ExcelLency #02

3.1K 276 31
                                    

Sudah sangat lama wanita itu meringkuk di atas sofa seraya menangis tergugu dan itu terdengar menyakitkan. Air mata itu tak hentinya merembes keluar. Perkataan Excel yang menyuruhnya pergi sungguh menyakiti hatinya. Meskipun pria itu tidak mengingatnya, tetapi tidak bisakah Excel menerima keadaan? Tidak bisakah pria itu memperlakukannya dengan baik?

Dengan teganya pria itu menyuruhnya pergi dan justru membela mantan kekasihnya. Mengapa Excel sejahat itu? Apa memang seperti itu sifat asli dari suaminya yang selama ini Lency tidak tahu?

Memikirkan itu semua, semakin membuat Lency menangis, tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak berkeinginan pulang di atap yang sama dengan Excel. Ia takut jika perkataan dan perlakuan pria itu akan semakin menyakitinya.

"Lency, makan dulu, ya..." Panggilan bernada lembut itu tidak dihiraukannya.

"Mbak sudah masakin. Ayo, makan dulu. Kasihan kandungan kamu kalau kamu gak mau makan."

Lency menggeleng di sela air matanya yang terus mengalir. Tadinya ia memang lapar, tetapi sekarang nafsu makannya lenyap begitu saja.

"Le-Lency rindu Mas Excel, Mbak...."

"Iya, Mbak paham. Ayo, makan dulu. Nanti Mbak antar pulang."

Raya tahu, Lency begitu mencintai Excel dan begitu juga dengan Excel yang begitu mencintai Lency. Keduanya menikah karena cinta. Raya menyaksikan sendiri bagaimana awal pertemuan mereka hingga memutuskan untuk menikah.

"Lency gak mau pulang, Mbak Raya..."

Wanita itu menatap Lency dengan senyum sedih. Mendekatinya, lalu mengusap rambutnya dengan sayang. Lency sudah ia anggap seperti adik sendiri. Sama seperti dirinya, Lency tidak punya siapa-siapa. Lency dan dirinya dipertemukan saat berada di panti asuhan sebelum dirinya diangkat menjadi anak oleh sepasang suami istri saat ia berumur delapan tahun.

Raya tidak tahu apa yang menjadi penyebab Lency seperti ini. Wanita yang tengah mengandung itu datang kepadanya dalam keadaan menangis dan tidak menceritakan apa-apa. Raya menghargai privasi, ia akan mendengarkan dan memberi solusi jika Lency siap terbuka padanya.

Setahunya, Excel, suami dari Lency baru saja bangun dari koma. Lency yang biasanya selalu tersenyum dan terlihat bersemangat tiba-tiba datang kepadanya dalam keadaan kacau.

"Makan dulu, ya. Boleh bersedih, tapi jangan sampai berdampak kepada kandungan kamu." Raya menatap Lency nelangsa. Ia mengerti rasanya ditinggalkan. Hingga sampai saat ini rasanya masih membekas dan jangan sampai Lency merasakan hal yang sama.

"Lency ta-takut, Mbak."

"Kenapa?"

Lency bangkit untuk duduk. Wanita itu menatap Raya dengan mata bengkak dan juga basah. Menangis berjam-jam lamanya membuat wajah itu benar-benar berantakan.

Tangan Raya terulur, mengusap air mata dan membenahi rambut panjang Lency agar terlihat lebih rapi.

"Mau cerita?"

Lency mengangguk.

.....

Saat ini Lency sedang berada di Caffe milik Raya. Caffe tempatnya bekerja sebelum ia menikah dengan Excel. Di Caffe ini pula ia dipertemukan pertama kali dengan pria yang menjadi suaminya kini.

Lency duduk di pojok Caffe, menatap sedih ke luar jendela yang memperlihatkan bangunan kokoh menjulang tinggi. Bagunan tersebut lagi-lagi mengingatkannya kepada Excel. Menggeser sedikit tatapannya ke samping bangunan itu, Lency tersenyum hambar. Lantas, wanita itu bangkit berdiri dan segera menuju pintu keluar.

Short StoriesKde žijí příběhy. Začni objevovat