Part 30

50 1 0
                                    

“mau kemana kita?”

Ara bertanya ke gue sambil menuruni tangga kos-kosan. Gue yang ada didepannya cuma bisa menoleh sambil berpikir, agak lama. Gue ga punya ide mau pergi kemana malam itu. Yang terlintas di pikiran gue hanya makan malam, selebihnya gue ga ada ide yang jauh lebih menarik daripada itu.

“makan?” gue menawarkan.

“makan apa?”

“lo maunya makan apa?”

“lah, kan elo yang ngajak, harusnya lo yang punya inisiatif dong” omelnya, “cowok harus punya ide buat nyenengin ceweknya...”

“emangnya lo cewek gue?” gue tertawa sambil mengambil helm.

“kan ceritanya kita latihan pdkt buat elo, gimana si!” gerutunya seraya menerima helm dari gue, “lagian gue juga ogah jadi cewek lo. Huh.”

“kenapa emang?” gue geli melihat mukanya yang cemberut itu.

“lo mah ga ada romantis-romantisnya!” cibirnya.

Gue menyetarter motor sambil menghela napas panjang. Ara kemudian naik ke belakang gue, sambil berpegangan pada bahu gue.

“romantis itu kaya apa si?” tanya gue tanpa menoleh.

Helm gue diketoknya pelan.

“makanya jadi cowok yang peka dong....”

Gue tertawa pelan, dan kemudian menjalankan motor perlahan keluar dari halaman kos-kosan, dan menembus ramainya kehidupan malam di ibukota. Sepertinya malam ini bakal banyak yang gue kenang, batin gue waktu itu.

Kami memutuskan pergi ke sebuah festival musik jazz yang kebetulan diadakan malam itu, yang spanduk iklannya secara ga sengaja kami lihat di jalan. Buat gue, ini kali pertama gue ke acara semacam ini. Boro-boro datang ke festival jazz, musik jazz aja gue ga pernah dengar. Ngerti si, cuma belum bisa menikmati. Ara meyakinkan gue kalau musik jazz itu sebenarnya indah, meskipun gue cuma bisa dengar telolet-telolet dari saksofon dan bingung bagian mananya yang indah.

Di acara jazz yang diadakan di tempat terbuka itu cukup ramai. Gue terkejut karena banyak anak-anak muda seperti kami yang ternyata juga menyukai acara seperti ini. Sebelumnya gue kira musik jazz semacam ini cuma untuk kalangan yang sudah berumur. Setelah membeli tiket di depan, gue dan Ara masuk ke dalam area acara, yang cukup penuh dengan orang. Gue celingukan mencari jalan yang nyaman untuk dilalui, sementara gue merasakan punggung gue ditepuk dengan cukup keras.

“ninggalin aja lo!” gerutu Ara sewot.

“lah yak, maap maap deh, gue cari yang ga penuh orang soalnya...” gue memperlambat laju gerak gue, menunggunya di samping gue.

“kalo gue ilang disini gimana?”

“telepon...”

“emang bakal denger disini? gue aja ga begitu denger lo ngomong apa sekarang...” sahutnya sambil cemberut.

“ya udah sini gue gandeng, mau? awas kalo lo ngambek!” gue mengulurkan tangan.

“nah, gitu kek dari tadi. Lama amat si...” dia masih menggerutu tapi menyambut uluran tangan gue itu dan menggenggam tangan gue erat.

Sambil bergandengan tangan, gue memandunya melewati kerumunan orang-orang. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan gue menyeretnya melewati kerumunan. Ketika akhirnya kami sampai di satu titik yang agak lapang dan bisa melihat panggung acara dari agak jauh, gue dan Ara sama-sama menarik napas lega. 

“gila, lama-lama dibawah sana bisa mati gue...”

“paling pingsan doang si...” sahut gue asal.

Ara melotot ke gue.

“lo mau gue pingsan?”

“pingsan gih, biar ntar lo gue kasi napas buatan. Hehehe....” gue cengengesan.

“Maaunyaaaaa!” Ara menjewer telinga gue. Ga sakit si, cuma geli-geli sedikit. Wajahnya yang kesel itu sudah cukup membuat gue tertawa.

