43. Firasat💔

15.6K 1.1K 135
                                    

Senja tahu kapan akan pulang, dan aku tahu kapan harus berhenti bertahan.




"Em guys," panggil Vega pelan.

Alesta, Gavina dan Mauren menoleh. Mereka berempat sedang berada di rumah Mauren, lebih tepatnya di kamar gadis itu.
Tidak ada hal penting yang mereka lakukan selain bertukar cerita. Vega tersenyum tipis, apa ia bisa seperti ini terus?

Vega menaruh ponselnya lalu menghela nafas pelan.

"Lo kenapa, Ve?" tanya Mauren saat menyadari raut Vega yang tak sesemangat seperti biasanya, kali ini gadis itu terlihat sangat murung dengan bibir pucat pasi serta kantung mata yang sedikit menghitam.

Alesta menatap penampilan Vega, entah mengapa saat melihat Vega dirinya seakan ikut merasakan kesedihan yang dialami gadis itu. Seperti ada yang mengganjal dalam hatinya.

"Vega kenapa sih?" tanya Gavina karena Vega tak kunjung menjawab pertanyaan yang dilontarkan Mauren beberapa menit yang lalu.

Entah mengapa semua terasa berat, Vega seperti tidak rela dengan semuanya. Perasaan seperti ini yang membuatnya bingung sekaligus takut.

Menyadari Vega yang tak kunjung membuka suara membuat Alesta sontak mengguncang bahu sahabatnya itu pelan. Vega melamun dan itu membuatnya sedikit khawatir akan keadaan gadis itu.

"Lo kenapa sih Ve? Cerita sama kita, kalau lo emang ada masalah. Jangan buat kita khawatir," ujar Alesta dengan nada khawatir.

"Maaf." hanya itu yang mampu Vega katakan. Sepertinya ia harus menyiapkan kalimat karena mendadak pikirannya kosong seperti orang linglung.

"Sebenernya gak ada apa-apa sih, gue cuma mau bilang sesuatu aja sama kalian." Vega bergumam tetapi masih bisa didengar oleh ketiganya.

Perasaan Alesta semakin tidak enak, entah mengapa gadis itu sedikit takut untuk mendengarkan kelanjutan kalimat Vega. Tanpa disadari, Gavina dan Mauren juga sama merasakannya. Seperti akan ada yang pergi sebentar lagi, tapi mereka semua menyanggah pikiran negatif itu.

"Jangan bikin kita bingung deh," ucap Mauren sedikit kesal, lantaran Vega tak kunjung membicarakan intinya.

"Oke-oke, jadi gini. Gue bentar lagi bakal pergi ke Bogor," ucap Vega membuat ketiga sahabatnya bernafas lega.

Merasa ada yang aneh, karena Vega tidak memiliki keluarga di daerah Bogor. Alesta yakin seratus persen, ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu. Seperti suatu yang besar namun Vega tak berani mengutarakannya. Belum sempat Alesta menyanggah ucapan Vega, sahabatnya itu kembali bersuara. "Gue mau cari hidup baru, dalam arti lain gue akan pergi dari sini. Gue cuma gak mau jadi beban," ucap Vega mencoba untuk menjelaskan.

Walaupun seperti itu Alesta merasa masih tidak tenang. Mungkin sebentar lagi ia akan pergi mencari tahu hal ini, tetapi untuk kali ini Alesta tidak akan mengajak siapapun. Ia akan mencari tahunya saat Vega akan pulang nanti.

"Tapi lo mau tinggal di mana? Lo gak ada keluarga di sana Vega," ucap Mauren seperti tidak setuju dengan Vega.

"Tau ih Vega, lo jangan ke Bogor lah. Di sini ada tempat tinggal kok, gue bakal kasih pinjem lo apartement gue asal lo jangan jauh dari kita," ujar Gavina yang kedua matanya sudah berkaca-kaca.

Brakk

Alesta menggebrak meja dengan keras hingga membuat ketiganya terlonjak kaget. Mauren menatap Alesta dengan tatapan tajam tetapi Alesta tak terpengaruh dengan tatapan itu. Kali ini fokusnya kepada Vega. Alesta tidak setuju dengan usul Vega, ia tidak bisa membiarkan sahabatnya hidup dalam kesendirian ditambah lagi kesehatan mental Vega yang dibilang tidak baik-baik saja.

I'M LONELY (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang