🍒 Why never be Honest?

676 99 15
                                    

Cerita olehku

WHY never be honest? Mengapa tidak pernah saling jujur mengakui.

Dari sekian banyaknya pertanyaan hanya satu pertanyaan itu yang selalu hinggap di benakku. Mengapa dan mengapa. Hingga akhirnya kejujuran itu terkuak namun dalam bingkai cerita kehidupan yang berbeda.

Clara Diana, aku mengenalnya sebagai seorang bankers yang handal. Idenya cukup unik untuk bisa diterima di kalangan kepala unit dan juga kepala cabang untuk bisa memajukan unit serta cabang yang dipimpinnya. Harusnya dia tidaklah ditempatkan sebagai salah satu kepala cabang kelas empat yang aku tahu sesungguhnya kapabilitas dia mampu untuk bisa memimpin lebih daripada itu. Atau mungkin sebagai supporting branch leader yang berinovasi untuk melakukan banyak terobosan guna menaklukkan beberapa perusahaan besar yang akhirnya bersedia untuk bermitra dengan kami.
Penampilannya cukup eksentrik, sebagai seorang bankers dan yang aku lihat dia tidak selalu girly layaknya ibu-ibu kepala cabang yang lain.

Dia bisa memainkan perannya, dengan siapa dia sedang berhadapan. Kalau hanya tentang meeting Cluster searea aku yakin cukup dengan rok panjang juga sepatu boots, juga jilbab penutup kepala yang sederhana tapi cukup menarik dan memenuhi kaidah sebagaimana fungsinya jilbab itu untuk seorang muslimah, bukan hanya sebagai penutup kepala saja tetapi juga menjulur ke dada namun bukan seperti anak pondokan yang hanya di jepit di bagian bawah dagu.

Berbeda jika harus gathering dan juga meeting yang didalamnya ada petinggi dari kantor pusat atau dari regional. Pakaian Seragam Nasional atau setidaknya mengenakan pakaian dinas lengkap dengan setelan blazer juga stiletto yang membuatnya semakin terlihat 'mahal'. Sapuan make up yang dikenakan juga tidak terlalu bold, flawless namun sangat pas mengimbangi bulat mata yang dimilikinya, tipis bibir yang selalu tersenyum menularkan ceria ke semua orang dan juga mancung hidungnya yang orang kata mirip wanita berkebangsaan india.

Kalau dilihat dari namanya, bahkan orang lain akan menganggap dia bukanlah seorang muslimah tapi nyatanya aku salah.

Pertama kali aku melihatnya di meeting Cluster awal bulan ini. Clara cukup friendly namun sepertinya memang dia memilih untuk menarik batas. Dengan siapa dan bagaimana dia mulai bercanda dengan rekan-rekan kerja lainnya.

"Vokal banget ya, bu Clara. Pindahan dari area sebrang dengar-dengar." Penampilannya memang memukau setiap mata. Siapa yang tidak terusik coba, bahasanya lugas, lancar berbicara, tidak membosankan karena banyak ice breaking baik sengaja ataupun tidak selama dia memaparkan progker cabangnya yang ketika dia datang menjabat mendapat peringkat nomer dua dari bawah searea.

"Pembawaannya kalem gitu, bisa nggak ya bawa cabangnya membumbung?" Jawab Hamzah yang duduk di sebelahku.

"Emang track record di cabang sebelumnya bagaimana?" Jujur aku memang baru mengenal Clara dan juga bertemu dengannya kali ini.

"Not bad, tapi juga nggak spesial banget. Cuma sepertinya dia bisa pulang kampung karena campur tangan petinggi yang lagi dekat dengannya?"

"Affair maksudnya?"

"Dengar-dengar sih bukan, hanya dulu pernah satu kantor dengan Clara."

"Siapa memangnya?" tanyaku penasaran.

"Mr. Yogantha."

"What, serius? Bussiness and Retail Banking Section Head Regional maksudnya?"

"Iyalah siapa lagi Mr. Yogantha kan cuma satu itu, kemarin aku lihat di area mereka ngobrol akrab banget sudah seperti saudara bahkan banyak yang bilang kalau pak Yoga hampir selalu minta pendapat Clara untuk memutuskan sesuatu."

"Sesuatu?"

"Tempat makan siang, menu makan, atau yah semacamnya."

Aku hanya diam mendapati informasi itu. Bukan hal yang tabu lagi kedekatan pegawai dengan atasan akan memberikan pengaruh atas penilaian kinerja juga perputaran roda kebutuhan pegawai pimpinan yang memang harus bergeser setiap periode tertentu. Oh jadi karena sedikit nepotism dengan pak Yoga, yang membuat Clara bisa balik kampung.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang