungnya. 

        Pria itu mengamati rokok di sela jemarinya. 

        Api dan asap.

        Tunangannya, Rose Asmaralaya, telah bermain api di belakangnya. Dan hari ini, ia melihat sendiri asap tebal yang dibuat wanita itu. Rose membohonginya. Ia ingin sekali menghukum Rose ketika kepalanya mengulang kata-kata wanita itu yang menyatakan bahwa ia tidak bermain belakang bersama Michael Leclair. 

        Bagaimana bisa dia melewatkan itu? Bagaimana bisa tunangannya yang seharusnya ia nikahi dalam beberapa minggu justru telah menikah dengan orang lain? Bagaimana bisa kerasnya dia menjaga Rose dihancurkan dengan kedatangan Michael Leclair?

         Raeden memandang asbak kacanya. Ia tertawa kecil lalu melempar asbak itu ke dinding balkon kamarnya, membuat bunyi pecahan kaca yang lantang. Beling itu pecah dan hancur di lantai, sama seperti rasa frustasinya yang sekarang berserakan. 

          Dia harus membalas Mikael dan jelas saja ia tahu itu tidak akan mudah. Raeden bukan orang bodoh yang tidak menyadari bahwa Mikael memiliki kendali atas dirinya. Pekerjaannya, reputasinya, bahkan wanitanya, ada di tangan Mikael. Dan Raeden tahu Mikael tidak akan menempuh jalur cepat dengan langsung menjebloskannya ke penjara karena ia bisa keluar dari sana dengan uang dan kekuasaannya. Raeden menebak Mikael pasti menjatuhkannya di depan publik sehingga ia akan tercoreng seumur hidupnya. 

          Ia bisa saja berkelahi dengan Mikael semalaman, tapi ia juga tahu itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa Rose terlanjur menikah. Menikah? Cih. Raeden membuang ludahnya. Menyebutnya satu kata itu saja Raeden benci sekali. Apalagi membayangkan Rose mencoba melindungi Mikael, Raeden menganggap wanita itu begitu hina. 

          Ia bisa saja berkelahi dengan Mikael seharian, tapi ia juga tahu melawan Mikael butuh pikiran. Mungkin sekarang Mikael sedang menggantung kelemahan-kelemahannya di pucuk tiang dan ia tidak punya apapun untuk mengancam pekerjaan sekaligus reputasi Mikael.  Namun, setelah api yang dimainkan Rose dan Mikael berkobar di depan matanya sendiri, Raeden mendapatkan satu kelemahan Mikael. Hanya satu, tapi sangat besar. 

         Raeden menyeringai. Kalau ia tidak bisa merenggut apa yang seharusnya menjadi miliknya, maka Mikael juga tidak boleh mendapatkannya.

***

        "Rose, aku pergi dulu."

        Mikael menghembuskan napasnya dengan berat ketika Rose tidak menjawab. Istrinya tidur membelakanginya dan mendiaminya sejak tadi malam. Karena apa? Karena dia menyinggung suasana hati wanita itu. Memang Mikael akui, ia sengaja meledek Rose. Buat apa dia bertanya Rose haid atau tidak padahal sebelumnya ia menciumi seluruh tubuh istrinya itu? Tetapi, Mikael tidak menyangka Rose akan diam sampai pagi ini.

        "Choupinette, I'm off to work," ucap Mikael lagi, berharap bisa mendapatkan jawaban. 

        Tidak ada. Rose hanya tetap menyandar di sandaran kasur sambil membaca Safe Haven untuk kesekian kalinya. Ia membaca tanpa mempedulikan Mikael sama sekali. Bahkan demi menarik perhatian, Mikael melepas handuk dan berpakaian di depan Rose selepas ia mandi. Mikael tersenyum saat Rose bersemu dan segera menutup pandangannya dengan novel.

         "Have a good day. Aku tidak mau harimu jadi buruk karena kamu sedang kesal dengan aku," kata Mikael yang mendekati Rose dan mencuri kecupan di bibir wanita itu.

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang