Part 43

79 3 1
                                    

“ambilin penggaris dong” pinta gw tanpa mengalihkan pandangan dari coretan gambar desain yang ada di hadapan gw.

“’tolong’nya mana?” sahutnya sambil cemberut.

gw menoleh, memandanginya, kemudian mengangguk-angguk pelan. Dia duduk di samping gw sambil mendekap kedua lututnya dan rambutnya tergerai seperti hantu Sadako itu.

“Uni Jihan, tolong ambilin penggaris dong di belakang itu” jawab gw dengan senyum dibuat semanis mungkin.

“gitu dong” dia beranjak berdiri dan mengambilkan penggaris besi, “nih...”

“terimakasih”

gw melanjutkan membuat coret-coretan gambar desain rencana bisnis gw, dan juga desain lokasi bisnis gw. Buat gw ini adalah kesempatan untuk melangkah lebih jauh di hidup, sekaligus pembuktian bahwa gw mampu untuk berbisnis. Karena itu gw berusaha semaksimal mungkin dalam perencanaannya dan hal sedetail apapun gw usahakan untuk diperhitungkan, walaupun gw tahu pasti ada satu-dua hal yang terlewati. Tapi pada intinya gw ingin ini jadi satu momen yang ga terlupakan di hidup gw.

“asik ya punya bisnis sendiri” celetuk Jihan di balik punggung gw. Untuk beberapa waktu gw melupakan kehadirannya di dekat gw karena sebegitu konsentrasinya gw.

gw menoleh. “ngerencanainnya si asik, tapi tunggu sampe nanti mulai ada masalah-masalah kecil atau besar, baru jadi ga asik” sahut gw sambil tertawa.

“gw juga mau deh punya bisnis gitu”

“ya bikin lah.”

“tapi gw ga tau mau bisnis apa gitu. Bingung gw”

“lo sukanya apa? Clothing atau bisnis kuliner gitu? atau siapa tau lo juga mau coba bisnis yang diluar itu”

“nah itu, gw juga bingung hobi gw apa... Hahaha...”

gw menghela napas, sementara Jihan hanya tertawa-tawa melihat gw seperti hopeless menghadapinya.

“lo bisa masak?” tanya gw.

“bisa, tapi ga banyak”

“apaan? jangan-jangan masak air doang, itu aja dicicipin dulu udah mateng apa belom?” sahut gw sambil tertawa lebar.

“ih enak aja! gw beneran bisa masak tau!” dia menonjok bahu gw, “orang Minang harus bisa masak” katanya dengan bangga.

“coba bikin bisnis kuliner aja” usul gw.

“tapi....”

“tapi apaan?”

“tapi belum tentu masakan gw enak soalnya. Hehehe...” dia nyengir dengan tampang ga berdosa. Gw cuma bisa mencibir dengan gondok.

“makanya test food, lo masak gitu, terus suruh temen-temen lo cicipin. Tapi pastiin temen-temen lo jujur, jangan rasanya kaya kapur barus tapi mereka bilang enak...”

“ish jahat bener lo ngatain masakan gw kaya kapur barus!” lagi-lagi dia menonjok bahu gw. “....masakan gw kaya pupuk kandang tau hahahaha....”

“hiii bau ah hiiii....” goda gw sambil menutup hidung dengan tangan.

“eh tapi seriusan, gw bisa masak kok...”

“coba aja besok masak, ntar gw kasih komentar...”

“bilang aja lo mau makan gratis!” gerutunya sebal. gw hanya bisa cengar-cengir karena modus gw terbongkar.

“kalo gitu besok anterin gw ke pasar” katanya lagi.

“ngapain?”

“beli bahan-bahan lah, katanya gw disuruh masak?”

“oh iya iya, besok gw anterin ke pasar deh. Mau masak apa lo?” gw nyengir bego.

“liat aja besok...” tutupnya dengan menaikkan alis dan tersenyum penuh arti.

