Part 15

48 1 0
                                    

Ara duduk di tepi kasurnya, dengan kaki diluruskan ke depan dan ditutupi oleh selimut. Wajahnya kusut, dan rambutnya acak-acakan. Gue tersenyum geli melihatnya. Gara-gara gue senyum sendiri melihat Ara, dia cepat-cepat merapikan rambutnya lagi.

“apa lo tawa-tawa….” Ara cemberut manja. Gue semakin lebar menyeringai dan menggeleng-gelengkan kepala, kemudian melanjutkan membuka bungkusan yang gue bawa.

Kemudian gue duduk disampingnya di kasur, bersiap untuk menyuapinya. Ara memandangi bungkusan di tangan gue masih dengan ekspresi cemberut manja.

“itu apa” Ara menunjuk ke salah satu lauk.

“ayam”

“itu?” tunjuknya ke lauk yang lain.

“telor dadar”

“itu?”

“sambel…” gue mulai kesel.

“itu?”

“lo mau gue suapin apa mau ngabsenin lauknya satu-satu sih, Raaa…” sahut gue gemas.

Ara mengangguk-angguk.

“apa?” tanya gue.

“jadi nyuapin engga?”

“oh iya jadi jadi” sahut gue bodoh.

Gue pun menyuapi Ara dengan lembut. Jujur gue ga pernah melakukan ini sebelumnya, tapi gue berusaha lakukan dengan sebaik mungkin. Tampaknya Ara juga oke-oke aja dengan suapan gue itu. 

“minum?” gue menatap Ara yang sibuk mengunyah agak banyak.

Ara menggeleng.

“lo udah makan?” tanyanya ketika selesai mengunyah.

“belom”

“kok belom juga? Bandel amat si lo hiiih” Ara menjewer gue pelan.

“makan siang yang belom, kalo sarapan si udah tadi di kampus….”

Ara mengangguk-angguk dengan bibir membentuk kata “ooh” tanpa suara.

“ada yang nyariin gue ga di kampus?”

“banyak…” gue menyendokkan makanan lagi, “nih, aaaa…”

“siapa aja?” sahutnya sambil mengunyah makanan yang barusan gue suapkan.

“Rima tadi nanyain lo tuh, sama anak-anak cowo pada nanya juga”

“trus lo bilang apa?” matanya berbinar-binar ingin tahu.

“ya gue bilang lo sakit lah! Masa gue bilang lo cuti hamil….” jawab gue kesel.

“ih amit-amit lah kalo sekarang!” Ara menonjok lengan gue.

Gue tertawa pelan.

“dah ah makan lagi yuk, aaa….” gue menyuapkan sesendok lagi.

Ketika akhirnya gue selesai menyuapi Ara dan memaksa dia untuk minum obat, gue beranjak kembali ke kamar gue yang sejak gue pulang kuliah tadi belum gue buka sama sekali. Hari itu cukup panas, dan gue berniat menjemur bantal dan handuk gue. Satu per satu barang yang mau dijemur itu gue bawa ke atas atap dak di samping lantai dua, dan disangga oleh kursi. Lumayan kena panas jadi kuman-kumannya mati semua, pikir gue.

Gue kembali ke kamar, dan tiduran di kasur walaupun tanpa bantal. Buat gue sih gapapa. Ketika mata gue mulai terasa berat, gue melihat sekilas ada seseorang yang memasuki kamar. Gue pun membuka mata.

“ngapain, Ra?”

Ara meringis sambil menggigit bibir bawahnya, barangkali karena kepergok masuk kamar gue.

“lo tidur?”

“hampir…” sahut gue sambil memejamkan mata.

“temenin gue nonton yuk….”

“ha? Nonton?”

Ara mengangguk-angguk sambil tersenyum jahil.

“bukannya lo lagi sakit ya? Engga engga ah! Ga boleh jalan-jalan dulu” larang gue.

“yaaah….ayolah, Gilaaaang….”

“enggak.”

“yaaah? Temenin yaaa?”

“enggak, lo kan masih sakit.”

“tapi gue bosen di kos mulu…” dia merajuk sambil duduk di kasur gue dan mencubiti seprei gue.

“lo kan harus istirahat, Araaa….” Gue bangkit dari tidur dan duduk disampingnya.

“tapi bosen… yaah nonton yaah?” pintanya.

“engga, Araaa, lo harus istirahat….”

“yaudah kalo gitu gue nonton sendiri!” ancamnya sambil melipat tangan di dada.

Gue mendesah panjang. Ini cewek kalau udah ada maunya, badai pun ga bisa mengurungkan niatnya. Gue memandanginya, sementara dia masih cemberut.

“lo harus istirahat, Raa, biar besok sehat, bisa kuliah lagiii…” bujuk gue.

“kan cuma nonton”

“ya tapi kan capek harus ke bioskop dulu”

“ya udah gue nonton sendiri aja” Ara kemudian ngeloyor pergi, kembali ke kamarnya.

Sejam kemudian gue udah berdiri mengantri beli tiket nonton di bioskop yang ada di mall ga jauh dari kampus. Di depan gue tampak sepasang kekasih yang berdebat mau nonton apa, dan sepertinya si cewek yang menang, tentu saja. Antrian masih cukup panjang sebelum gue mencapai giliran, dan gue menoleh ke belakang. Di kejauhan gue melihat Ara duduk di bangku yang tersedia, sambil menunggu gue beli tiket. Ara tersenyum melihat gue, dan ketika pandangan kami bertemu, gue menggeleng-gelengkan kepala.

Ara menanggapi gue dengan menjulurkan lidahnya sedikit, dan tersenyum manis. Melihat itu, gue tertawa kecil, bersyukur karena hari ini gue bisa mengukir senyuman di wajahnya. Semoga masih ada kesempatan lain lagi untuk gue membahagiakannya, dengan cara gue sendiri.

Dunia Yang SempurnaWhere stories live. Discover now