Part 11

67 3 0
                                    

Semenjak gue dan Ara berencana liburan dadakan itu, kami jadi lebih sibuk mempersiapkan pernak-perniknya. Kalo gue berorientasi ke budget dan teknisnya, sementara Ara berorientasi ke barang-barang apa aja yang dibawa. Untuk yang satu ini gue mulai memahami Ara sebagai salah satu tipe cewek yang super bawel ketika antusias akan sesuatu.

Di suatu malam yang tenang, gue merokok di kamar dan membaca-baca koran yang gue beli siang harinya. Mendadak Ara masuk ke kamar gue dengan tergopoh-gopoh.

“kenapa lo?” gue mengernyitkan dahi.

Ara terdiam.

“aah gue lupa kan tadi mau ngomong apa, makanya lo diem dulu!”

Gue bengong, ga tahu harus bereaksi macam apa.

“ah beneran lupa kan gue, bentar-bentar…” Ara berlari kembali ke kamarnya, dan sesaat kemudian dia kembali lagi ke kamar gue dengan tergopoh-gopoh lagi, “nah gue inget sekarang, gue besok bawa apa yak? lo udah packing belom?” cecarnya.

“lo mau packing sekarang?” gue duduk bersila menghadapnya.

“iya lah, emang kapan lagi” Ara melangkah masuk ke kamar gue dan bersila di tikar.

“lah kita kan perginya masih lusa, Ra”

“dicicil, dicicil, dicicil mulai sekarang.” tiba-tiba Ara mengambil tumpukan baju gue di keranjang, dan menumpuknya di tikar, “kalo ga dicicil dari sekarang entar ga sempet”

Gue kaget dia mendadak membongkar tumpukan baju gue. Secara refleks gue menghalanginya berbuat lebih jauh.

“eh eh eh enak aja lo ngabsenin satu-satu baju gue” gue mengambil sebuah baju dari tangannya. “lo kenapa si, Ra?” tanya gue sewot.

“packing dari sekarang kek, lo tenang-tenang aja si ah, ga sabaran gue liatnya”

“lah kan masih besok sabtu perginya, Mba Sorayaaaaa....”

“gue udah mulai packing noh” dia menunjuk dinding kamarnya.

“ya kalo lo mau packing sekarang mah serah, tapi kalo gue ntaran aja”

“nanti kalo ada yang ketinggalan baru rasa lo” omelnya.

“ya yang ngrasain kan emang gue. Emangnya lo mau pake kancut gue?” timpal gue gedeg. “lo napa sih bawel banget, Ra. Perasaan emak gue aja ga sebegininya….”

“masalahnya gue mau nitip barang ke elo” sahutnya sambil tergelak karena modusnya terbongkar.

“bener kan pasti ada apa-apanya. Kecium mah” gue memicingkan mata.

“gue udah mandi kok” sahutnya sambil mencium tangannya sendiri.

Gue meringis.

“mana coba sini gue cium” kata gue sambil mencondongkan badan ke Ara. Ga perlu waktu lama, sebuah baju gue langsung mendarat di muka gue. Sementara itu gue lihat Ara mukanya jutek.

“maju seinci lagi, yang nempel di muka lo itu tempat sampah” ultimatum Ara.

“tempat sampah gue kosong” sahut gue kalem.

“tempat sampah Bang Bolot kalo gitu”

“niat lo”

Ara tergelak.

“lo bawa ransel segede apa?” tanyanya.

Gue berpikir sejenak, kemudian memandangi tumpukan tas-tas dan beberapa barang lain di sudut kamar gue.

“gue baru ingat, Ra, tas ransel gue ya cuma satu doang yang biasa gue pake kuliah” sahut gue lemas.

“ransel buluk lo itu?” Ara menunjuk ransel tua berwarna biru kusam di dekat meja kecil gue.

“iya gue cuma punya ransel itu” gue mengangguk, “masa ke pantai sehari doang pake tas segede gitu” gue menunjuk ke tas hitam di sudut kamar yang gue bawa sewaktu gue datang kemari.

Ara menjewer gue.

“nah kan gue bilang juga apa, packing dari sekarang! Kalo ga gue suruh packing sekarang, lo juga ga nyadar ransel lo cuma satu” cerocosnya.

“iya iya…”

Ara kemudian berpikir sejenak, sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk.

“pake tas gue aja, barengan.” simpulnya.

“pake tas lo?” gue menelan ludah, “berarti bareng sama barang-barang lo dong?”

Ara tertawa pelan. “iya, kenapa?”

“gapapa tuh?”

“Alah gapapa, paling juga cuma bareng beha sama kancut gue. Lo ga mungkin salah pake beha gue kan?” sahutnya dengan tawa berderai. 

“udah gila lo ya” gerutu gue.

Sambil tetap tertawa Ara kembali ke kamarnya. Gue geleng-geleng kepala merasakan kelakuan cewek satu ini. Cantik sih, cuma kelakuannya bikin bantal abis gara-gara gue gigitin. Aneh memang, tapi mungkin itu caranya menunjukkan perhatiannya ke gue.

Mendadak ada sebuah tas ransel berwarna merah menyala mendarat di kaki gue. Gue menengok ke arah pintu.

“tuh, pake ransel gue. lo masukin barang-barang lo dulu, kalo udah balikin lagi ke gue biar gue masukin barang-barang gue” perintahnya dengan kepala menyembul dari samping, “ga pake lama ya!”

“iya iya Tuan Putri….” sahut gue malas sambil meraih tas ransel tadi.

“lo udah makan belom?” tanyanya tetap dengan kepala menyembul dari samping.

gue menggeleng.

“gue beliin makan ya? lo mau makan apa?”

gue berpikir sejenak, kemudian gue bangkit dari duduk.

“ga usah, lo mau makan juga? makan bareng yuk” ajak gue sambil mengambil dompet.

“gitu kek dari tadi….” sahutnya sambil tersenyum.

Selama kami berdua makan malam itu, Ara ga henti-hentinya mengoceh. Gue hanya jadi pendengar yang baik. Tapi dibalik itu semua, gue merasakan ada getaran yang lain di hati gue. Sepertinya gue mulai memahami kenapa teman-teman kampus menjuluki Ara sebagai salah satu primadona di kampus. Ara cantik, itu semua orang sepakat, dan gue termasuk orang-orang terakhir yang sepakat.

Tapi gue merasakan sisi yang lain dari Ara, dibalik sikapnya yang bawel dan seenaknya sendiri, dia adalah seorang yang penyayang dan perhatian. Sepertinya mulai malam ini dan seterusnya, kehidupan gue di kos akan menjadi lebih menyenangkan.

Gue tersenyum setiap kali melihat Ara tersenyum dan tertawa. Gue antusias setiap kali dia menceritakan lelucon-leluconnya, ataupun komentarnya. Gue ikut merasa memiliki ketika dia menceritakan kesedihannya. Dan gue merasa bahagia setiap kali dia berada di sekitar gue.

Mungkin gue mulai jatuh cinta.

Dunia Yang SempurnaWhere stories live. Discover now