🍒 Bianglala Senja

Start from the beginning
                                    

Tulisan tangannya hanya menunjukkan beberapa kata, lalu__

Saat kamu berdiri di depan pintu 11 IPS 5, bahwasanya harapan itu tak mungkin jadi nyata hanya dengan pasrah dan menunggu, segala sesuatunya perlu untuk diperjuangkan. (25,15)

Apa yang dimaksudkan oleh Aina, angka sandi di belakang kalimatnya bahkan dia tidak mengerjakan persamaan matematika yang kuberikan kepadanya.

Tanganku tergerak untuk menghidupkan gawai, hanya saja di lingkungan sekolah aku tidak terlalu berani berspekulasi untuk memainkannya dengan bebas karena peraturan di sekolah ini masih memberlakukan bahwa para siswa dilarang untuk menghidupkan gawai di sekolah saat jam sekolah masih berlangsung.

'Apa maksudnya?' aku mengirimkan pesan singkat yang mungkin belum bisa terbaca oleh Aina karena jelas gawainya masih dimatikan.

Hingga sore menjelang, gerimis menawarkan harum petrichor pada setiap hidung yang membaunya. Senja bahkan memilih untuk menutup mata namun sesaat kemudian matahari kembali muncul malu-malu memperlihatkan kegagahannya hingga menjelang rebah di peraduan dan sang dewi malam menggantikan singgasana keemasannya.

Senja dengan sejuta kekaguman setiap mata untuk menikmatinya. (10,-7)

Aku bahkan tidak mengerti dengan pasti apa yang membuatnya mengirimkan pesan-pesan yang aku sendiri tidak bisa mencernanya. Aina dengan segala keunikannya yang membuat aku semakin menggilai untuk menjatuhkan hatiku kepadanya.

Seperti matahari yang selalu ingin menerangi, demikian juga hujan yang ingin selalu mengimbangi kesuburan alam. Lalu apa kabar jika keduanya datang beriringan? Bianglala muncul dengan pendaran warna yang begitu memukau mata, dan aku melihat senyuman kekaguman itu melalui bibirmu pagi ini, Aina.

"Ain__"

"Hai An,"

"Suka bianglala?"

"Sangat. Kamu tahu mengapa?"

"Tidak, karena apa?" aku menarik kursi untuk bisa duduk di sampingnya yang masih dengan pancaran bahagia melalui matanya memperhatikan garis melengkung di angkasa dengan pendaran aneka warna seperti pita raksasa yang menaungi bumi untuk semesta memberikan kado terindahnya.

"Dengan melihatnya aku mengerti bahwa hidup itu tidak melulu tentang hitam dan putih. Ada merah, kuning, hijau, biru, ungu bahkan jingga yang selalu dekat dengan senja." Jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya kepadaku. Sepertinya Aina memang begitu mengagumi bianglala yang masih menjadi pemandangan indah di langit pagi ini.

"Mengapa harus jingga dan senja?"

"Karena itu merupakan dua hal yang sulit terpisahkan."

"Mengapa tidak mencoba menyukai tentang jingga dan fajar di ufuk timur?" tanyaku, karena sesungguhnya aku lebih menyukai itu daripada harus bermanja dengan senja.

"Karena senja selalu romantis kapan pun dan bagaimanapun keadaannya." Aina memberikan pendapatnya.

"Walau sesaat kemudian merelakan mentari tenggelam dan pergi? Orang kadang begitu memuja senja dan lebih memilih untuk selalu mengingat tentang kepergian tapi kebanyakan mereka lupa bahwa jingga juga bisa dinikmati oleh mata dengan menyambut kedatangan sang surya menerangi dunia."

"Karena dengan mengingat mati kita bisa tahu seberapa baikkah kita kepada sesama, kepada alam, dan kepada makhluk lain ciptaan Tuhan."

"Tapi hidup harus optimis, Ain. Kita tidak bisa berpangku bersama senja seperti halnya aku yang akan selalu berjuang untuk terus belajar matematika karena aku tahu aku lemah di pelajaran itu."

"Paham, dan perjuangan itu akan terasa sia-sia saat semuanya telah ditentukan hasil akhirnya."

"Aina__" aku menatapnya, ada pesan tersirat pada kalimatnya yang membuatku tidak mengetahui apa yang dimaksudkan oleh Aina. "Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku kemarin?"

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now