Keesokan harinya gw sudah berada di sebuah pasar pagi, dengan kondisi ramai dan bau daging beserta bumbu-bumbu dapur menyengat hidung gw. Jujur gw ga terbiasa berjalan-jalan di pasar tradisional, dan pagi itu gw merasa ga nyaman meskipun gw berusaha keras untuk menutupi ketidaknyamanan gw itu. Gw mengikutinya berjalan di sepanjang lorong pasar, dan di tangan gw ada beberapa kantong plastik berisi bahan-bahan memasak.

Gw mengamatinya ketika dia berhenti di salah satu pedagang daging, dan dia dengan cekatannya mengamati kondisi daging terlebih dahulu sebelum menawar. Proses tawar-menawar itu juga berlangsung seru dan lama, hingga akhirnya pedagang menyerah, dan daging itu bisa dibelinya dengan harga ga begitu jauh dari tawaran awal. Barangkali ibu-ibu pedagang itu berpikir, kalau pembelinya macam Jihan semua, dia bakal gulung tikar dalam waktu seminggu saja. Gw mengamati semuanya itu dengan takjub, sekaligus geli. Gw ga menyangka sosok Jihan ini memiliki sisi lain yang “emak-emak banget” seperti ini.

Di bagian bumbu dapur dan sayuran juga dia menunjukkan kecekatannya memilih jenis-jenis bumbu yang tepat, dan kondisi sayuran yang bagus. Gw yang hanya tahu sedikit-sedikit tentang masak-memasak, tentu saja merasa takjub dan kagum. Mungkin lain ceritanya kalau gw juga hobi memasak.

Sesampai di kos-kosan, kami berdua langsung menuju dapur dengan bawaan berkantong-kantong. Dengan cekatan dia mengeluarkan daging, mencucinya, dan merebusnya di panci. Sementara menunggu daging direbus, dia mulai menangani sayuran-sayuran yang menunggu untuk dibunuh dengan cara dipotong-potong. Dia menoleh ke gw disela-sela mencuci sayuran.

“bikinin sambel dong. Bisa kan?”

gw berpikir sejenak. “bisa bisa kok”

“tuh ambil dulu ulekannya”

“dimana?” gw celingukan.

“di lemari sebelah kanan, di bagian bawah” dia hapal betul alat-alat masak di kosan, batin gw. Setelah menemukan ulekan yang terbuat dari batu, gw letakkan diatas meja. “terus apa aja?” tanya gw.

“ambil cabe beberapa, trus kasih sedikit garem, terasi, bawang putih sama bawang merah” perintahnya cepat seperti rentetan petasan. “bumbu-bumbunya ambil di kantong, garemnya ada di botol di sebelah kompor.”

Dengan agak bingung gw menuruti semua perintahnya itu, kemudian mulai mengulek cabe pelan-pelan. Karena ga terbiasa, gerakan gw juga cukup lambat. Jihan yang baru selesai menangani daging, menatap gw dan menggeleng-geleng pelan.

“gini loh caranya...” dia mendekati gw dan memegang tangan gw yang juga memegang ulekan, kemudian menggerak-gerakkannya dengan ritmis. Tangan gw yang ada di dalam genggamannya mau ga mau mengikuti gerakannya. “nah nah gini, gampang kan...” cerocosnya.

“udah sekarang lo lanjutin sendiri....” dia kemudian meninggalkan gw dan mulai sibuk lagi di depan kompor.

Gw melanjutkan mengulek sambel sampai gw rasa sudah cukup lembut, kemudian gw cicipi sedikit, dan ternyata pedes banget. Parah lah ini sambel buatan gw.

“Lang sini deh...” panggilnya tanpa menoleh ke gw. Dia berada di depan kompor. Gw menghampirinya.

“cobain nih...” dia menyendok sedikit kuah masakan berwarna coklat dari wajan, dan menyuapkan ke gw pelan-pelan.

“enak ga?” tanyanya ketika gw sudah merasakan kuah masakan tersebut. Gw mengangguk-angguk sambil mengacungkan jempol.

“enak?” tanyanya lagi.

“enak kok”

“beneran enak?”

“iya enak kok, emang kenapa si?”

“padahal itu belum mateng....” jawabnya dengan tawa berderai.

Dunia Yang SempurnaWhere stories live. Discover now