Part 26

46 3 0
                                    

Di siang hari yang panas itu, gue dan Ara berjalan-jalan menyusuri deretan kios-kios buku bekas di bilangan Senen. Banyaknya jenis buku bekas yang dijual, seakan merupakan surga bagi Ara yang seorang kutu buku. Buat gue, berburu buku bekas lama kelamaan merupakan hal yang menarik. Karena disamping gue menyukai buku, gue juga suka dengan segala hal berbau sejarah. Buku bekas selalu memiliki jalan kisahnya sendiri.

Ara berjalan di samping gue, mengenakan kemeja, dan sweater miliknya tersampir di kedua bahunya. Rambutnya yang agak pendek itu dikuncir sedikit, sehingga memperlihatkan tengkuknya. Barangkali dia sedikit kepanasan. Dia mengenakan tas kecil yang diselempangkan, berisi dompet dan handphonenya, serta beberapa barang pribadinya. Di tangan kirinya terpasang gelang pemberian gue sebagai kado ulang tahunnya tempo hari, beserta jam tangan mungil.

Dia berhenti di salah satu kios yang agak besar, dan matanya mulai menjelajahi tumpukan buku yang ada. Dia sangat bersemangat, seolah-olah sedang mencari harta karun. Dia kemudian mengambil sebuah buku, bersampul warna kuning kehijauan yang agak lusuh karena pemakaian, dan membolak-balik halamannya sambil tersenyum. Gue membaca sekilas cover depan buku itu, judulnya “Mangan Ora Mangan Kumpul”.

“apa tuh?” tanya gue penasaran.

“ini judulnya Mangan Ora Mangan Kumpul, semacam kumpulan kolom tulisan Umar Kayam di koran Kedaulatan Rakyat di Yogya.” jelasnya sambil membolak-balik halaman buku, kemudian menoleh ke gue, “tahu siapa itu Umar Kayam?”

gue menggeleng.

“beliau salah satu sastrawan Indonesia, yah kalo ga salah sih seangkatan sama Pramoedya, kalo ga salah loh ya…”

gue membaca lagi judul buku itu.

“itu artinya apa?” maklum judul itu berbahasa Jawa, meskipun gue tahu beberapa artinya, tapi tetap saja gue ga pede.

“makan ga makan asal ngumpul”

“bagus ga?”

“kalo gue baca-baca sih bagus, kan Umar Kayam bukan cuma sekedar sastrawan tapi juga sosiolog. Jadi sedikit banyak isinya semacam kritik-kritik sosial gitu deh…” jelasnya sambil tersenyum.

“perasaan gue pernah denger deh tentang Umar Kayam ini…” gue berpikir sambil menggosok-gosok dagu, mencoba menggali kembali ingatan gue.

Ara menutup buku itu dan mengembalikannya ke tumpukan asalnya.

“mungkin yang lo denger itu Bapak Umar Kayam yang ini, tapi mungkin juga Umar Khayyam, penyair sekaligus matematikawan dari Persia jaman dulu…”

“gue lupa yang mana. Lagian dua-duanya juga gue enggak kenal. Gue malah baru tahu siapa mereka ya dari lo ini…” sahut gue sambil tertawa.

Ara tersenyum ke gue sambil mengambil salah satu buku lain.

“tahu siapa yang bisa mengkalkulasi ulang dengan tepat jumlah hari dalam setahun?” 

gue menggeleng.

“ya Umar Khayyam yang dari Persia itu.” simpulnya.

Gue takjub dengan luasnya pengetahuan yang dimiliki Ara. Gue kira dia ga menaruh perhatian dengan hal-hal semacam ini. Tapi ternyata dibalik kehidupan sehari-harinya dia yang selalu gue lihat selama ini, dia merupakan seorang cewek dengan pengetahuan yang luas dan minat yang jarang gue temui.

Beberapa waktu kemudian, dia mengajak gue jalan lagi, berpindah ke kios-kios lain yang belum kami lihat. Gue memandangi deretan kios, dan orang-orang yang berlalu lalang dengan segala kegiatannya masing-masing. Kemudian tiba-tiba gue merasakan tangan gue digandeng oleh Ara, yang gue balas dengan genggaman erat. Gue cuma berani melirik sedikit ke tangan kami berdua yang terjalin diantara kami, dan melihat wajahnya sekilas. Dia sedang berkonsentrasi memandangi kios-kios disampingnya.

“lo haus ga, Ra?” tanya gue.

“ada minuman apa?”

Gue menunjuk ke depan dengan dagu. “tuh ada warung di depan, siapa tahu lo mau beli teh botol…”

“lo aus ga?” tanyanya sambil memandangi gue dengan lucu.

Gue mengangkat bahu. “ga aus si, tapi kalo dikasih minum ya ga nolak, hehehe…” gue menoleh ke Ara, “lah lo aus ga?”

“engga si, tapi kalo dikasih ya ga nolak juga…” jawabnya sambil menjulurkan lidah. Entah kenapa dada gue berdegup kencang ketika dia melakukan itu ke gue.

“yuk beli minum yuk” ajaknya sambil menarik tangan gue.

Beberapa saat kemudian kami berdua sudah duduk di sebuah bangku panjang dari kayu, sambil meminum teh kemasan botol. Sesekali Ara mengelap lehernya yang berkeringat. Gue juga kepanasan, sebenarnya, tapi gue ga begitu ambil pusing.

“lo mau cari buku apa si, Ra?” tanya gue sambil menyedot teh.

“apa ajah, yang kira-kira bagus.”

“novel?”

Ara menggoyang-goyangkan kepalanya ke kanan dan kiri. “novel boleh, autobiografi boleh, asal jangan buku kuliah” sahutnya sambil tertawa.

“lo suka novel luar apa lokal?”

“apa aja si, cuma kalo genrenya roman gitu gue pilih yang lokal.”

“kenapa?”

Ara mengangkat bahu. “entahlah, mungkin kesamaan bahasa yang bikin gue lebih ngerasain ceritanya. Kalo novel luar dan terjemahan, kadang-kadang kurang ngena, apa ya namanya? feel-nya gitu lah…”

gue mengangguk-angguk, dan memahami alasan Ara barusan.

“awal mula lo kaya gini gimana, Ra?”

“kaya gini gimana maksud lo? yang jelas ah kalo nanya…” gerutunya. Gue cuma bisa meringis malu.

“ya lo jadi suka buku kaya gini, punya pengetahuan yang luas, dan tertarik mendalami hal-hal ginian…”

“kan gue udah pernah cerita, gue tumbuh diantara buku…”

“tapi itu ga cukup membuat lo punya minat yang sama seperti lingkungan lo dulu kan?”

Ara terlihat berpikir sejenak sambil melepas kunciran rambutnya, dan merapikan rambutnya kembali seperti sediakala.

“mungkin itu pengaruh dari kakek gue kali ya…”

“oh ya? gimana ceritanya?”

Ara memandangi gue sambil tertawa gemas. “bawel amat si lo, mau tau ajah…” dia menghela napas. “jadi, kakek gue itu profesor. Dulu waktu beliau masih ada, di jaman kecil gue, sering didongengin macam-macam. Jangan lo bayangin dongenginnya seperti dongeng-dongeng fantasi gitu ya, tapi gue diceritain tentang sejarah perjuangan Indonesia, kekayaan budaya Indonesia dan hal-hal kecil yang menurut gue menarik…”

Ara terlihat menerawang, barangkali ingatannya sedang berkelana ke masa lalunya. Gue menunggunya bercerita lebih lanjut.

“dulu, waktu kecil, kadang-kadang gue merasa aneh waktu bermain bersama anak-anak seumuran gue…” dia kemudian tertawa pelan.

“kenapa gitu?”

“di waktu anak-anak seumuran gue pada nonton Si Komo Weleh-Weleh, atau si Unyil, atau baca dongeng fabel gitu, gue malah nonton video tentang Borobudur yang dulu dibawain kakek.” Ara tersenyum, “yang lain baca majalah anak-anak, gue setiap hari dicekokin ensiklopedi”

“wuih, hebat dong kalo gitu? pantesan aja lo sekarang pengetahuannya luas gini…” puji gue. “koleksi buku lo sebanyak apa si?” gue penasaran.

“kapan-kapan gue ajak lo lihat sendiri deh.” jawabnya sambil tersenyum manis.

Dunia Yang SempurnaWhere stories live. Discover now