Part 18

47 2 0
                                    

Setelah lebih dari setengah tahun naik angkutan umum kesana kemari, akhirnya gue diberi sebuah sepeda motor oleh orang tua. Sebenarnya ini motor lama kesayangan bapak, tapi karena bapak beli motor baru, akhirnya yang lama diserahkan ke gue. Di sebuah kesempatan, gue berlama-lama di halaman parkir, dan mengelap motor baru tapi bekas yang gue punya sekarang ini. Sambil membersihkan debu di sela-sela terkecil motor itu, gue menatap sesaat ke langit. Waduh, kayanya mau hujan nih, mending gue parkirin di deket kamar biar ga kehujanan, pikir gue.

Ketika gue menuntun motor itu ke tempat yang gue maksud, di saat yang sama Ara melangkah masuk ke halaman, sambil membawa plastik bungkusan belanjaan dari minimarket. Dia tersenyum lebar, dan menghampiri gue.

“ciyee elaaah, motor baru, Bang? ojekin dong” godanya sambil mengamati motor yang gue tuntun. Gue cuma tertawa sambil mendorong.

“mau dianterin kemana neng?”

“ke Dufan ye bang”

“’set, sampe sana motor gue tinggal bannya doang nih”

Kami berdua tertawa lepas. Setelah gue memarkirkan motor dan membereskan lap kain yang gue gunakan tadi, kami berdua naik ke lantai dua.

“beli apaan lo? perasaan lo doyan amat belanja…” selidik gue.

“cemilan nih, sama pembalut. Ehehehe….”

“pembalutnya mau dicemilin juga?”

Ara mencubit pinggang gue dengan gemas, diiringi dengan erangan melengking dari mulut gue. Ara kemudian membuka pintu kamarnya, sementara gue mengambil rokok dari kamar, dan menyalakannya sambil bersandar di balkon.

“lo ga pergi, Gil?” Ara bertanya dari dalam kamar sambil melipat selimutnya.

“lah, gue diusir?”

Ara memicingkan mata, memandangi gue dengan tatapan ‘serah lo dah’. Gue menangkap tatapan mata itu dan membalasnya dengan cengiran lebar. Gue menggeleng.

“engga, ga ada acara apa-apa gue,” gue menghisap rokok, “kenapa emang?”

“gapapa, nanya ajah.” jawabnya.

“ooh…”

Ara terdiam, dan memandangi gue.

“kok lo ga nanyain gue mau kemana?” dia cemberut.

“lah emang lo mau kemana?”

“mau pergi sama Rino doooong….” sahutnya dengan senyum lebar.

Untuk beberapa saat gue terpaku. Rasanya ucapan itu betul-betul menohok ulu hati gue, dan percaya atau tidak, rasa sakit itu benar-benar terasa secara fisik. Gue langsung berusaha keras memasang ekspresi datar, mengontrol perasaan gue sendiri yang ibaratnya baru saja terkena tsunami. Ara sedang membersihkan mejanya, dan dengan pernak-pernik diatasnya. Untung, dia ga lihat muka gue, batin gue waktu itu.

“mau pergi kemana?” gue berusaha mempertahankan intonasi sebiasa mungkin. Meskipun gue menyadari kalau suara gue sedikit bergetar. 

“Rino ngajakin dinner katanya, dia juga ga mau ngasi tau kemana,” dia menoleh ke gue dengan senyum simpul, “apa dia mau nembak gue yah?” tanyanya sambil meletakkan telunjuk di ujung bibirnya.

“emang lo belum jadian? gue kira udah…”

Ara menggeleng.

“kemarin malem dia telepon gue, katanya mau ngajak dinner hari ini. Gue nya si mau-mau aja, yang penting makan soalnya hihihi”

Gue tertawa pahit, tapi dalam hati gue mencelos.

“kalo makan gratis si gue juga mau, Ra…” sahut gue.

“kalo lo ikut ntar kita malah jadi ngerampokin Rino dong?” balasnya sambil menjulurkan lidah. Rasanya gue ingin mengatakan ‘jangan pergi’ tapi gue masih cukup sadar untuk berpikir panjang.

“jam berapa perginya?” gue bertanya sambil menghembuskan asap rokok ke luar balkon.

“abis maghrib paling,” Ara menoleh ke gue, “ga usah nungguin gue kaya yang lalu ya....” dia tersenyum manis. Sangat manis.

“nungguin? nungguin apaan?” gue benar-benar ga paham.

Ara beranjak dari duduk, dan berdiri di samping gue, sambil bersandar ke balkon. Dia memandangi deretan kamar di seberang kami, yang terpisah oleh halaman parkir. Sesaat kemudian dia menoleh, memandangi gue dan masih dengan senyumnya yang sangat manis.

“terakhir kali gue pergi sama Rino, lo nungguin gue kan?” tanyanya lembut.

“enggak” gue mengelak. Kali ini gue ga berani menatap matanya langsung. Gue yakin Ara mendeteksi setiap perubahan terkecil di ekspresi wajah gue.

“kalo gitu kenapa waktu itu ada dua bungkus nasi yang belum kebuka diatas meja lo?” Ara tersenyum. Entah itu senyum iba, atau senyum lembut.

“nggg… itu….” gue tercekat, ga bisa memikirkan alasan yang masuk akal.

Ara yang masih tersenyum, mengulurkan tangan, dan mengelus-elus pipi gue pelan. Sangat pelan.

“gue tahu kok…” katanya lembut.

“…….”

“jangan nungguin gue ya…”

Gue menatap matanya, cukup lama.

“maksud lo?” tanya gue.

Ara kembali mengelus-elus pipi gue pelan, dan tersenyum. Dia berkedip-kedip beberapa saat, dalam kebisuan.

“ya jangan nungguin gue, pokoknya….” dia membasahi bibir, “nanti gue bakal kembali lagi kok…”

“kembali lagi? maksudnya?” pikiran gue kacau, ga bisa mencerna apapun.

Ara hanya tersenyum dan ga menjawab apapun. Dia kemudian melangkah masuk ke kamar, dan melambaikan tangan sedikit ke arah gue, sebelum pintu kamarnya tertutup rapat dan meninggalkan gue sendirian di balkon.

Dunia Yang SempurnaWhere stories live. Discover now