Kemudian kami mulai menikmati beberapa artis yang perform malam itu. Pada awalnya gue ga paham keindahannya, tapi karena gue lihat Ara sangat menikmatinya, perlahan-lahan gue mulai berusaha menyukai apa yang dia sukai. Dan memang, pada akhirnya gue mulai bisa menggoyang-goyangkan kepala ke kanan dan kiri sesuai dengan beat lagunya.

Kemudian gue merasakan tangan gue yang masih menggenggam tangan Ara itu ditarik-tarik olehnya.

“apa?” gue bertanya dengan suara agak keras karena takut suara gue hilang oleh kerasnya sound panggung di depan.

“gue laper” Ara juga berkata dengan agak keras.

“kiper? apaan si kok kiper?”

“LAAA-PER!” teriaknya di telinga gue.

“ooh, lo laper?” gue memandangi Ara, dan dia mengangguk-angguk dengan tampang memelas.

“sama, gue juga....” sambung gue sambil tertawa berderai. Dengan gemas Ara mencubiti lengan gue yang dipegangnya. Mau ga mau gue ga bisa melarikan diri.

“iya iya yuk makan yuk. Cari makan kitah...” ajak gue sambil menariknya menjauh dari situ, mencari jalan keluar. Daripada Ara kelaparan, kan kasihan. Gue juga lapar sih sebenarnya.

Agak jauh dari situ, kami sudah bisa berbicara dengan volume normal lagi. Gue menoleh ke Ara.

“mau makan apa?”

“terserah...”

“ngunyah tembakau gih”

“kok tembakau??”

“katanya terserah...”

Dengan gemas Ara berusaha menerkam gue, tapi gue bisa menghindarinya dengan berlari agak kedepan, sambil tertawa-tawa. Sambil menggerutu Ara berdiri mematung. Bibirnya monyong-monyong, karena menggerutu sendiri. Ah, ini anak memang unik, batin gue sambil menggandengnya kembali di samping gue.

“makan di warung apa di restoran?” tawar gue.

“restoran boleh?” pintanya sambil menjulurkan lidah. Duh, lemas kaki gue melihat senyumnya itu.

“boleh, tapi beli nasi telor di warteg ya. Trus ntar dimakan di depan restorannya...” sahut gue bercanda.

“ya udah, di warung aja...” dia tampak kecewa. Gue ga sampai hati lama-lama melihat wajahnya yang kecewa itu, dan cepat-cepat mengiyakan permintaannya tadi.

“hahaha, iya iya boleh kok. Becanda doang gue. Mau makan apa lo?”

“apa aja...”

“loh, kok apa aja? yang jelas si, mau makan apa. Biar gue juga gampang nentuin tempatnya...”

“apa aja, asal sama lo.” dia berkedip-kedip menggoda gue, kemudian tertawa terbahak-bahak.

Njir, emang paling bisa nih anak satu bikin gue salting.

“kalo gue makan batu, lo juga makan batu?” tanya gue bloon. Ini pertanyaan paling ga penting, sumpah.

“gue si makan nasi, kalo lo mau makan batu terserah...” lagi-lagi tawanya membahana.

“tadi katanya apa aja asal sama gue?” protes gue.

“ya bener kan, sama lo? tapi bukan berarti gue harus makan makanan yang sama kaya lo kan. Wleee...”

“emang batu makanan?”

“emang penting ya kita ngomongin ini sekarang?”

“ya engga si....” lagi-lagi gue yang mengalah, demi mempertahankan image kami berdua. Gue yakin, sedikit lebih lama lagi kami berdebat, kami bakal dicap orang sinting oleh orang-orang yang berada di sekitar kami.

“makanya gausah cerewet. Protes aja lo kaya anggota DPR...” sahutnya lucu sambil menarik-narik hidung gue. “makan yu ah, laper banget gue nih!”

“lo mau makan apa dulu nih, kasi tau gue napa”

“ntar gue kasi tau dijalan, sekarang kita keluar dulu dari sini. Dan lo diem deh, gausah bawel. Lama-lama gue makan juga lo.” pelototnya.

“......”

Dunia Yang SempurnaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz