Rasa-05

3.6K 276 11
                                    

"Mohon maaf, keadaan pasien memburuk. Semua pengobatan yang telah dilakukan oleh pasien ternyata tidak membuahkan hasil. Usaha terakhir yang dapat kita lakukan adalah secepatnya menemukan donor jantung."

Ucapan seorang pria berpakaian medis yang baru saja keluar dari ruangan membuat Maurin mematung di tempat. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya erat dengan tubuh bergetar kala dokter tersebut kembali menjelaskan bahwa penyakit turunan dari keluarga sahabatnya itu dapat membawanya pada kematian.

Maurin memegang lengan Reno yang berada di sampingnya kala tumpuannya semakin lemah. Setelah kepergian dokter tersebut, gadis itu hanya bisa menatap kosong, mengabaikan suara di sekelilingnya, termasuk tangisan dari Ibu sahabatnya yang terdengar begitu menyakitkan.

Penyakit mengerikan yang dapat membunuh seseorang secara diam-diam dan mendadak, bagaimana mungkin sahabatnya menyembuyikan penyakit mematikan tersebut dari dirinya?

Maurin mulai menatap sekelilingnya. Keluarga, saudara, teman, semuanya berkumpul di depan pintu ruangan di mana Terra berada. Melihat semuanya memasang wajah sedih dengan air mata yang membasahi pipi, gadis itu mulai melangkah. Menatap Terra yang berbaring tak sadarkan diri di dalam ruangan sana.

Pertahanan gadis itu hancur, Maurin menangis tergugu menatap tubuh Terra yang tidak berdaya.

"Ter, banyak orang yang sayang sama kamu. Banyak orang yang mengharapkan kamu sehat. Kenapa kamu kayak gini? Aku cuma punya kamu, kalau kamu gak ada, aku sama siapa? Aku gak punya siapa-siapa lagi."

"Rin..." Reno memegang pundak gadis itu dengan pelan. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Maurin tak henti-hentinya menggumamkan sesuatu yang membuat iba siapa pun yang mendengar.

"Reno..."

Maurin berbalik menghadap Reno dengan tangis yang tidak dapat ia hentikan.

"Ak-aku takut, Ren."

Reno maju mendekat, menghapus jarak dengan membawa gadis rapuh itu ke dalam rengkuhannya.

"Ka-lau aku do-donorin jantung aku bisa, gak?"

Reno tidak menjawab. Laki-laki itu mempererat rengkuhannya. Maurin semakin terisak pedih, mencekram erat kemeja laki-laki yang kini merengkuhnya.

"Terra banyak yang sayang, masih punya keluarga yang lengkap. Banyak yang sedih kalau Terra pergi...."

"Rin, jangan diterusin." Reno mengusap pelan punggung Maurin berusaha menenangkan gadis yang kini sedang melantur kemana-mana.

"Aku sudah gak punya siapa-siapa, Ren. Kalau aku yang pergi gak ada yang bakalan sedih."

Reno melepas rengkuhannya beralih menangkup wajah gadis di hadapannya. "Lo pikir setelah Terra sadar dan lo sudah gak ada, dia gak bakalan sedih?"

Maurin menggeleng dalam isakannya. "Setidaknya banyak yang senang dan buat dia senang setelahnya."

"Rin, lo jangan ngomong aneh-aneh."

Maurin mencekram erat kemeja Reno berusaha menyalurkan rasa sesak yang kini melandanya.

Reno kembali merengkuhnya, mata laki-laki itu memerah. Mengapa ia harus mengenal gadis menyedihkan ini?

"Sakit, Ren. Dada aku nyeri liat Terra kayak gitu."

Reno memilih diam. Ia tidak tahu cara menghibur dalam kondisi seperti ini, yang bisa ia lakukan hanya membiarkan gadis itu menangis dan merengkuhnya.

"Reno, Maurin...."

Bilal hanya bisa menyorot datar ke arah rengkuhan yang kini saling terlepas. Bukan saatnya untuk ia merasa tidak suka melihat adegan tersebut.

Tatapan laki-laki itu naik ke wajah Maurin yang terlihat tidak baik-baik saja. Mata sembab dengan lelehan air mata yang tidak berhenti menandakan jika sahabat dari gadis yang pernah mengisi hatinya sedang dalam keadaan buruk.

Short StoriesOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz