Silent_05 (END)

7.9K 476 8
                                    

Setelah berhasil menuntut penjelasan dari Arvin, aku langsung menuju Cafe. Di sinilah aku berada. Menelisik berbagai sudut Cafe yang ramai pengunjung. Aku mengecek kembali handphone-ku berharap ada pesan atau apa pun itu. Aku sudah menghubunginya berkali-kali, tetapi tetap sama. Pemilik nomor tersebut sama sekali tidak menjawab panggilan teleponku.

Aku duduk di salah satu bangku Cafe yang kosong. Jelas-jelas tadi aku melihat Fatih duduk di sini, dan aku juga jelas tahu siapa yang mengirimi aku pesan untuk datang ke cafe ini. 

Hampir satu jam setengah.

Astagfirullah. Rasanya aku ingin tertawa, lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri. Aku baru sadar setelah melihat jam dinding berwarna bangunan kuno di sudut Cafe. Sudah nyaris satu jam setengah aku berbicara serius dengan Arvin. Mana mungkin Fatih ingin menunggu selama itu. 

Aku memilih beranjak keluar Cafe. Entah perasaan apa yang kurasakan saat ini. Sedih, kah? Yang jelas suasana hatiku untuk sekarang ini sangat tidak tenang. Pikiranku juga terganggu, terutama tentang pernyataan Arvin yang sungguh demi apa pun sangat membuatku terkejut. 


Arvin mengungkapkan perasaannya dan juga menyampaikan rasa tidak senangnya ketika tahu bahwa ada seorang laki-laki yang datang melamarku. Harusnya aku senang mendengarnya, tetapi mengapa hati ini merasa tidak demikian. Sebenarnya, apa yang terjadi denganku?

"Shirin, kamu kenapa?" 

Aku menggeleng tanpa melihat ke arah Mama. Dalam perjalanan pulang aku sudah berencana mengurung diri di dalam kamar tanpa adanya introgasi dari Mama maupun Papa.

"Kenapa? Kamu nangis?" 

Aku melangkah cepat tanpa menjawab pertanyaan dari Mama. Sungguh, aku juga tidak tahu mengapa aku menangis. Perasaan sesak ini tiba-tiba saja muncul, aku juga tidak tahu perasaan apa yang tengah kurasakan saat ini. 

Bingung. Aku benar-benar bingung. 

"Shirin, bilang sama Mama. Kamu kenapa?"

Mama menahan lenganku yang mau tidak mau aku terpaksa berhenti. Perasaan yang selama ini kupendam rasanya sangat ingin untuk kuungkapkan semuanya kepada Mama. Aku pikir, aku akan baik-baik saja jika memendamnya sendirian, tetapi ternyata tidak. Rasanya sungguh sakit dan rasa sakit ini kembali aku rasakan dengan alasan yang berbeda.

"Mama...." Aku menatap wajah Mama dan langsung memeluknya. Pelukan yang selalu sama menenangkan. 

"Kenapa nangis, hm? Kamu nggak biasanya nangis kayak gini."

"Mama, apa salah kalau Shirin punya perasaan ke Arvin?" 

Aku sudah berusaha menghentikan tangisanku, tetapi rasanya sangat sulit. Kurasakan Mama mengusap punggungku dengan lembut. Aku tidak tahu apa yang tengah Mama pikirkan. Setelah aku mengajukan pertanyaan itu, Mama belum menjawab apa-apa.

"Mama...."

Mama melepaskan pelukanku. Menatapku teduh lalu mengusap lembut kedua pipiku. Wanita yang selama ini selalu tersenyum bahagia, kini terlihat sedih. Inilah hal yang tidak aku inginkan, ketika aku menceritakan kesedihan pasti Mama juga ikut sedih. Bahkan, Mama masih belum mengatakan apa-apa, hanya menatapku dengan tatapan teduhnya.

"Jadi ini alasan kenapa kamu nolak Fatih?" 

Aku diam tidak tahu harus menjawab apa. Kalau boleh jujur, alasan utama aku menolak Fatih memang karena Arvin, tapi aku tidak ingin kejujuran ini justru membuat Mama sedih.

Short StoriesOnde histórias criam vida. Descubra agora