05-Raya || END

5.6K 364 19
                                    

Lama berdiam diri mencoba menenangkan jantung yang terus berdetak kencang. Keputusan ini sudah lama ia ambil dan ia sendiri pun tidak akan mengganggu gugat.

Masih di pagi buta, Raya tahu hanya waktu ini yang tepat untuk mendatangi rumah mewah yang berdiri menjulang di hadapannya itu. Karena hanya waktu tersebut dua orang yang ingin ia temui di dalam sana sedang tidak berada dalam kesibukan.

Raya menarik napas lalu menghembuskannya dan itu ia lakukan berkali-kali. Nyaris dua minggu ia menghilang. Mencoba menenangkan diri dan berpikir jernih. Memikirkan semuanya dengan matang, mencari celah merenungi semua sebab akibat keputusan yang akan ia ambil. Lagipula ia telah berjanji kepada Angger, meskipun janji itu akan ia tepati dengan kondisi berbeda.

"Nona Raya?"

Raya tersenyum tipis. Penampakan wanita paruh baya yang merupakan asisten rumah tangga itu menatap menantu majikannya dengan ekspresi cukup terkejut. Namun, itu tidak berlangsung lama karena setelahnya ada senyum lebar disertai dengan ucapan syukur.

"Nona Raya kemana aja? Bapak sama Ibu panik banget nyariin Nona. Belum lagi Den Angger yang-"

"Mama sama Papa ada, Bu?" tanya Raya.

"Ada. Maafin Ibu, ya. Harusnya Ibu persilakan Non Raya masuk dulu baru ditanya-tanya. Maaf, ya."

"Nggak masalah, kok, Bu."

"Mari masuk. Bapak sama Ibu ada di ruang makan."

Raya berhenti di ruang tamu. Ia terdiam lalu menghela napas pelan. "Raya tunggu di sini aja, ya, Bu."

Asisten rumah tangga tersebut mengamati menantu dari majikannya dengan heran. "Nona tidak mau langsung aja ke ruang makan?"

Menggeleng, Raya hanya tersenyum. "Di sini aja."

Meskipun dilanda rasa heran. Nindi memilih mengangguk dan menurut. Wanita paruh baya itu akhirnya menuju ruang makan untuk memberitahu kedatangan Raya kepada pemilik rumah.

Tidak butuh waktu lama, kini Raya telah berada dalam pelukan hangat dari wanita yang begitu menyayanginya. Tidak bisa dibohongi, mata itu telah basah disertai gumaman syukur untuk Raya yang telah berada di pelukannya.

"Kamu ke mana aja sayang? Kami semua khawatir sama kamu, takut kamu kenapa-kenapa. Angger bilang kamu hamil, anak itu sibuk nyariin kamu."

Raya menatap kedua mertuanya dengan penyesalan luar biasa.

"Kamu sama kandungan kamu baik-baik aja, 'kan? Kalian sehat-sehat, 'kan?"

Kala pertanyaan itu mendesaknya. Raya tidak bisa menahannya. Tangis wanita itu pecah. Merasa bersalah tidak bisa menjaga apa yang dititipkan kepadanya.

"Mama, Papa... maafin Raya. Maaf. Maafin, Raya."

Raya duduk bersimpuh di hadapan kedua mertuanya yang duduk di atas sofa. Mendongak dengan air mata yang tak henti mengalir. Ia tahu, fakta dan keputusan yang ia ambil akan menjadikan dua orang yang begitu ia sayangi kecewa.

"Ma, Pa... izinin Raya."

Karen dan Nata yang tak mengerti hanya bisa menatap sang menantu dengan tatapan bertanya. Pasangan paruh baya menyentuh pundak menantunya dan mengusapnya lembut. Dari mata basah itu, Karen dan Nata tahu ada banyak beban dan kesedihan di sana.

"Izinin Raya pisah dari Angger."

Pernyataan Raya membuat lidah Karen kelu. Wanita itu ikut menangis tanpa bisa ditahan. Ia tahu akan dari permasalahan ini pasti adalah ulah dari anaknya sendiri.

"Kenapa, Nak?" Nata bertanya pelan. Ia tidak pernah mendengar jika ada masalah dalam rumah tangga anaknya.

"Maafin Raya kalau buat Mama dan Papa kecewa. Dulu, Mama dan Papa pernah bilang Raya boleh minta apa pun dan sekarang Raya punya satu permintaan, izinin Raya pisah dari Angger."

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang