Part 32

48 1 0
                                    

Gue berjongkok di salah satu sisi trotoar taman, membetulkan tali sepatu sneakers gue yang lepas ikatannya entah untuk keberapa kalinya pagi itu. Kesempatan itu gue pergunakan juga untuk menarik napas sejenak. Setelah cukup lama ga berolahraga, pagi itu napas gue terasa pendek sekali. Kalah jauh gue sama Ara, yang meskipun sudah menempuh jarak yang sama seperti gue tapi napasnya tetap teratur. Soal stamina gue akui nih cewek satu emang jagoan. Ara meloncat-loncat kecil di samping gue, persis seperti seorang hiperaktif. Gue memandanginya dengan aneh.

“diem napa si, loncat loncat mulu kaya pocongan” sahut gue asal sambil merapikan ujung celana gue.

“kelamaan nungguin lo, keburu kaku lagi kaki gue nih” balasnya, “lagi lo larinya lambat amat si kaya cewe...”

“lah elo cewe larinya cepet gitu?”

“gue mah beda...” dia merapikan kerahnya, menyombongkan diri.

“iya iya percaya gue percayaaa...”

“yuk lari lagi yuk...” ajaknya sambil meninggalkan gue.

“eh buset dah ini anak maen ninggal-ninggal ajah...” sahut gue kesal sambil menyusulnya berlari. Pagi itu matahari bersinar cukup terik, dan lalu lintas mulai ramai. Asap kendaraan bermotor mulai terasa.

Setelah agak jauh, beberapa kali putaran melewati titik yang sama, akhirnya Ara memutuskan untuk berhenti. Barangkali dia berhenti gara-gara melihat wajah gue yang sudah ga karuan bentuknya, dan napas gue yang terengah-engah. Sambil tertawa Ara melap keringat di wajah gue dengan handuk kecil yang sedari tadi melilit pergelangan tangannya. 

“capek yah? istirahat dulu yuk...” ajaknya sambil mengelap keringat gue.

“akhirnya....” sahut gue lemas.

Dia tertawa.

“baru segini juga...”

“gue lama ga olahraga tau, Ra. Jauhan dikit bisa-bisa pingsan gue nih...” gue masih terengah-engah dan berusaha mengatur napas.

“lo mau makan bubur?” dia menunjuk gerobak penjual bubur ayam agak di kejauhan.

“apa ajalah.... yang penting makan...” jawab gue seadanya. Gue masih mengumpulkan lagi kekuatan gue, jadi belum bisa diajak ngobrol serius.

“biasa aja sii ngos-ngosannya...”

“ini gue ngos-ngosan beneran tau! zzzztt....”

Ara mencibir kemudian tertawa-tawa dengan gayanya yang tengil. Kemudian dia menggandeng gue ke penjual bubur yang tadi dimaksudnya. Mungkin lebih tepatnya dia menyeret gue, karena kaki gue belum bisa diajak kompromi.

“napa lo ga iket gue di motor aja si...” protes gue karena dia menarik gue hingga gue nyaris terjatuh. Dia menoleh ke gue dan memandangi gue dengan kesal.

“diem. bawel amat lo, gue selepetin cabe juga tu mulut lo lama-lama...”

“......”

Di penjual bubur itu, gue makan dengan lahap. Ara mengamati gue makan sambil tertawa-tawa sendiri. Barangkali cara gue makan seperti orang yang seminggu belum dikasih makan. Peduli amat, batin gue.

Dunia Yang SempurnaWhere stories live. Discover now