Part 10

60 3 0
                                    

Suara dosen di kelas yang monoton itu membuat gue mengantuk, dan untuk mengatasi ngantuk itu gue mencoret-coret buku catatan gue. Entah apa hasilnya. Gue melirik sebentar ke samping, dimana Soraya duduk. Dia juga sedang tenggelam dalam dunianya sendiri, membaca-baca majalah khusus wanita. Sempet-sempetnya, batin gue.

“lo baca apaan si, Ra?” gue melirik.

“zodiak”

Gue mendengus pelan.

“bukannya kuliah malah baca majalah lo” omel gue.

Ara mengalihkan matanya dari majalah, dan memandangi gue. “kaya lo betah tersiksa aja. Lo mau ikutan baca?” sahutnya.

“emang zodiak lo apaan si?”

“Pisces, kalo lo?”

Gue mengangkat bahu, “ga tau, kalo ga salah si Virgo.”

“kok bisa ga tau zodiaknya sendiri” gerutunya pelan.

“gue bukan tipe orang yang percaya zodiak, Ra. Jadi ya ga ada kepentingannya buat gue ingat-ingat jenis zodiak gue.”, gue melipat tangan diatas meja, “lo percaya zodiak, Ra?”

“kadang-kadang percaya, kadang enggak juga.” sahutnya sambil membalik halaman majalah. “kalo ramalannya bagus ya gue percaya, kalo jelek gue enggak percaya.”

“enak bener lo ya….” gue mencibir.

Ara terkikih pelan. “abisnya ngapain percaya sama omongan jelek, yang penting optimis gue mah”

“gue malah ga suka baca ramalan”

“kenapa gitu?” tanyanya sambil menopang dagu.

Gue mengangkat bahu, “buat gue, aneh aja hidup bisa diatur lewat ramalan. Kalo semua orang percaya ramalan, yang ada malah pada ga berusaha semaksimal mungkin tuh. Toh mereka sudah tahu jalan cerita mereka sendiri.” gue tertawa, “gue lebih suka berusaha dalam ketidakpastian. Cieeh bahasa gue berat amat yak?” gue nyengir bego.

Ara tertawa, dan memandangi gue dengan penuh minat.

“kenapa?” gue merasa risih dengan tatapannya itu.

“TUA LO” semburnya dan dilanjut dengan tawa berderai.

Kampret, gerutu gue dalam hati. Susah-susah mikirin kata yang keren buat diucapkan, eh cuma ditanggapin “tua” doang. Dengan dongkol gue cuekin Ara, sementara dia kembali membaca-baca majalahnya.

“eh lo berapa bersaudara si?” tanyanya tiba-tiba.

Gue menoleh, “kenapa emang?”

“gapapa, dari dulu gue belom tahu latar belakang keluarga lo. Boleh gue nanya?” Ara tersenyum lembut.

Gue terdiam sejenak. Mungkin gue bukan orang ekstrovert, jadi agak susah buat gue untuk menceritakan segala sesuatu tentang kehidupan pribadi gue.

“kalo ga boleh gapapa si” sambungnya sambil merapikan rambut.

“gue anak pertama, Ra” gue tersenyum.

Dunia Yang SempurnaWhere stories live. Discover now